Home Pendidikan Penilaian dan Evaluasi Bagaimana Guru dan Siswa Bisa Kreatif?

Bagaimana Guru dan Siswa Bisa Kreatif?

0
Bagaimana Guru dan Siswa Bisa Kreatif?
Bambang Subali/Foto: UNY

Prof. Dr. Bambang Subali, M.S.
Guru Besar FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta

Pendahuluan

Banyak permasalahan di dunia nyata yang dapat diselesaikan tidak hanya dengan menggunakan kecerdasan. Banyak orang yang cerdas, tetapi sampai hari tuanya hidup biasa-biasa saja, bahkan banyak yang hidup dengan kegiatan yang rutin seperti menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), mengerjakan pekerjaan rutin dari hari ke hari, dari tahun ke tahun, bekerja secara rutin dari awal sampai purnatugas. Sementara itu, banyak pula orang yang mampu mencari cara baru, jalan baru, atau langkah baru untuk memecahkan permasalahan, baik untuk hidup maupun untuk penghidupan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan dari yang diperlukannya. Akhirnya, jadilah mereka menjadi orang yang dikategorikan sukses. Di sinilah peran kreativitas yang jarang ditumbuhkembangkan pada diri peserta didik.

Kreatif

Banyak definisi tentang kreatif, yang paling sederhana adalah definisi menurut Miller (2005), sepanjang bukan mengopi sudah dikategorikan sebagai sesuatu yang kreatif. Ketika anak SD diminta menggambar dengan contoh gambar yang dibuat guru di papan tulis, biasanya murid akan berusaha menggambar sebagaimana gambar yang dibuat guru. Guru akan segera menyalahkan murid jika hasil gambarnya tidak sama. Dengan langkah seperti itu, tentu tidak aka nada gambar lain atau boleh dikatakan murid berusaha mengopi gambar guru. Mengapa guru tidak meminta murid menggambar gambar yang berbeda dengan contoh yang dibuat guru? Jika guru menggambar pemandangan dengan dua gunung, ada matahari, sebuah sungai di antara dua gunung, dan ada sebuah pohon yang tampak dari dekat, maka mengapa tidak menanya anak satu demi satu apa yang akan digambar oleh masing-masing murid? Mungkin ada anak yang hanya ingin mengambar satu gunung, ada yang tanpa gunung, ada dua gunung dengan bagian atas tertutup awan, ada yang bagian bawahnya yang tertutup awan, ada yang satu gunung dan sisinya tertutup awan, ada yang menambah pohon, ada yang mengganti jenis pohon, dan gambar lain yang berbeda. Dengan demikian, jika ada 40 anak, akan dihasilkan 40 pemandangan yang berbeda satu dengan yang lain.

Definisi yang lain, kreatif berhubungan dengan proses kognitif tingkat yang paling tinggi (Anderson & Krathwohl et al., 2001), yakni sebagai suatu proses mengkreasi yang meliputi kemampuan merancang, menyusun hipotesis, dan menghasilkan produk baru. Dengan definisi ini, maka akan dihasilkan banyak karya peserta didik. Dalam hal rancangan, akan ada berbagai ragam untuk suatu tema atau pokok bahasan. Objek beda, metode beda, lama waktu penelitian beda, dan banyak faktor yang dapat divariasikan, akan menghasilkan karya empiris yang berbeda-beda. Jika pun hanya sebatas rancangan, maka akan banyak dihasilkan rancangan yang tentu akan berbeda antara satu murid dengan murid yang lain.

Hal yang sama juga ditulis oleh Dettmer (2006), bahwa berpikir kreatif beriringan dengan ranah afektif jenjang beraspirasi/berkeinginan/bercita-cita (aspire), juga ranah psikomotor/sensorimotor jenjang berinovasi/mengadakan gerak baru (innovate), dan beriringan pula dengan ranah sosial jenjang mengubah/menukar/mempengaruhi pihak lain untuk mengukuti gagasan/tindakannya (convert).

Masih menurut Dettmer, dalam kaitannya dengan aktivitas pembelajaran dan melakukan sesuatu (learning and doing) jenjang/fase keempat ranah kognitif, afektif, psikomotor/sensorimotor, dan sosial memiliki jalinan satu sama lain membentuk satu kesatuan (unity). Melakukan sesuatu yang orisinal merupakan hasil integrasi dari kemampuan berkreasi sebagai kemampuan puncak domain kognitif berintegrasi dengan kemampuan afektif beraspirasi (aspire), kemampuan sensorimotor berinovasi (innovate), dan kemampuan sosial mengonversi ke hal baru (convert). Dettmer menyajikan secara simultan aspek kognitif, afektif, sensorimotor, dan sosial, beserta integrasinya sebagai satu kesatuan (unity) sebagaimana disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1
Domain yang Dikembangkan dalam Pembelajaran

Pembelajaran kreatif versus pengajaran kreatif

Kind & Kind (2007) memberi catatan serius perihal mana yang lebih bermakna antara pembelajaran kreatif ataukah pengajaran yang kreatif. Pembelajaran kreatif mengharapkan murid menjadi murid yang kreatif setelah selesai pembelajaran, sementara pengajaran kreatif pendidik berupaya menggunakan berbagai media dan setting informasi dengan harapan agar murid dapat menguasai konten pembelajaran. Oleh karena itu, pengajaran kreatif justru akan menghasilkan murid yang sangat tidak kreatif.

Contoh sederhana, murid diminta mencampur cairan yang ada di dalam botol bernomor 1 sampai 10. Guru pertama meminta murid hanya melaporkan cairan botol nomor berapa yang dicampur dan diminta mencatat apa hasil yang diperoleh setelah dicampur serta murid diminta melaporkannya dalam bentuk tabel. Jika ada murid yang kesulitan membuat tabel barulah guru membimbingnya. Guru kedua meminta kepada murid dengan langkah pertama mencampur dua cairan botol dan diminta mencatat perubahan warna yang terjadi dan adakah cairan yang dicampur dapat bercampur. Murid dibuatkan tabel sebagai berikut.

Gurulah menjadi kreatif karena juga akan membuat banyak tabel seperti sebagai berikut.

Guru pertama justru mengharapkan muridlah yang kreatif membuat tabel sesuai dengan banyaknya cairan yang dicampur. Bukan malah sibuk sendiri menyiapkan banyak tabel untuk diisi muridnya.

Model pembelajaran untuk pengembangan berpikir kreatif

Mekanisme transformasi sebagai inti proses pembelajaran adalah dalam konteks mengubah peserta didik dari pemula menjadi ahli. Pengetahuan dapat dikuasai, peserta didik dapat berupa pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, pengetahuan konseptual, pengetahuan analogik, dan pengetahuan logik (Farnham, 1994).

Pengetahuan deklaratif adalah pengetahuan yang dapat diungkapkan melalui tulisan, ucapan, huruf braile, lambang matematika, dan lain-lain. Sementara itu, pengetahuan prosedural merupakan pengetahuan dalam bentuk rangkaian tindakan yang harus didemonstrasikan.

Pengetahuan konseptual dari segi konsep ada dua jenis, yakni (a) kategori dan (b) skemata. Pengetahuan konseptual kategori didefinisikan sebagai daftar atribut-atribut, sedangkan pengetahuan konseptual skemata menambahkan ke dalamnya atribut temporal dan spasial, seperti peta dan/atau sekrip.

Pengetahuan analogis sering disebut imajeri/khayalan, yaitu pengetahuan yang menghubungkan sesuatu yang ada di dalam dan di luar kepala. Pengetahuan ini diperoleh melalui pemaparan tunggal (single exposure), sensori dirangsang, dan memori mengingatnya. Jenis belajar ini dipelajari dalam kerangka kerja yg disebut paradigma belajar coba-coba (one-trial learning).

Pengetahuan logika merupakan sistem sebab-akibat di mana modelnya dihubungkan dengan apa menjadi apa. Implikasi dan hubungannya mungkin benar mungkin tidak, sesuai dengan standar sains, tetapi standar itu merupakan sifat yang melekat (Piaget menerangkan caranya dengan menghilangkan kebutuhan yang mendesak). Hal ini karena pengetahuan logika telah ada di dalam diri seseorang dengan melakukan latihan penalaran.

Pada kenyataannya, strategi pembelajaran tidak membatasi sifat paradigma pembelajaran maupun penguasaan pengetahuan. Menurut pengalaman, ada empat kelompok strategi pembelajaran yang dimiliki guru, yakni (a) berbicara (seperti berceramah, bercerita, membaca catatan, dan menginformasikan) (b) pertunjukan (seperti pemodelan dan demonstrasi), (c) pelatihan, dan (d) memfasilitasi lingkungan belajar agar terjadi situasi belajar mandiri.

Semua strategi pembelajaran (termasuk penguatan, pemanfaatan media, dan sebagainya) dapat muncul dalam keempat kategori tersebut sesuai dengan tingkat interaksi sosialnya. Dengan demikian, perlu dipilih strategi pembelajaran yang memberi peluang bagi berkembangnya pola berpikir divergen pada peserta didik.

Pemahaman tentang pengetahuan umum dan pengetahuan khusus akan dapat menjawab pertanyaan yang berkait dengan berpikir kritis. Pengetahuan umum mencakup (a) pengetahuan tentang isi/konten yang dalam hal ini bukan hanya fakta dan informasi, tetapi juga pengalaman personal seseorang, (b) pengetahuan tentang bentuk, di mana pengetahuan dapat membedakan antarbentuk benda menurut fiturnya, (c) pengetahuan kondisional, yakni penerapan pengetahuan tentang konten atau bentuk, dapat menjadi dilebihkan dalam suasana humor, dapat pula apa adanya seperti melaporkan hasil penelitian. Berbeda dengan pengetahuan umum, komposisi pengetahuan khusus selalu dikaitkan dengan tugas khusus. Komposisi pengetahuan khusus pun berkait dengan bentuk dan prosedur (Smagoronsky & Smith, 1992).

Umumnya, pembelajaran selalu dikaitkan dengan produk yang diharapkan dapat dihasilkan oleh peserta didik. Dalam hal ini, setiap tugas khusus berkaitan dengan eksposisi, argumentasi, deskripsi, dan narasi. Dalam pembelajaran, setiap pengetahuan khusus memerlukan strategi khusus yang berbeda dengan yang lain bergantung kepada kebutuhan spesifik yang berkaitan dengan tugas yang harus diselesaikan peserta didik. Pembelajaran di sekolah menengah lebih mementingkan penguasaan pengetahuan khusus.

Pembaruan kurikulum harus terus dilakukan agar proses pembelajaran dapat mencapai hasil sesuai harapan. Dalam pembaruan kurikulum, melekat tiga hal utama, yakni (a) hasil belajar, dalam hal ini dikaitkan dengan keberhasilan dalam suatu area program yang luas, (b) kurikulum terintegrasi, dalam hal ini kebijakan kurikulum diharapkan dapat mempromosikan pembelajaran yang terintegrasi, dan (c) penilaian, dalam hal ini diharapkan guru dapat menilai kemajuan hasil belajar peserta didik dengan mengidentifikasi indikator-indikator hasil belajar, mengembangkan modifikasi teknik penilaian untuk individu peserta didik, menilai proses dan hasil belajar setiap peserta didik, dan menerapkan berbagai teknik penilaian. Jadi, bukan sekadar kegiatan untuk memorisasi dan pengembangan keterampilan dasar (Hargreaves et. al., 2002).

Awalnya, peran guru tampaknya masih menjadi sentral dalam penyelenggaraan pembelajaran di sekolah. Di AS, sejak diundangkannya No Child Left Behind Act (NCLB) tahun 2002, salah satu hal yang diperdebatkan adalah tentang arti menyelenggarakan pembelajaran sebagai suatu profesi guru, bagaimana mengkonseptualisasinya dalam tujuan pembelajaran dan pada akhirnya bagaimana upaya untuk meningkatkan prestasi peserta didik. Dalam lingkup NCLB, profesi mengajar identik dengan kualitas guru. Oleh karena itu, pelatihan dan pengujian (testing) dipandang sebagai salah satu kunci untuk pembaharuan pendidikan. Asumsi yang dipakai dalam kaitannya dengan guru, pembelajaran oleh guru dan kualitas guru.

Pandangan NCLB berkait dengan guru, pembelajaran yang diselenggarakan guru, dan kualitas guru patut dipertanyakan. Tuntutan peningkatan skor pretasi justru membatasi atau mereduksi kurikulum dan justru bertentangan dengan tujuan NCLB untuk menciptakan kekuatan pekerja dan ekonomi yang kompetitif. Dari sisi guru, seorang guru harus memiliki visi atau pandangan yang sangat luas dari apa yang menjadi tujuan praktisnya. Pembelajaran akan berhasil jika guru mampu berpikir lebih jauh daripada ketika ia berdiri di depan kelas, sama seperti pembelajaran yang tidak dibatasi oleh ruang kelas.

Pembelajaran yang sukses bukanlah pembelajaran yang menerapkan strategi berdasarkan hasil riset semata. Akan tetapi, justru pembelajaran yang dibangun berdasarkan perbaikan dari praktik yang berulang-ulang. Itu semua menggambarkan bagaimana guru dan peserta didik bersama-sama membangun kurikulum, bagaimana pengalaman guru dipadukan dengan kultur dan bahasa mereka dalam kerangka interpretatif. Penciptaan lingkungan kondusif yang benar-benar mendukung kegiatan belajar berarti menciptakan berbagai alternatif yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam belajar. Peserta didik lebih dimungkinkan untuk menemukan diri mereka sendiri dan berusaha menjawab pertanyaan mereka sendiri, bukan sekadar menjawab dengan cara dihafal tanpa pikir, dan memungkinkan peserta didik aktif dengan gagasan mereka. Dalam konteks di atas, konsep pembelajaran yang dikemukakan mereka sejalan dengan karakteristik pembelajaran berbasis kreativitas (Cochran & Lytle, 2006).

Selain bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pembelajaran, guru juga bertanggung jawab dalam memberikan disposisi/keputusan tertentu kepada peserta didiknya. Kebaikan, kepedulian, memiliki harapan tinggi kepada peserta didik dan diri mereka, mendidik peserta didik berpikir kritis, mempunyai etika bekerja yang kuat, dan memiliki kesadaran dan  penghargaan terhadap keragaman budaya yang dipelajari di dalam literatur. Ada hubungan antara disposisi yang direfleksikan oleh guru dengan efektivitas pembelajaran (Helm 2006).

Berbasis konsep Bloom yang baru, pembelajaran dapat dibedakan menjadi pembelajaran dasar (basic learning), pembelajaran terapan (applied learning), dan pembelajaran ideasional (ideational learning). Ketiga bentuk pembelajaran tersebut tidak dapat terlepas dari target yang ingin dicapai (Dettmer, 2006).

Pembelajaran dasar (basic learning) dicirikan adanya realisme (apa yang akan peserta didik ketahui) dan isi/konten bersifat esensial. Perolehan aspek kognitif berupa proses mengetahui dan memahami. Pembelajaran bersifat rudimenter. Konsep diperlukan dan harus dikuasai oleh peserta didik. Pendidik mengajarkan apa yang harus dipelajari peserta didik. Oleh karena itu, diajarkan dalam bentuk proses yang terstruktur dan dengan domain isi yang standar. Dalam hal ini, harus ada waktu tambahan bila peserta didik belum menguasai.

Pembelajaran terapan (applied learning) dicirikan oleh pragmatisme (apa yang dapat peserta didik perbuat), bersifat pengembangan. Penekanan pada penerapan, analisis, dan evaluasi, sehingga sudah kompleks dan menjadi bersifat individual bagi setiap peserta didik. Pendidik hanya membimbing (tidak mengajarkan) agar peserta didik dapat tumbuh kemampuan aplikasinya. Konten/isi sangat penting, proses luwes, dan domain isi menyesuaikan. Capaian hasil yang diharapkan dapat bervariasi dan kesempatan pembelajaran disediakan sebagai tantangan bagi masing-masing peserta didik.

Pembelajaran ideasional (ideational learning) dikarakterisasi oleh idealisme atau aspirasi peserta didik. Pembelajaran bertumpu pada apa yang menjadi aspirasi peserta didik untuk mencapai perolehan sampai pada tataran inovasi atau hal-hal baru. Perolehan dari aspek kognitif mencakup (a) proses menyintesis dari berbagai komponen untuk menghasilkan satu gabungan yang punya arti, (b) berimajinasi dalam arti menciptakan dan menjelajah gambaran mental dari situasi yang tidak tersajikan secara fisik, dan (c) berkreasi dalam arti menciptakan hal-hal yang baru yang berbeda dengan yang sudah ada. Pembelajaran ideasional menjadi bersifat personal bagi setiap peserta didik. Pendidik hanya sebagai fasilitator yang bertugas melayani peserta didik sehingga peserta didik peserta didik ”terbangkitkan” untuk menemukan hal baru. Konten/isi pembelajaran berupa hal-hal yang baru, proses pembelajaran bersifat open-endend, dan untuk mengembangkan domain yang mendukung keunikan. Hasil belajar yang berbeda justru diharapkan dan dorongan diberikan kepada setiap peserta didik untuk dapat memenuhinya.

Berpikir kreatif erat kaitannya dengan gaya belajar seseorang. Menurut McCarthy, gaya berpikir peserta didik dapat dibedakan menjadi empat macam tipe, yakni tipe (a) diverger, (b) asimilator, (c) konverger, dan (d) akomodator. Tipe diverger memiliki dominansi berpikir pola C dan D. Pola berpikir tipe C ditandai dengan ciri-ciri suka bekerja dalam kelompok, tukar menukar ide, suka bekerjasama, punya spirit yang tinggi untuk berhasil. Aspek nilai dan religi sangat mewarnai jalan pemikirannya, selalu ingin berhasil. Berpikir pola D ditandai dengan kemampuan visual, holistik, metaforal, kreatif, imaginatif, konseptual, spasial, fleksibel, dan intuitif. Kemampuan tersebut erat kaitannya dengan hal-hal yang mendatang, sintesis, bermain, impian, visi, perencanaan yang strategik, konteks yang lebih luas, jiwa kewirausahaan, perubahan, dan pembaharuan (Lumsdaine & Lumsdaine, 1995).

Pembelajaran kognitif tidak dapat dipisahkan dari pembelajaran afektif. Format pelajaran yang berhasil adalah mengetahui, mengagumi, mempelajari, dan menyikapi apa yang ada di dalam topik yang dibahas atau dikenal dengan mengetahui mengagumi, belajar, dan menyikapi (Know, Wonder, Learn, Affect atau KWLA). Dalam format KWLA, peserta didik memperkuat konstruksi pengetahuan baru sewaktu mereka memperluas pembelajaran kognitif dengan mengenali respons afektif mereka. Belajar tidak terjadi dalam kekosongan afektif. Sewaktu peserta didik secara sadar menggunakan pentingnya dan minat mereka sendiri pada informasi yang baru saja dibaca, nampaknya mereka itu memahami dan mengingat informasi itu lebih baik (Mandeville, 1994).

Menyeimbangkan pembelajaran berbasis standar dan pembelajaran untuk mengembangkan kreativitas menjadi menarik karena antara pembelajaran berbasis standar dan pembelajaran untuk mengembangkan kreativitas merupakan dua spektrum yang sifatnya berkebalikan. Standar merupakan suatu konsep hitam dan putih atau konsep yang pasti, menyatakan sasaran hasil belajar yang sangat jelas dengan penilaian yang digariskan, sementara kreativitas adalah suatu istilah yang sulit untuk digambarkan. Ketika mengevaluasi antara standar dan kreativitas, jelas bahwa keduanya memandu peserta didik dengan berbagai cara serta piranti untuk belajar. Pemikiran kreatif dengan jelas terpisah dari pemikiran sekuensial. Kemampuan berpikir analitis berasosiasi dengan standar dan pendidikan tradisional. Seandainya salah satu komponen pelajaran tersebut diikuti, maka keseimbangan di dalam gaya berpikir dapat terpengaruh. Penetapan bagaimana caranya mengintegrasikan kreativitas ke dalam suatu sistem yang berbasis standar sangat penting untuk mempertimbangkan kebutuhan belajar bagi peserta didik berbakat. Untuk itu perlu dipilih strategi pembelajaran cocok untuk membelajarkan kreativitas.

Strategi untuk membelajarkan kreativitas dapat dilakukan dengan cara, antara lain (a) membantu perkembangan imajinasi dan khayalan peserta didik dengan menyediakan peluang untuk melakukan penulisan yang kreatif, (b) menerapkan pekerjaan yang bersifat interdisipliner dan pemecahan permasalahan yang menawarkan bermacam perspektif dari sudut pandang yang berbeda, (c) memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menggunakan banyak waktu belajarnya di dalam  proyek yang diperluas dan diperkaya di luar keterampilan dasar yang harus dikuasainya dan menyediakan waktu yang cukup untuk aktivitas yang kreatif, (d) memanfaatkan piranti teknologi untuk memecahkan masalah, (e) memanfaatkan internet untuk mencari informasi dan mempromosikan hasil kerja peserta didik, (f) menerapkan suatu kerangka kurikulum seperti teaching for intellectual and emotional learning yang memuat komponen kreativitas dengan memasukkan pengoperasian pemikiran divergen di dalamnya, (g) menerapkan model pembelajaran yang mendasarkan pada kreativitas, (h) menyediakan pembelajaran yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan masing-masing peserta didik sesuai dengan gaya belajar mereka, (i) memperluas teknik penilaian yang digunakan untuk menilai peserta didik (Burke, 2007).

Baca juga:   Kesalahan Konsep Sampai Kini: Penilaian dan Evaluasi

Ada dua ukuran tentang pengertian ’kreativitas ilmiah’ dalam IPA, yakni (a) harus didasarkan pada apa yang riil dikerjakan oleh saintis, yaitu dalam konteks riset ilmiah dan (b) dalam kerangka yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didik. Dimensi kreativitas menyangkut (a) person, (b) produk, (c) proses, dan (d) lingkungan yang kreatif. Setidaknya ada empat mata rantai terkait praktik dalam pendidikan IPA, yakni (a) pembelajaran kreatif, (b) seni dan IPA, (c) penemuan dalam IPA, dan (d) hakikat dari IPA. Pembelajaran untuk kreativitas berarti kreativitas suatu hasil pelajaran atau ‘label kretivitas sebagai tujuan’, bukan pembelajaran kreatif dalam pengertian kreativitas guru dalam pengertian pembelajaran yang menggunakan pendekatan imajinatif agar lebih menarik, menggairahkan, dan efektif, bersifat terbuka, berorientasi peserta didik, bersifat eksporatori, dan menggunakan strategi pembelajaran berbasis kelompok termasuk dalam aktivitas laboratorium/lapangan.

Pembelajaran IPA yang kreatif pada dasarnya peserta didik diminta untuk melakukan penemuan atau inkuiri (inquiry)  secara terbuka, atau mengerjakan tugas-tugas yang berkait dengan penyelidikan, sehingga peserta didik melakukan kegiatan seperti kegiatan kreatif yang dilakukan oleh ilmuwan dalam melakukan riset ilmiah. Pendekatan kognitif menyatakan bahwa pembelajaran dapat menyesuaikan diri dengan mengembangkan pola penalaran yang kreatif. Peserta didik IPA di sekolah adalah ‘pemikir sederhana’, oleh karenanya cenderung boleh untuk menggunakan proses ilmiah manapun dengan cara yang berbeda dari para ilmuwan (Kind & Kind (2007).

Pembelajaran kreativitas ilmiah dapat saja serupa dengan ‘keterampilan dan trend IPA pada tahun 1960-an sampai 980-an, yakni berupa satu rangkaian keterampilan penalaran (seperti keterampilan menglasifikasi, menyusun hipotesis, dan melakukan interpretasi) yang diperkenalkan sebagai perwakilan pemikiran ilmiah agar menjadi bermanfaat di dalam hidup. Hal itu dapat diajarkan melalui pembelajaran IPA. Meskipun demikian, pendekatan ini sering dikritik karena rangkaian keterampilan seperti itu bukan spesifik IPA dan dapat dikembangkan dengan mengabaikan pembelajaran IPA. Oleh karena itu, apa yang dipelajari perlu lebih difokuskan kepada jenis permasalahan, pengetahuan, dan konteks di mana rangkaian keterampilan tersebut dipergunakan (Kind & Kind, 2007).

Pendekatan mutisensor menjadi sangat penting untuk diterapkan dalam pembelajaran karena dapat untuk merangsang peserta didik agar dapat berkembang kemampuan otak kanan dan kiri secara seimbang. Di dalam pendidikan yang sangat utama adalah bagaimana peserta didik dibantu untuk membentuk asosiasi-asosiasi di dalam otaknya sehingga input atau masukan sensori sampai ke proses neurologi dan menghasilkan output atau luaran yang ekspresif. Pembelajaran yang hanya dilaksanakan dengan membentuk asosiasi melalui sensor tunggal (one senses). Hal itu kurang menguntungkan. Jika guru/pendidik membiasakan untuk memanfaatkan multi-sensor (sebagai performans/kinerja yang dipadukan) tentunya akan memberikan keuntungan karena menjadikan peserta didik mampu melakukan banyak asosiasi. Dengan memanfaatkan multi-sensor memberikan peluang bagi peserta didik untuk mengunakan berbagai jalur neural di dalam otak. Dengan demikian, peserta didik akan berkembang kemampuan berpikirnya, baik kemampuan berpikir konvergen maupun kemampuan berpikir divergennya (Christie, 2000).

Ada beberapa model pembelajaran yang memiliki peluang yang baik untuk mengembangkan kemampuan berpikir divergen untuk membangun kemampuan berpikir kritis. Model atau teknik pembelajaran curah pendapat (brainstorming) sebagai salah satunya (Artherton, 2005: 1; Hurt, 1994). Dalam kegiatan curah pendapat melibatkan pembangkitan seluruh ide/gagasan kreatif dan tidak terstruktur dari peserta didik. Perolehan dari teknik ini adalah untuk memperoleh sebanyak mungkin gagasan/ide dalam suatu periode waktu yang singkat dengan didahului dengan melontarkan suatu permasalahan sebagai gagasan pokok atau gagasan kunci  (Vosburg, 2010).

Meskipun pembelajaran curah pendapat memiliki kelemahan karena hanya sampai pada penyampaian ide dan tidak menghasilkan langkah nyata, namun curah pendapat dengan cepat dapat membangkitkan ide dengan beragam perspektif/sudut pandang, memberikan kontribusi untuk membangun kelompok, dan dapat membangkitkan gagasan yang futuristik (Hurt). Dalam model pembelajaran curah pendapat, faktor pemilihan pertanyaan akan sangat menentukan terjadi tidaknya proses berpikir divergen. Pertanyaan yang diberikan kepada peserta didik untuk memunculkan atau merangsang kemampuan berpikir divergen adalah pertanyaan dalam order berpikir yang tinggi dan harus merupakan pertanyaan terbuka (Collette & Chiappetta, 1994). Namun demikian, masih ada faktor yang perlu diperhatikan, yakni pertanyaan harus ditujukan kepada setiap individu peserta didik sehingga peserta didik teradorong untuk berpikir, adanya pemberian waktu yang cukup bagi peserta didik berkesempatan untuk berpikir (Croom & Stair, 2005). Keadaan yang menyenangkan juga akan sangat mempengaruhi kinerja proses berpikir peserta didik. Peserta didik tidak boleh dalam dalam keadaan yang tertekan (Torrance, 1979).

Model kedua adalah model teknik menulis bebas atau mengarang (free-writing). Ketika seseorang menulis bebas maka peserta didik yang bersangkutan akan memusatkan diri pada topik tertentu yang ditulis tanpa henti tentang hal-hal yang berkait dengan apa yang sedang ditulisnya untuk suatu periode waktu tertentu yang singkat. Dengan demikian, akan sangat membantu peserta didik untuk menghasilkan berbagai pemikiran tentang suatu topik, yang diikuti dengan mengatur kembali gagasan dan organisasi pemikirannya menjadi pola-pola yang terorganisasi.

Model yang ketiga adalah model pemetaan pemikiran (mind maping). Model ini melibatkan peletakan gagasan yang tercurah dalam wujud suatu peta visual atau gambar yang menunjukkan hubungan antargagasan. Seseorang dapat menuangkan gagasannya mulai dengan suatu topik utama/gagasan pokok yang kemudian dibuat cabang-cabang dari topik utama/gagasan pokoknya sehingga menghasilkan aspek atau bagian sebagai subtopik/atau bagian dari topik utama/gagasan pokok. Dari setiap aspek atau cabang dari subtopik utamanya dicari percabangannya lagi untuk menemukan sub-subtopik atau sub-subgagasan. Akhirnya akan tercipta suatu gambaran visual atau peta topik yang dapat dikembangkan peserta didik. Dalam hal ini, yang terlibat adalah kemampuan berpikir divergen dan sekaligus kemampuan berpikir konvergen. Karena pada saat seseorang mencari cabang atau anak cabang maka yang bekerja adalah proses mencari bagian yang lebih kecil melalui proses berpikir divergen. Sebaliknya, pada saat peserta didik merunut apakah sub-sub topik/sub-subgagasan benar-benar bagian yang mendukung sub-topik maka yang terjadi adalah proses berpikir konvergen.

Model lain yang berpotensi untuk mengembangkan kemampuan berpikir divergen untuk membangun kemampuan berpikir kritis adalah model proyek dan model penyusunan portofolio model proyek meliputi kegiatan merancang, melaksanakan, serta melaporkan hasil proyek, baik secara tertulis maupun secara lisan. Sementara itu, model portofolio memberi peluang bagi setiap peserta didik untuk memilih isi portofolio (Gronlund, 1998). Dengan demikian, di dalam kegiatan proyek  ada unsur mencari ide untuk memilih masalah, mencari ide pemecahan masalah, dan mencari ide strategi pelaporan, yang semuanya harus melibatkan banyak alternatif sebelum peserta didik mengambil keputusan sehingga melibatkan proses berpikir divergen dan konvergen.

Dalam mempelajari lingkungan, dapat diselenggarakan dengan model service learning yang dicirikan adanya pelibatan peserta didik untuk memecahkan permasalahan lingkungan lokal sebagai upaya untuk memandu peserta didik memahami permasalahan lingkungan global yang sangat kompleks sifatnya. Implementasi model service learning ditandai dengan pelibatan peserta didik untuk ikut menyelesaikan permasalahan lingkungan lokal melalui action team project. Service-learning yang berhasil mengkombinasikan antara suara/gagasan peserta didik, kebutuhan masyarakat, refleksi, dan evaluasi. Dengan mengangkat isu nyata yang ada di lingkungan dan di masyarakat sekitar, peserta didik bebas untuk mengusung permasalahan ke dalam kelas dan kemudian memilih salah satu di antaranya untuk diselesaikan. Dengan demikian, service learning memadukan pemikiran konvergen dan divergen. Pemikiran konvergen dalam bentuk pengambilan keputusan mulai dari penetapan masalah serta hasil tindakan yang diperoleh sedangkan pemikiran divergen berkembang saat peserta didik melakukan curah pendapat untuk mencari gagasan-gagasan kreatif untuk memecahkan masalah (Dominguez & McDonald, 2005).

Model pembelajaran bermain peran (role playing), cocok untuk pembelajaran tentang lingkungan, misalnya dengan mengaitkan isu lokal dan isu global akan sangat membantu peserta didik memahami permasalahan lingkungan secara utuh (Hull, 2000). Dengan bermain peran maka peluang berkembangnya pemikiran konvergen dan divergen dapat berlangsung dengan baik.

Pembelajaran dengan model seemingly simple yang disajikan dalam bentuk “Aktivitas Biosfer” yang berpusat pada peserta didik—seperti pembelajaran penemuan/inkuiri, hand-on, dan minds-on, pemecahan masalah—dapat membantu peserta didik untuk memperdalam pemahaman mereka terhadap ekologi melalui kegiatan bersifat open-ended. Dengan “aktivitas Biosfeer” dapat memfasilitasi peserta didik secara aktif untuk menumbuhkan konsepsi-konsepsi pada diri mereka (Karlan, 2000).

Pemberian kombinasi pertanyaan konvergen dan divergen pada semua jenjang kognitif tinggi membantu peserta didik mengembangkan keterampilan untuk pemecahan masalah. Pertanyaan yang bersifat divergen adalah pertanyaan yang tidak akan memberikan jawaban ya atau tidak. Pertanyaan yang diawali dengan kata seperti: “mengapa”, “bagaimana”, “apa yang anda pikirkan”, dan lainnya yang sejenis akan memberikan banyak kemungkinan jawaban. Dengan demikian, peserta didik akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan banyak kemungkinan jawaban yang benar sebagai ciri berpikir divergen. Pertanyaan yang bersifat divergen dicirikan (a) memiliki banyak jawaban yang benar, (b) dipakai untuk meminta peserta didik dalam memecahkan masalah, dan (c) berupa pertanyaan terbuka (Croom & Stair, 2005).

Pemikiran yang sudah terpola memungkinkan mengerjakan tugas rutin dengan cepat dan teliti. Namun demikian, akan menyulitkan seseorang untuk memperoleh gagasan baru dan solusi kreatif bila menghadapi permasalahan, terutama permasalahan yang tidak biasa. Kreativitas adalah penyimpangan atau deviasi dari pengalaman dan prosedur yang telah dimiliki. Banyak orang bermasalah untuk melakukan suatu hal karena pikiran sudah mempola. Ketika pikiran yang sudah terpola itu ditinggalkan, akan muncul tak berhingga bilangan solusi ide kreatif untuk melakukannya. Aspek lain dari kreativitas adalah pembangkitan gagasan baru, dengan cara dimodifikasi, dengan melakukan tujuh jalan menuju kreativitas, yakni (a) mengganti, (b) mengkombinasikan, (c) menyesuaikan, (d) memodifikasi, memperbesar, atau menambahkan, (e) menempatkan untuk penggunaan yang lain, (f) menghapuskan, dan (g) menyusun kembali atau memutarbalikkan (revers). Dengan memberikan pertanyaan kepada peserta didik mengikuti tujuh jalan menuju kreativitas di atas akan bermunculan banyak gagasan yang semula hampir tak terpikirkan (Michalko, 2000).

Sebagai contoh, untuk mengidentifikasi ciri makhluk hidup secara kreatif dapat dipilih.

Indikator:

  1. Menentukan sendiri objek dan gejala yang akan diamati.
  2. Menyusun sendiri tabel hasil pengamatan yang dilakukan.
  3. Menatasi sendiri kemungkinan kesalahan dalam melakukan pengamatan dan pengukuran
  4. Menyimpulkan sendiri hasil pengamatan yang telah dilakukan

Contoh dalam memberikan skor tes kinerja untuk mengukur kemampuan mengkreasi, dapat diklasifikasi berdasarkan banyaknya jawaban yang sama dalam satu kelas. Buat setiap item lengkap dengan rubrik dan kriteria kreativitas, sebagai contoh adalah sebagai berikut.

Skor 1 jika jawaban murid banyak yang sama, sebanyak > 40% kelas.
Skor 2 jika jawaban murid tidak banyak yang sama, yakni sebanyak >20 – 40% kelas.
Skor 3 jika jawaban murid sedikit sekali yang sama, yakni paling banyak 20% kelas.

Berikut contoh penyekoran untuk satu item.

Soal

  1. Berat tubuh ayam dapat diketahui dengan menimbangnya, tetapi tidak akan dapat diketahui jika hanya menimbang gambar atau fotonya. Selain berat tubuhnya, tulislah dua contoh lain yang tidak dapat diketahui hanya dari gambar atau fotonya!

Penetapan skor karya sebagai hasil kreasi peserta didik dilakukan dengan cara memerinci aspek yang akan diberi skor dari produk yang dihasilkan beserta kriteria tiap aspek tersebut.

Contoh: Aspek dan skor tiap aspek untuk hasil karya berupa karangan ilmiah.

  1. Judul:
    Skor 1 judul tidak sesuai isi
    Skor 2 judul melebar tidak fokus pada isi
    Skor 3 judul sesuai isi

Misalnya:
Pengaruh daun salam terhadap kesehatan à skor 1
Pengaruh ekstrak daun salam terhadap kadar gula darah à skor 2
Efektivitas dosis ekstrak daun salam terhadap kadar gula darah à skor 3

  1. Latar belakang, buat kriterianya!
  2. Tujuan dan manfaat, buat kriterianya!
  3. Rumusan masalah, buat kriterianya!
  4. Pembahasan, buat kriterianya!
  5. Simpulan, buat kriterianya?
  6. Jenis dan kemutakhiran referensi, buat keiterianya?

Dapat pula ditambah dengan aspek frekuensi konsultasi:

Skor 1 jika >2 kali konsultasi
Skor 2 jika 1–2 kali konsultasi
Skor 3 jika tanpa konsultasi

Selanjutnya dibuat lembar penskoran dalam bentuk table yang memuat kolom skor guru dan kolom skor murid. Dalam hal ini murid diminta melampirkan skor yang diperoleh atas karangan ilmiah yang ia buat.

Tabel 2 Penyekoran

Demikian pula, jika hasil karya berupa laporan proyek maka harus dirinci aspek/komponen laporan tersebut beserta kriteria untuk penyekoran tiap-taip aspek laporan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, L.W. & Krathwohl, D.R. et al (Eds.). (2001). A Taxonomy for learning, teaching, and assessing: A revision of Bloom’s taxonomy of educational objectives. Boston: Allyn & Bacon.

Burke, A.A. (2007). The Benefits of Equalizing Standards and Creativity: Discovering a Balance in Instruction [Versi elektronik]. Gifted Child Today, 30, 1, 58-63.

Christie, S. B. (2000). The brain: Utilizing multi-sensory approaches for individual learning Styles [Versi elektronik]. Education, 121, 2, 327-330.

Cochran, S.M. & Susan L Lytle, S.L. (2006). Troubling images of teaching in no child left behind [Versi elektronik]. Harvard Educational Review, 76, 4, 668-699.

Croom, B. & Stair, K. (2005). Getting from Q to A: Effective questioning for effective learning [Versi elektronik]. The Agricultural Education Magazine, 78, 1,  12-14.

Croom, B. (2004). Are there any question? diambil pada tanggal 29 Agustus 2007 dari  http://www.terecord.org/default.asp ID Number: 11282.

Dettmer, P. (2006). New Blooms in Established Fields: Four Domains of Learning and Doing [Versi elektronik]. Roeper Review, 28, 2, 70-78.

Dominguez, L. & McDonald, J. (2005). Environmental Service-learning Projects: Developing skills for action [Versi elektronik].  Green Teacher, 76; 13-17.

Ebel, R.L. & Frisbie, D.A. (1986). Essentials of educational measurement. New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Gronlund, N.E. (1998). Assessment of student achievement, 9-th. Boston: Allyn and Bacon.

Hargreaves, A., Earl, L., & Schmidt, M.  (2002). Perspectives on alternative assessment reform [Versi elektronik]. American Educaional Research Journal, 39, 1, 69-95.

Hurt, F. (1994). Better brainstorming [Versi elektronik].  Training & Development, 48, 11, 57-59.

Karlan, J.W. (2000). The biosphere challenge: Developing ecological literacy [Versi elektronik]. Green Teacher, 62, 13-18.

Kind, P. M. & Kind, V. (2007). Creativity in science education: Perspectives and challenges for developing school science [Versi elektronik]. Studies in Science Education,  43, 1-37.

Lumsdaine, E. & Lumsdaine, M. (1995). Creative problem solving: Thinking skills for a changing world. New York: McGraw-Hill, Inc.

Mandeville, Th.F. (1994). KWLA: Linking the affective and cognitive domains [Versi elektronik]. The Reading Teacher, 47, 8, 679-680.

Miller, J.L. (2005). Mind magic: How to develop the 3 components of intelligence that matter most in today’s world. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Michalko, M. (2000). Four steps toward creative thinking [Versi elektronik]. The Futurist, 34, 3, 18-21.

Smagoronsky, P. & Smith, M.W. (1992). The Nature of Knowledge in Composition and Literary Understanding: The Question of Spesificity. Review of Educational Research, 62, 3, 279-305.

Smith, J.K. (2003).  Reconsidering reliability in classroom assessment and grading [Versi elektronik].

Torrance, E.P. (1979). Three stage model for teaching for creative thinking. Dalam: Lawson, A.E. The psychology of teaching for thinking and creativity. Columbus: ERIC.

Vosburg, S.K. (2010). The effects of positive and negative mood on divergent-thinking performance [Versi elektronik]. Creativity Research Journal. Volume 11, 1998 – Issue 2. Pp 165-172. Published online 08 Jun 2010. https://doi.org/10.1207/s15326934crj1102_6.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here