
Heru Purnomo, M.Pd.
Dosen Prodi PGSD Universitas PGRI Yogyakarta dan Kandidat Doktor Dikdas Universitas Negeri Yogyakarta
Suyanto.id–Februari 2020, Indonesia digemparkan wabah penyakit dari Kota Wuhan, Corona Virus Disease 2019 (Covid 19). Banyak negara yang terkesan apatis pada wabah yang diperkirakan berasal dari kelelawar itu, termasuk Indonesia, hingga kemudian WHO menetapkannya sebagai sebagai pandemi pada 11 Maret 2020.
Kekhawatiran merebaknya Covid-19 diantisipasi oleh pemerintah dengan membatasi interaksi masyarakat dalam berkerumun, baik di tempat umum, tempat ibadah, maupun sekolah. Hal ini memaksa sekolah menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Tujuan kebijakan ini adalah untuk mengantisipasi penyebaran Covid-19 sebagaimana tertuang dalah Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020.
Kebijakan PJJ ternyata tidak berbanding lurus dengan kesiapan sekolah. Guru-guru kebingungan menerapkan sistem PJJ yang didominasi oleh kegiatan dalam jaringan (daring). Kebingungan tersebut meliputi konsep pembelajaran daring yang tepat bagi peserta didik dan cara menerapkan kurikulum dalam pembelajaran daring. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ketercapaian kurikulum tidak berjalan dengan baik.
Hal tersebut menjadi ironis dengan Revolusi Industri 4.0 yang ditandai berkembangnya internet of things yang merambah di berbagai bidang kehidupan masyarakat. Ketidaksiapan ini terlihat dari SE Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa PJJ atau pembelajaran daring dilaksanakan tanpa terbebani tuntutan menuntaskan kurikulum, baik untuk kenaikan kelas maupun untuk kelulusan. Makna tanpa terbebani menuntaskan kurikulum di sini menandakan bagaimana ketidaksiapan sistem pendidikan nasional dalam menghadapai pandemi Covid-19.
Surat edaran tersebut juga bertentangan dengan UU Sisdiknas, bahwa PJJ diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana, layanan belajar, dan sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai standar nasional pendidikan. UU Sisdiknas jelas mengamanatkan bahwa dalan kondisi bagaimanapun, penjaminan mutu lulusan harus sesuai standar nasional.
Sebagai negara dengan potensi bencana alam yang tinggi, seharusnya kurikulum adaptif sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. Berdasarkan data BNPB, sepanjang 2019 terjadi bencana sebanyak 3.768 dan 1928 kejadian sepanjang 1 Januari hingga 30 Agustus 2020. Kesiapsiagaan pendidikan dalam segala medan harus menjadi dasar bagaimana menakar kualitas pendidikan nasional kita.
Hal yang terjadi saat ini masyarakat Indonesia begitu kebingungan dan gaptek (gagap teknologi) dalam proses pembelajaran daring. Perubahan mindset dari tatap muka ke daring harus dipaksakan pada masa Revolusi Industri 4.0 ini. Ketidaksiapan sarana prasarana dan sumber daya manusia banyak dikeluhkan dan ditemukan di sekolah-sekolah, baik di kota, kabupaten, hingga daerah-daerah terpencil. Pada akhirnya berimplikasi tidak terdapainya tujuan pendidikan nasional.
Sistem pendidikan nasional
Secara garis besar, sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait untuk mencapai tujuan pendidikan nasional (Sanjaya, 2007:50). Dalam konteks ini, tujuan pendidikan nasional mengacu kepada UU Sisdiknas.
Sebagai bentuk penyesuaian undang-undang pada arah reformasi pendidikan, semestinya pemerintah sesegera mugkin menyesuaikan sistem pendidikan nasional dengan membuat kurikulum yang adaptif. Konsep kurikulum adaptif di sini adalah sebagaimana yang dinyatakan Lee at all (Mzizi, 2014:7), “curriculum adaptations refer to efforts to modify the way in which content is presented or content in which the learner engages with and responds to in the curriculum”.
Keberadaan kurikulum adaptif ini akan membuat sistem pendidikan di Indonesia mampu bertahan sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan nasional. (*)
If some one needs to be updated with latest technologies after that he must be go
to see this web page and be up to date daily.