Oleh Gus Nas Jogja
Tanah air yang berurai air mata
Anak-anak zaman yang terapung di antara batu-batu karang
Masih adakah suara renta dan terbata-bata ini kalian dengarkan?
Dalam porak-poranda kata-kata
Ketika fatwa berlumur lumpur dan petatah-petitih kian tertatih
Aku mendengar jeritan tangis bayi di reruntuhan rasa sakit hati
Atas nama apa akan kubela duka lara bangsa ini?
Atas nama siapa kupanggul harga diri negeri gemah ripah yang tak sanggup memakmurkan bangsanya sendiri?
Pada kelopak mataku sendiri
Kusaksikan racun korupsi membunuh jutaan bayi hingga lintas generasi
Tuba narkoba membantai putra-putri ibu pertiwi
Akankah kejang-kejang para pejuang akan kubiarkan terus berulang?
Haruskah syair kalabendu akan kujadikan lagu menjelang tidur malamku?
Berapa lama sesama anak-bangsa ini akan terus saling mencerca?
Berapa lama sesama anak-negeri ini akan selalu saling mencaci?
Hari ini aku rindu menulis prasasti
Pada bait puisi yang tak pernah salah menerjemahkan suara hati
Kalian bisa menyebutnya bela negara
Tapi aku lebih suka memberi nama prasasti cinta
Dengan mengucap Indonesia Raya
Aku merayakan rasa syukur tafakkurku
Ijinkan akal pikiranku mengembara di jagat semesta
Menziarahi cakrawala bersama burung Garuda
Dengan sayap merah putih ini kukepakkan puisiku pada biru lazuardi
19 Desember 2020