Home Gagasan Ilmiah Populer Antara Peduli, Mengeksploitasi Privasi, dan Ketakutan Berkomunikasi

Antara Peduli, Mengeksploitasi Privasi, dan Ketakutan Berkomunikasi

3
Antara Peduli, Mengeksploitasi Privasi, dan Ketakutan Berkomunikasi

Oleh Awanis Akalili
Dosen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta

Suyanto.id–Sejatinya publik (nampaknya) tidak pernah puas dengan apapun yang sudah kita usahakan dan realisasikan. People pleasure kami menyebutnya. Mereka berkata: aku peduli, sehingga aku selalu menanyakan keadaanmu. Tetapi, kami menerimanya sebagai bentuk eksploitasi privasi. Rasa tidak nyaman pada kelindan perkumpulan pada akhirnya berujung toxic, karena relasi komunikasi dibentuk hanya sekadar legitimasi, bukan rasa ikhlas untuk membentuk jalinan kekeluargaan yang baik. Pada akhirnya berujung pada narasi basa-basi yang diklaim sebagai bentuk perhatian, sementara kami menganggap hal tersebut: kepo atau rasa ingin tahu yang berlebihan.

Terkadang semakin kita dewasa, sosialisasi menjadi hal yang menakutkan bagi segelintir orang. Dulu, berkumpul bersama rekan menjadi hal menyenangkan. Komunikasi berjalan baik ketika orang-orang menanyakan: Bagaimana kabarmu? Apakah selalu sehat? Bagaimana rencana kariermu ke depan? Bajumu lucu, beli di mana? Sudahkah menabung untuk rencana bermain kita?–namun dewasa ini, percakapan menjadi sedikit kurang menyenangkan ketika orang lebih fokus kepada orientasi tubuh, problematika domestik, hingga membandingkan kehidupan satu dan lainnya.

Beberapa orang mempertanyakan terkait: mengapa kau pendiam, mengapa kau sukar bersosialisasi, mengapa kau tidak tertarik ketika kami membicarakan hal domestik, mengapa kau baperan, kan kami peduli, dan asumsi-asumsi serupa lainnya. Ketakutan berkomunikasi terkadang menjadi rasa yang tidak bisa diindahkan dalam rentang beberapa tahun ini. Seiring berjalannya waktu, percakapan menjadi hal yang mengerikan ketika publik begitu masif lebih tertarik pada: (1) Bagaimana kok belum hamil? Duh, sudah berbulan-bulan lho. Kecapean, tidak bisa menjaga diri dan terlalu banyak aktivitas sehingga tidak hamil-hamil itu. (2) Gendutan ah kamu, ahhh tapi tidak apa-apa kan sudah laku alias sold out. (3) Bagaimana, sudah di-unboxing?

Hati ini miris ketika hidup menjadi perempuan dieksploitasi sebegitu besarnya dalam pertanyaan-pertanyaan mengenai tubuh. Hal ini terjadi karena adanya paradoks dan ironi terkait realita mengenai perempuan yang berujung pada subordinasi serta ketimpangan gender (Saptandari, 2013). Beberapa individu merasa berhak untuk mendefinisikan dan melakukan kontrol pada tubuh perempuan atas nama kepatutan serta kelaziman (Saptandari, 2013). Permasalahan ini pada akhirnya ternormalisasi melalui narasi-narasi menyayat hati bagi perempuan.

Baca juga:   Menangis adalah Hak

Berhentilah untuk menyamakan perempuan dengan barang, mereka sedang tidak di-unboxing layaknya kardus sebuah produk baru yang baru saja dibuka. Dan, pun minimalisasi untuk berkata sold out bagi mereka yang telah menikah karena perempuan-perempuan tersebut sedang tidak menjual dirinya. Bukankah lebih baik mendoakan dengan “semoga kamu bahagia, dan bisa membangun relasi setara dengan pasanganmu”–dibanding dengan memberikan label sold out (terjual). Juga, stop untuk menegasikan mereka yang belum menikah karena pilihan untuk menikah dan tidak menikah adalah keputusan pribadi. Kurang-kurangilah untuk berkata: kamu kok belum menikah, nanti keburu expired. Ketahuilah bahwa mereka bukanlah kaleng sarden atau biskuit yang mendekati masa kedaluwarsa. Tidakkah publik berkenan memberikan ruang kepada kami yang menginginkan pembahasan menyenangkan lainnya selain problematika domestik dan tubuh? Ada banyak topik menarik yang bisa dibicarakan.

Represi publik bagi kami terkadang memunculkan rasa ketakutan berlebih dalam berkomunikasi. Belum lagi klaim “peduli” dan labelling “baperan” yang disematkan, ditambah dengan hadirnya lelucon seksis yang membuat telinga tak nyaman. Dalam kaitannya dengan masalah penggunaan bahasa pun mendudukkan perempuan sebagai individu yang tersudutkan (Kuntjara, 2003). Di mana akan ada stereotip negatif bagi mereka yang “tidak ramah” dan “kurang komunikatif” kemudian dianggap sebagai perempuan judes dan tidak feminim sehingga tidak sesuai dengan indikator perempuan dominan. Menyakitkan. Padahal, terkadang kami kurang komunikatif karena bisa jadi tidak nyaman pada beberapa pertanyaan pribadi yang dilontarkan.

Berikan batasan publik dan privasi karena tidak semua individu senang untuk dipertanyakan hal-hal domestiknya. Informasi privat menjadi bahasan pribadi yang hanya dibagikan pada orang-orang terdekat yang sifatnya intim (Parapat, 2019). Maka, sekiranya kurang merasa memiliki kedekatan, hindari mempertanyakan problematika privat. Setidaknya, manusiakanlah manusia dengan diksi-diksi yang membahagiakan sehingga jalinan komunikasi juga akan lebih menyenangkan. Salam. (*)

Referensi Bacaan

Kuntjara, E. (2003). Gender, bahasa, dan kekuasaan. BPK Gunung Mulia.

Parapat, N. H. (2019). Privasi Komunikasi: Antara Batas Pribadi dan Batas Kolektif. Jurnal Ilmiah INSANI6(1), 45-53.

Saptandari, P. (2013). Beberapa Pemikiran tentang Perempuan dalam Tubuh dan Eksistensi. Biokultural2(1), 53-71.

Previous article Kidung Ngurip
Next article Sok Suci
Awanis Akalili S.I.P., M.A. adalah dosen Ilmu Komunikasi FIS Universitas Negeri Yogyakarta dan Kandidat Doktor Kajian Budaya dan Media Universitas Gadjah Mada.

3 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here