
Abdul Aziz Saefudin
Dosen Prodi Pendidikan Matematika Universitas PGRI Yogyakarta dan Kandidat Doktor Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta
Suyanto.id–Sudah sembilan bulan sejak kasus positif Covid-19 diumumkan di publik, pandemi masih melanda di negeri tercinta. Kasus terkonfirmasi positif Covid-19 tidak menurun, tetapi sebaliknya grafiknya semakin meningkat. Melansir laman web https://covid19.go.id, per tanggal 04 Desember 2020, terdapat 563.680 kasus yang terkonfirmasi positif Covid-19, 80.023 kasus dirawat (42,2% dari kasus terkonfirmasi), 466.178 sembuh (82,7%), dan 17.479 (3,1%) meninggal. Meski persentase kesembuhan jauh lebih tinggi dibandingkan kasus meninggal, tetapi grafik perkembangan kasus terkonfirmasi positif Covid-19 per hari semakin meningkat. Justru rekor tertinggi penambahan kasus positif Covid-19 sempat mencapai 8.369 kasus pada tanggal 3 Desember 2020.
Melihat hal tersebut, tentu pandemi ini belum bisa berakhir dalam waktu dekat. Apalagi ditambah dengan kurangnya disiplin warga masyarakat kita dalam menerapkan protokol kesehatan seperti memakai masker, mencuci tangan, dan tidak bergerombol di tempat keramaian. Padahal, tempat rekreasi juga sudah dibuka, mobilitas warga begitu masif, dan banyak diizinkannya pelaksanaan acara komunitas. Ketidakdisiplinan warga masyarakat akan menyebabkan pandemi sulit sirna. Memang, konon katanya, vaksin sudah ditemukan, sudah lulus uji klinis, proses produksi dan siap diedarkan, tetapi dalam prosesnya tentu membutuhkan waktu untuk distribusi dan vaksinisasi seluruh warga. Karenanya, tidak ada cara lain saat ini, kecuali semua warga masyarakat disiplin menerapkan protokol kesehatan dalam aktivitas keseharian.
Dilema
Realitas tersebut seharusnya dapat dijadikan pijakan untuk bersikap arif dan bijaksana dalam menyikapi rencana Kemendikbud untuk mengizinkan sekolah melakukan kegiatan pembelajaran tatap muka pada semester genap tahun akademik 2020/2021 per bulan Januari 2021. Kebijakan ini tentu memunculkan pro dan kontra di kalangan orang tua, pendidik, dan pemerhati pendidikan. Mengapa demikian?
Membuka sekolah untuk peserta didik mengikuti pembelajaran tatap muka merupakan situasi yang membuat dilema. Kalangan pro sekolah dibuka dan melakukan pembelajaran tatap muka menganggap, pertama, bahwa anak-anak usia sekolah sudah terlalu lama belajar dari rumah sehingga dianggap menurunkan motivasi dan semangat belajar mereka. Kedua, beban psikologis anak semakin bertambah karena tidak bisa mengikuti kegiatan pembelajaran secara daring karena berbagai keterbatasan. Contohnya, keterbatasan akses internet dan perangkat elektronik. Sampai kita dengar, ada kasus anak sekolah yang bunuh diri karena merasa terbebani dengan banyaknya tugas sekolah. Meski sudah ada subsidi kuota belajar, tetapi efektivitasnya masih dipertanyakan, karena tidak tepat sasaran. Selain itu, ditambah infrastruktur yang kurang memadai di daerah.
Keadaan ini juga didukung dari survei UNICEF, bahwa 66% dari 60 juta siswa dari berbagai jenjang pendidikan di 34 propinsi di Indonesia mengaku tidak nyaman belajar di rumah selama pandemi dan 87% siswa dari jumlah tersebut menginginkan segera kembali belajar di sekolah (edukasi.kompas.com, 24/06/2020). Ketiga, orang tua siswa juga bebannya terlalu berat untuk menemani anak-anaknya belajar di rumah secara berkelanjutan, karena adanya keterbatasan pengetahuan dan mereka juga harus membagi waktu dengan aktivitas lainnya seperti bekerja di luar rumah. Keempat, banyak tempat umum seperti mall dan tempat wisata dibuka, tetapi justru sebaliknya sekolah tidak dibuka. Keadaan ini menjadi pertanyaan banyak pihak, sehingga banyak yang mengingkan sekolah juga harus segera dibuka. Kelima, hasil pengamatan penulis sendiri juga memperlihatkan bahwa anak-anak lebih banyak bermain dibandingkan belajar di rumah. Orang tua siswa bisa dikatakan cenderung angkat tangan dan pasrah dengan kemajuan dan motivasi belajar anak-anaknya. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran dan alarm bagi dunia pendidikan, karena pandemi bisa menjadi batu sandungan untuk meningkatkan mutu pendidikan secara keseluruhan. Apalagi kondisi dan situasi belajar anak-anak tidak terkontrol dengan baik, mungkin saja pandemi dapat mengakibatkan lahirnya generasi yang hilang (lost generation).
Kalangan yang kontra sekolah dibuka dan pembelajaran tatap muka juga punya alasan tersendiri. Pertama, mereka menganggap, pandemi belum berakhir dan penambahan kasus positif Covid-19 semakin meningkat. Jikalau anak-anak sekolah masuk dan mengikuti pembelajaran tatap muka tentu memberikan peluang yang besar terjadinya penularan. Pembukaan sekolah dan pembelajaran tatap muka berisiko, karena perilaku kurangnya disiplin warga sekolah dalam menerapkan protokol kesehatan dapat memunculkan klaster penularan virus di lingkungan sekolah. Apalagi jika anak-anak tingkat pra-sekolah (Playgrup, TK) dan siswa SD tingkat rendah, aktivitasnya tidak mudah dikontrol dalam bergaul bersama temannya. Hal ini tentu memudahkan virus menular di antara mereka. Kedua, banyak sekolah sebenarnya kurang siap dalam menerapkan protokol kesehatan. Alasannya, infrastruktur sarana prasarana pendukung untuk menerapkan protokol kesehatan masih terbatas. Jika dilakukan pengadaan seluruh sekolah di Indonesia maka memerlukan dana yang besar. Meskipun, pemerintah saat ini melakukan realokasi dana yang sangat besar untuk pencegahan dan penanggulangan Covid-19 termasuk untuk sektor pendidikan. Oleh karena itu, membuka sekolah dan pembelajaran tatap muka justru memberikan peluang pandemi tidak segera berakhir karena bisa memunculkan klaster penyebaran virus Covid-19 di sekolah.
Mencari Solusi
Pembukaan sekolah dan pembelajaran tatap muka yang dilematis tentu harus dicarikan solusinya. Meski bukanlah kebijakan yang mewajibkan, hanya membolehkan sekolah dibuka dan pembelajaran tatap muka, tetapi diperlukan sinergitas seluruh pemangku kepentingan untuk mencari penyelesaian persoalan tersebut. Mulai dari orang tua, sekolah, pemerintah daerah (gubernur dan bupati), hingga pemerintah pusat (Kemendikbud), harus arif dan bijak dalam menyikapinya. Sebenarnya, Kemendikbud sudah memberikan arahan tentang rencana pembukaan sekolah dan pembelajaran tatap muka di masa pandemi. Misalnya, adanya pemberian izin berjenjang oleh pemerintah daerah/kanwil/kantor Kemenag, kemudian dilanjutkan dengan izin berjenjang dari satuan pendidikan (sekolah) dan orang tua. Jika pemda/kanwil/kantor Kemenag mengizinkan, sekolah harus memenuhi daftar periksa meliputi ketersedian sarana sanitasi dan kebersihan, mampu mengakses fasilitas pelayanan kesehatan, kesiapan menerapkan masker, memiliki thermogun, memiliki pemetaan warga satuan pendidikan, dan mendapatkan persetujuan komite sekolah atau perwakilan orang tua/wali. Kalau perizinan berjenjang dan persyaratan tidak terpenuhi, pembukaan sekolah dan pembelajaran tatap muka tidak dilaksanakan, alias siswa tetap melaksanakan pembelajaran daring dari rumah. Dengan demikian, keputusan final pembelajaran dilaksanakan secara tatap muka atau tidak ujungnya berada di tangan orang tua siswa.
Lantas, apakah yang harus dilakukan andai orang tua menyetujui anaknya masuk sekolah dan mengikuti pembelajaran tatap muka? Pertama, orang tua harus memastikan bahwa sekolah mempunyai Standar Operasional Prosedur (SOP) yang jelas dalam pelaksanaan pembelajaran tatap muka, termasuk SOP andaikan perlu ada penanganan kasus khusus terkait Covid-19 yang terjadi di lingkungan sekolah. Kedua, orang tua harus proaktif untuk menanyakan kondisi anak-anak mereka dalam pembelajaran tatap muka di sekolah. Dengan kata lain, sekolah harus terus memberikan informasi yang terbuka kepada orang tua ketika anak-anak mereka mengikuti pembelajaran tatap muka di sekolah sehingga orang tua tidak merasa khawatir kondisi anak-anaknya. Ketiga, orang tua harus memastikan bahwa anak-anak mereka yang akan mengikuti pembelajaran tatap muka dalam kondisi badan sehat dan fit serta tidak memaksakan kepada sekolah agar anak diterima belajar dalam kondisi demikian. Keempat, orang tua harus bersikap tegas dengan penuh kesadaran untuk tidak mengizinkan anak-anak mereka mengikuti pembelajaran tatap muka jika mengetahui kondisi lingkungan yang tidak kondisif karena penambahan kasus positif Covid-19 yang begitu masif.
Untuk sekolah yang melakukan pembelajaran tatap muka, apakah yang harus dilakukan? Pertama, sekolah bersama komite sekolah dan orang tua harus bermusyawarah berkaitan rencana pembukaan sekolah dan pembelajaran tatap muka. Termasuk di antara surat kesediaan orang tua untuk mengizinkan anaknya mengikuti pembelajaran tatap muka. Kedua, harus membuat SOP pembelajaran tatap muka di sekolah yang jelas. Misalnya, terkait pembagian kelas yang dilakukan, apakah seluruh siswa harus datang di sekolah secara keseluruhan pada hari yang sama, atau dibuat sistem shift, setengah masuk di pagi hari, setengahnya di siang hari, atau giliran siswa yang masuk seperti tiga hari masuk dan dua/tiga hari hari libur selama seminggu dengan jumlah jam pelajaran yang terbatas, ataupun pilihan yang lain. Kalau dibuat shift, sistem pembelajarannya dibuat campuran/berseling, yakni campuran antara tatap muka dan daring (blended learning), ataukah pilihan strategi pembelajaran lainnya. Ketiga, semua sarana dan prasarana serta daftar isian yang diminta oleh Kemendikbud harus dipenuhi dengan baik dan paripurna.
Sekolah juga sebisa mungkin dapat memberikan kenyamanan untuk siswa dan orang tua siswa dengan memberikan pelayanan informasi yang transparan terkait kondisi siswa-siswa dan lingkungan sekolahnya. Semoga pandemi segera berakhir sehingga anak-anak kita bisa belajar dengan nyaman di sekolah.
Semoga pula kita selalu diberikan kesehatan dan keselamatan serta dijauhkan dari wabah virus Corona-19 ini. (*)