
Oleh Luki Antoro, S.E.
Pemerhati dan pelaku ekonomi kreatif di Yogyakarta
Suyanto.id–Banyak mahasiswa dengan latar belakang jurusan yang berbeda-beda dari berbagai universitas di Indonesia, melakukan penelitian tentang praktik pembuatan kerajinan logam di Kotagede. Beberapa hasilnya menyebutkan ada sebuah permasalahan tentang praktik seni kerajinan lokal tersebut. Namun, sebelum membahasanya lebih lanjut, alangkah baiknya kita kenalan dulu tentang Kotagede.
Masyarakat Kotagede adalah masyarakat yang sudah dikenal lama sangat dinamis, masyarakat yang sudah sejak lama hidup dengan potensi kearifan lokalnya sebagai sumber kehidupannya. Dalam perkembangannya, Kotagede sudah menjadi kawasan urban padat penduduk yang maju di mana masyarakat pendatang mulai memilih kawasan sekitar Kotagede sebagai tempat tinggalnya.
Di balik kemajuan peradaban itu, ada kekhawatiran tentang sebuah isu pelestarian seni budaya lokal, yakni keterampilan membuat kerajinan logam, baik kerajinan logam berbahan perak, tembaga, maupun kuningan. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan karena kerajinan logam di Kotagede akan secara perlahan mengalami titik krisisnya disebabkan minimnya perhatian soal pelestariannya.
Dulu, menjadi seorang pengrajin logam adalah sebuah profesi yang menjanjikan. Ada kebanggaan tersendiri apabila menjadi pengrajin dan produknya bisa diterima oleh pasar yang sangat luas. Jangan salah, Kotagede mendapatkan julukan sebagai “Kota Perak” karena kualitas pengrajinnya dalam membuat kerajinan logam bernilai seni tinggi.
Urusan pelestarian kerajinan logam di Kotagede ini tidak terlepas dari peran pemerintah. Untuk pertama kalinya Indonesia memiliki undang-undang khusus tentang kebudayaan nasional. Keseriusan pemerintah dalam pemajuan kebudayaan adalah dengan diterbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan sebagai acuan legal-formal pertama untuk mengelola kekayaan budaya di Indonesia.
Istilah “pemajuan kebudayaan” tidak muncul tiba-tiba. Istilah tersebut sudah digunakan para pendiri bangsa sebagai mana tertuang pada UUD 1945 Pasal 32, yaitu “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”. Pasal 32 UUD 1945 dikembangkan lagi menjadi, “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.” Keseriusan pemerintah dengan UU Pemajuan Kebudayaan sejalan dengan cita-cita pendiri bangsa agar Indonesia menjadi bangsa dengan masyarakat berkepribadian secara budaya, berdikari secara ekonomi, serta berdaulat secara politik, kini siap diwujudkan.
Menurut Koalisi Seni Indonesia, penting menempatkan kebudayaan sebagai haluan utama pembangunan nasional karena mencakup segenap sistem kehidupan sosial di Indonesia. Kebudayaan sepantasnya ditempatkan sebagai garda terdepan dalam kehidupan berbangsa. Kebudayaan semestinya tidak dipandang sebagai salah satu sektor pembangunan, tapi justru sebagai tujuan dari semua sektor pembangunan. Selain sebagai tujuan, kebudayaan adalah pondasi pembangunan. Kebudayaan mendorong pembangunan dengan cara membentuk mentalitas dan wawasan masyarakat yang diperlukan bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi. Kebudayaan juga memberdayakan pembangunan karena menghadirkan sikap dan perspektif yang mengutamakan keselarasan antara manusia dengan lingkungannya. Sikap dan perspektif berlandaskan kesadaran budaya akan menjaga pembangunan sehingga tidak menguras habis kekayaan alam ataupun meminggirkan kaum lemah demi akumulasi ekonomi bagi segelitir orang.
Kerajinan logam di Kotagede telah diajarkan dari proses turun temurun dari generasi ke generasi hingga saat ini. Seorang pengrajin di Kotagede tidak pernah menempuh jalur pendidikan seni formal. Mereka akan dilatih selama puluhan tahun oleh orang tua mereka. Inilah yang menjadi kunci, mengapa soal cita rasa seni kerajinan logam di Kotagede terus terawat dengan baik.
Bagaimana seorang pengrajin menghasilkan kerajinan logam bernilai seni tinggi? Pengrajin akan mempelajari satu teknik membuat kerajinan logam, kemudian dikembangkan sesuai pola dan motifnya mengikuti perkembangan pasarnya (tren). Bagi generasi yang masih muda, mungkin ini dianggap sesuatu yang sulit dan rumit. Generasi penerus akan perlahan dan dituntut sabar mengenali karakteristik kerajinan logam, bahan bakunya, tekniknya, hingga mengkurasi kerajinan sendiri menjadi sebuah karya seni. Proses pembelajaran alami inilah yang menjadi resep rahasia di dapur produksi kerajinan di Kotagede. Begitu beda tempat, maka beda pula kualitas dan teknik pembuatan kerajinan perak, tembaga, dan kuningannya.
Meskipun keterampilan logam menjadi tradisi seni lokal di Kotagede, ada tantangan bahwa motivasi generasi muda dalam menekuni kerajinan logam ini tidak meriah responsnya. Ini tentu perlu kajian yang mendalam lagi untuk menjawab pertanyaan itu sehingga apa benar itu masih terjadi dan bagaimana solusinya.
Dalam praktik pembuatan kerajinan logam sebelum pandemi Covid 19, cukup banyak kendala yang dialami para pengrajin dan toko kerajinan logam di Kotagede. Tantangan itu berupa harga bahan baku yang terus naik harganya dan sepinya pasar kerajinan logam di Kotagede. Banyak pengrajin dan toko kerajinan hanya mengandalkan kunjungan pariwisata. Sementara itu, ketika pandemi Covid-19 melanda, kunjungan wisatawan pun sangat minim karena dampak kebijakan pembatasan sosial.
Kendala tersebut tentu menjadi tantangan serius, tentang nasib industri kerajinan logam di Kotagede. NBAS Kotagede, sebuah studio seni kriya logam di Kotagede menceritakan kendala yang dialami selama pandemi Covid-19 memang nyata. Para pengrajin tembaga dan kuningan di sana awalnya pasrah mengahdapi pandemi ini. Sebelumnya, studio kerajinan tembaga kuningan tersebut juga mengandalakan pemesannya dari luar kota yang datang langsung memesan kerajinan tembaga kuningan di tempatnya, seperti Garuda Pancasila, relief, hingga patung tembaga.

Belajar dari pandemi, pengrajin logam memang dituntut mampu memanfaatkan fasilitas digital untuk bertahan di tengah ketidakpastian. NBAS Kotagede menjelaskan memanfaatkan media sosial yang paling memungkinkan digunakan untuk berjualan adalah dengan menggunakan Instagram. Tentu dengan media sosial ini, diharapkan dapat menyasar pasar yang lebih luas, khususnya anak muda.
Di awal belajar dunia digital untuk memasarkan kerajinan tembaga dan kuningan, NBAS Kotagede pun tidak dapat memanfaatkan dengan maksimal. Namun, setelah sekian bulan konsiten belajar dan menyesuaikan situasi new normal ini, mulai merasakan dampak digital, salah satunya menemukan peluang pasar baru. Walaupun pemesan dalam jarak jauh, namun kualitas tak kalah menjadi prioritasnya.
Kendala NBAS Kotagede dalam memanfaatkan dunia digital ternyata ada juga. Pertama, konten yang dibuat harus mampu menarik pasar (netizen). Dalam pemanfaatkan media sosial misalnya, pengelola studio tidak sekadar menggunggah konten saja. Tantangannya adalah bagaimana mengubah sebuah like menjadi share bahkan pesanan. Dalam memanfaatkan media sosial, pengrajin senior tidak bisa sendirian mengelola media sosial, kebanyakan dari mereka dibantu oleh anak-anaknya yang lebih memahami karakteristik media sosial.
Kedua, kemampuan pengrajin logam terbatas dalam memanfaatkan teknologi digital untuk memasarkan produk mereka. Tidak semua pengrajin logam di Kotagede itu melek teknologi digital, apalagi belajar lebih detail seperti bikin konten menarik, copywriting hingga advertising di media sosial. Beberapa toko kerajinan logam yang mempunyai sumber daya lebih, bisa mengoptimalkan itu. Namun, bagi mereka para pengrajin rumahan, terjun di dunia digital bisa dipandang sesuatu yang sulit untuk dilakukan, bahkan dianggap menjadi pekerjaan tambahan.
Ketiga, motivasi anak muda di Kotagede dalam menekuni kerajinan logam tidak tinggi. Zaman sekarang, orang tua ingin melihat anak-anaknya kerja di kantoran, karena dipandang lebih mapan daripada menjadi seorang pengrajin yang pasarnya tidak jelas. Itu realita yang terjadi dan menjadi salah satu tantangan serius saat ini dan masa depan dalam konteks bicara pelestarian kerajinan logam di Kotagede.

Dari kendala-kendala tersebut dapat dijelaskan, bahwa untuk memecahkan dan menemukan solusi untuk mengatasi kendala pelestarian seni lokal memanglah tidak mudah. Memastikan pasar harus terus ada, memotivasi pengrajin hingga mendukung baik secara langsung dan tidak langsung lewat kebijakan dan program pemerintah pusat hingga daerah sangat diperlukan. Bagi akademisi, diharapkan kampus juga mau turut serta andil dalam pelestarian seni kerajinan logam di Kotagede Yogyakarta. NBAS Kotagede pun juga mengapresiasi kepada mahasiswa yang mau mengangkat seni kriya logam di Kotagede dalam tugas akhirnya. Beberapa mahasiswa dari luar Yogyakarta, pun rela datang ke studio kerajinan tembaga dan kuningan tersebut untuk mengangkat pelestarian kerajinan logam sebagai tugas akhirnya dalam bentuk film pendek.
Dalam konteks pemajuan kebudayaan, artinya butuh peran serta banyak pihak untuk turut merawat seni tradisi lokal. Salah satunya akademisi, yang nantinya bisa menjadi rekomendasi dalam pembuatan kebijakan dan program pemerintah daerah untuk pemajuan kebudayaan lokal, tidak hanya tentang kerajinan logam di Kotagede, namun bisa seni budaya lokal dimana saja. (*)