
Suyanto.id–Mometum 25 November sebagai Hari Guru Nasional (HGN) jadi tantangan bagi guru untuk lebih meningkatkan kemampuan mereka sebagai pengajar sekaligus pendidik anak-anak generasi bangsa khususnya di era revolusi industri 4.0.
Banyak harapan mencuat agar guru semakin profesional sehingga mampu mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi serta proses pembelajaran lebih baik.
“Memperingati HGN, harapan saya, guru itu semakin dapat meningkatkan profesionalisme sehingga proses pembelajaran dapat lebih baik untuk mampu meningkatkan kualitas pendidikan secara nasional,” papar Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Prof Suyanto, PhD kepada Media Indonesia menyongsong HGN 2019, di Jakarta, pekan lalu.
Ia menyatakan keberadaan guru itu sangat penting. Jika gurunya baik, tapi diberikan kurikulumnya tidak baik, tetap bisa melahirkan proses pembelajaran yang baik. Sebaliknya, apabila guru tidak baik diberikan kurikulum yang baik, tak akan mampu menjadi program pembelajaran yang baik.
“Gurulah yang bisa memberdayakan, memandirikan siswa, membuat karakter mulia pada siswa-siswa kita, sehingga nilai-nilai karakter inti dapat ditanamkan kepada siswa,” ujarnya.
Menurut dia, proses peningkatan profesionalisme secara berkelanjutan atau di dalam program pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang disebut dengan Peningkatan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) mesti tetap ada, agar guru tidak tertinggal. Apalagi di era revolusi industri 4.0 ini, guru harus tetap menjadi pembelajar sepanjang hayat karena perubahan dunia yang cepat.
Mantan Rektor UNY dua periode ini menjelaskan merujuk Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara sebagai sosok leadership yang amat baik menjadi inspirasi para guru dan tenaga pendidik Indonesia.
Misalnya, semboyan Tut Wuri Handayani yang mengajarkan guru seharusnya profesional dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan prinsip-prinsip ilmu proses pembelajaran.
“Dalam arti, guru di depan itu membuat inisiatif dan contoh, lantaran proses belajar ada yang disebut dengan teori model. Seseorang belajar dengan baik jika melihat contoh. Misalnya, di belakang itu memberikan kesempatan, mengikuti siswa, maka lahir teori student center. Memiliki inisiatif agar anak memiliki kecakapan tinggi,” paparnya.
Literasi digital
Terkait dengan kondisi kekinian yang dihadapi siswa dan guru, Suyanto yang juga mantan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud ini berpendapat guru harus memiliki kemampuan literasi digital. Pasalnya, tanpa kemampuan tersebut, guru sulit maju karena revolusi industri 4.0 memiliki keterkaitan dengan jaringan, mesin, program, dan manusia.
“Jika guru tidak melek teknologi akan repot. Guru harus bisa menguasai literasi digital. Dengan begitu bisa belajar kapan pun dan di mana pun dalam kondisi apa pun. Guru bisa bertanya apa saja, tidak ada alasan guru tidak memahami konsep tentang proses pembelajaran,” tegasnya.
Menurut dia, peran guru pada era digital memang akan berkurang banyak, terutama dalam bidang pengetahuan yang dapat diselesaikan oleh mesin buatan seperti robot. Apalagi kalangan awam bisa belajar apa saja dari internet.
“Akan tetapi, ada peran guru yang tidak tergantikan, yakni pembelajaran karakter. Karakter memiliki nilai atau value. Guru mempunyai rasa atau feeling, ini belum bisa tergantikan. Namun, kita tidak tahu pada masa depan nanti,” ujarnya.
Dia mencontohkan ketika bertugas menempuh kuliah di Boston University, AS, pada 1979, komputer jadi partner manusia untuk mengambil keputusan. Namun, sekarang ini komputer lebih pintar daripada manusia. Komputer artifisial dapat menggantikan profesi-profesi tertentu yang sifatnya rutin, misalnya membantu bahkan mengganti tugas semacam dokter umum.
Suyanto yang pernah memperoleh penghargaan Distinguished International Alumni Award dari Michigan State University (MSU), AS, ini berpesan dan berharap kepada para guru agar terus belajar mengembangkan kreativitas dan meningkatkan kemampuan diri sebanyak-banyaknya.
“Guru harus memiliki pikiran berkembang yang tidak linear lagi tetapi multidisipliner, ini kuncinya,” ucapnya.
Suyanto pun berpandangan program pemerintah dalam peningkatan kualitas guru saat ini sudah semakin baik. Agar lebih baik lagi, ia menyarankan pemerintah lewat program Peningkatan Kualitas Pembelajaran (PKP) bisa menggandeng Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan Kelompok Kerja Guru (KKG).
Hemat dia, para guru di MGMP dan KKG lebih mengetahui apa yang mereka butuhkan, dan peningkatan profesional guru itu syaratnya harus sesuai dengan pelatihan yang dibutuhkan mereka.
Namun, Suyanto mengingatkan pada pelatihan guru harus ada yang disebut learning need assessment. “Ini masalahnya banyak, terutama keberadaan guru-guru honorer yang berjumlah ratusan ribu, banyak di antara mereka belum memiliki persyaratan guru profesional yang memiliki gelar S-1 dan belum mendapat sertifikat pendidik,” terangnya.
Terkait dengan masalah guru yang belum memenuhi syarat S-1 dan belum memiliki sertifikat, Suyanto optimistis pemerintah sedang menata serta membuat solusi. Akan tetapi, dia menyarankan pemerintah mesti mempunyai peta kebutuhan guru karena akan terjadi banyak pensiunan guru yang mencapai 300 ribu orang.
Benahi LPTK
Pada kesempatan itu, Suyanto juga menilai keberadaan Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (LPTK) sebagai lembaga pencetak guru memiliki peran penting dan strategis.
Ia berharap LPTK dapat melakukan tes secara selektif bagi calon guru. Menjadi guru bukan karena terpaksa dan tidak ada pekerjaan lain, melainkan harus benar-benar dipilih orang yang memang memiliki bakat, passion, komitmen, dan motivasi untuk menjadi guru.
Hemat dia, LPTK mesti menerapkan standar pendidikan sama dengan syarat yang ditetapkan kementerian. Rekrutmen guru diterapkan selektif dengan seleksi sehingga tidak ada guru yang tidak diuji ketika proses lanjutan dalam Pendidikan Profesi Guru (PPG) atau seleksi CPNS.
“Jadi, proses rekrutmen guru jangan ibaratnya seperti membeli kucing dalam karung. Hal ini menyebabkan pendidikan kita sulit diakselerasi karena proses rekrutmennya kurang jelas,” ujarnya.
Itu sebabnya, dia mengaku sepakat keberadaan LPTK dibenahi. “Saya kira LPTK harus dibenahi, lantaran LPTK yang dinilai abal-abal cukup banyak jumlahnya yang memanfaatkan kesempatan tingginya animo orang jadi guru akibat adanya tunjangan profesi guru atau TPG,” tegasnya.
Meski lambat laun LPTK abal-abal akan mati secara alami sebagai proses alamiah dan seleksi di masyarakat, dia mengingatkan tidak semua LPTK dapat diberikan hak untuk menyelenggarakan PPG. Yang berhak ialah LPTK yang dinilai kredibel.
“Karena itu perlu ada moratorium pendirian LPTK sebab dengan kondisi LPTK saat ini yang menghasilkan 300 ribu lulusan LPTK, sedangkan daya tampung menjadi guru hanya sekitar 100 ribu, ini bakal menjadi potensi pengangguran tenaga terdidik,” pungkas Suyanto. (Bay/S5-25/Mediaindonesia.com)