Prof. Suyanto, Ph.D.
(Guru Besar FE Universitas Negeri Yogyakarta, Alumnus Boston dan Michigan State University)
DUNIA pendidikan kembali berduka. Jatuh korban sadisme baru pada tanggal 8 Juli 2013 di kawasan Sleman. Tindakan sadis itu berakibat melayangnya nyawa seorang siswi SMP kelas 9 di kawasan Grogol, Purwomartani, Kalasan, Sleman. Perilaku yang tidak normal itu tidak saja terjadi di Yogyakarta, tetapi juga telah terjadi di tempat-tempat lain seperti Jakarta, Bogor, Medan, Nusa Tenggara Barat (Lombok Timur), Tangerang, dan tempat-tempat lain di negeri ini. Perilaku abnormal itu, bahkan sudah terjadi dan dilakukan oleh siswa dari berbagai jenjang, baik itu sekolah umum maupun sekolah yang berbasis keagamaan. Memang tidak banyak yang melakukan kekerasan dilihat dari populasi siswa kita yang mencapai kurang lebih 50 juta. Paling jumlah mereka yang memiliki anomali perilaku itu tidak akan mencapai seribu. Namun, kaualitas abnormalitas negatifnya semakin meningkat. Tidak saja sekadar bullying, tetapi sudah berada pada suatu tingkat yang mana mereka rela dan berani menghabisi nyawa kawan sesekolahnya. Jumlah mereka tidak banyak, tetapi kalau sudah berani menghilangkan nyawa kawannya sendiri, kita para pendidik, orangtua, dan masyarakat harus turun tangan ikut mencari solusi agar anomalitas perilaku siswa seperti itu tidak menyebar dan tidak menular ke siswa-siwa lainnya.
Kemudian pertanyaanya, apa yang bisa kita lakukan dengan peristiwa naas yang selalu minta korban siswi itu? Dari sisi hukum jelas, mereka para pelaku itu mungkin bisa dijerat dengan Pasal 340 Undang-Undang Pidana dengan tuntutan hukuman yang tinggi pula jika terbukti ada unsur pembunuhan berencana. Bahkan Pasal 82 dan 181 Undang-Undang Perlindungan Anak juga bisa dikenakan secara brsamaan kepada para pembunuh sadis yang memiliki perilaku abnormal itu. Itu semua urusan para penegak hukum, dan sudah jelas aturan normatifnya. Pendekatan itu perlu dibarengi dengan langkah dan program lain yang bersifat preventif, pemberdayaan, edukatif-pedagogis agar di masa yag akan datang tidak terulang lagi. Dari modus operandi yang telah terjadi, para siswa pembunuh ternyata tidak saja melibatkan komunitas sekolah, tetapi juga ada yang berasal dari anggota masyarakat orang dewasa. Oleh karena itu sudah saatnya para kepala sekolah kita mulai memiliki program bersama yang bisa dilakukan oleh sekolah dan masyarakat sekitar sekolah. Dalam program itu perlu ada satu bahasa mengenai tujuan bersama dalam bidang pendidikan yang dimiliki sekolah dan yang dicita-citakan oleh masyarakat. Dengan adanya common goals yang dipegang oleh sekolah dan masyarkat, akan terjadi kohesifitas sosiologis antara sekolah dan masarakat. Akhirnya masyarakat akan ikut merasa memiliki sekolah itu secara fisik maupun secara kelembagaan. Dengan demikian masyarakat akan ikut mengawai, menjaga, dan membantu sekolah untuk mencapai tujuan bersama.
Dari sisi sekolah, juga sudah saatnya pendidikan karakter dimanfaatkan untuk membangun kesadaran siswa akan rasa empati, simpati, toleransi, saling mencintai, saling menghargai sesama siswa dalam ranah tidak saja pengetahuan, tetapi juga dalam tataran praksis. Kalau berbicara praksis berarti siswa harus diajak untuk menginternalisasi dan mengaplikasikan nilai nilai mulia yang diajarkan dalam pendidikan karakter. Caranya bagaimana? Gampang saja. Siswa bisa diajak untuk melihat best practice yang dimiliki oleh institusi lain yang memang bisa dijadikan model. Ajak anak-anak ke tempat publik yang memiliki sistem pelayanan yang baik, agar mereka mengenal dan melihat bagaimana antri yang teratur, tidak memotong hak orang lain, melayani dengan baik, tersenyum tulus, dsb. Pada saat lain ajak para siswa kita ke rumah sakit untuk melihat pasien-pasien korban kekerasan agar mereka tumbuh rasa empatinya. Di lain hari ajak siswa ke tempat panti asuhan yatim piatu, agar tergerak rasa syukurnya, sehingga tumbuh rasa kasih sayang kepada sesama. Pada kesempatan lain siswa bisa juga diajak masuk ke lembaga pemasyarakatan agar mereka tahu betapa terkungkungnya kebebasan jika seorang merampas hak orang secara pidana. Dengan cara seperti itu kita bisa mencegah sadisme secara preventif, pedagogis, dan edukatif. Semoga.
Tulisan ini terbit pertama di Harian Kedaulatan Rakyat edisi 16 Juli 2013 halaman 1.