
Oleh Ayu DW
Guru MTs Negeri 1 Yogyakarta dan Pengurus Pergumapi
Suyanto.id–Setelah pesawat mendarat di Jakarta, aku bergegas menuju tempat untuk makan siang. Perjalanan masih akan dilanjutkan, tapi aku harus menunggu kurang lebih dua jam lagi karena pesawat berikutnya akan take off jam 16.00. Setelah salat dhuhur di Musala Bandara Cengkareng, aku segera menuju ke café langgananku.
Seperti biasa, tugasku kali ini aku menjadi narasumber di kampus setempat. Sebagai dosen di perguruan tinggi ternama di Yogyakarta, namaku sudah tak asing lagi. Aku dikenal dan banyak dicari untuk memberikan materi tentang kehumasan.
Di kantor, kata temanku aku dikenal sebagai wanita yang supel, suka bercanda, dan menyenangkan. Banyak teman yang sering kangen kalau aku tak nampak sehari saja. Tapi, banyak juga yang tidak suka atau sinis padaku. Ah… emang gue pikirin, yang penting aku bekerja dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati. Sesuai dengan tugas dan kewajibanku, tak perlu aku memikirkan orang lain yang selalu nyinyir padaku. Bekerja sesuai dengan hobi dan kesenangan kita bagaikan hobi yang dibayar. Aku sering mengeluarkan joke-joke yang membuat suasana di kantor menjadi cair karena banyak temanku yang terlalu serius dalam bekerja.
Bekerja sebagai dosen ilmu komunikasi harus banyak pengalaman dan link yang menambah wawasan. Bagiku, silaturahmi sangat penting karena dengan silaturahmi itu, kita akan bertambah teman dan saudara yang akan menambah rezeki dan memperpanjang usia kita. Demikian kata pepatah yang sering kudengar. Maka dari itu, ponselku penuh dengan daftar telepon kolega-kolegaku juga WA grup. Di galeri hp-ku, juga penuh dengan foto-foto kegiatanku yang seabrek. Apalagi aku memang hobi fotografi meski asal cekrak-cekrek mengabadikan kenangan melalui kamera di hp-ku.
Kadang suamiku cemburu kalau aku terlalu sibuk memelototi handphone-ku. Tetapi, aku mohon dan menyampaikan aktivitas kerjaku memang banyak menggunakan smartphone.
Hp-ku tidak aku password, siapa pun anggota keluarga bisa membuka. Aku seneng kejujuran dan tidak main rahasia-rahasiaan karena pedomanku dalam sebuah keluarga harus ada kepercayaan, keterbukaan, dan saling pengertian. Itulah yang membuat pernikahanku langgeng sampai sudah 23 tahun dan menuju usia pernikahan perak dua tahun lagi.
Sesampai di food court, aku memilh tempat di ujung selatan paling pojok. Di situ aku bisa duduk dan memandang seisi ruangan juga luar ruangan dari balik jendela dengan leluasa. Ketika sedang memilih menu, tiba-tiba kudengar suara wanita memanggil seseorang.
“Kapten Dandy… duduk sini, dong.”
Deg… hatiku bergetar… ingatanku kembali beberapa puluh tahun silam, saat aku masih duduk di bangku SMA. Aku punya teman namanya Dandy, dari SMA Harapan Bangsa.
Aku kenal Dandy saat ada acara Hari Sumpah Pemuda. Saat itu, sebagai ketua OSIS aku mewakili sekolahku dan Dandy mewakili sekolahnya mengikuti kegiatan di Balaikota Timoho. Setelah itu kami bertemu lagi pada acara penataran pengurus OSIS di Wisma Melati Kaliurang. Pertemuan sesama ketua OSIS itu membuat kami semakin dekat dan ada rasa senasib. Kami berteman akrab sampai tumbuh benih-benih cinta yang berlangsung selama kurang lebih 16 bulan. Setelah lulus SMA, aku tidak tahu kabarnya, hanya kudengar dia melanjutkan ke AAU dan ingn bekerja sebagai pilot.
Hati siapa yang tidak bangga menjadi teman dekat ketua OSIS ganteng, tinggi, bertubuh atletis, pintar, dan lain-lain. Pokoknya, waktu itu serasa dunia hanya milik berdua. Namun, ternyata nasib berkata lain. Setelah Dandy lulus dari pendidikan penerbang, aku hanya sempat kontak beberapa kali lewat surat dan telepon. Setelah itu, tak tahu kenapa tiba-tiba hubungan kami jadi hambar dan sempat lost contact. Sampai aku menikah, punya tiga putri, dan sampai saat ini aku tak pernah mendengar kabarnya.
Ketika aku melamun, tiba-tiba aku melihat sosok pria yang gagah dan tampan berdiri di ujung dekat meja sebelah barat. Pria itu menghampiri gadis yang memanggilnya. Dari seragam yang dikenakan aku tahu gadis itu adalah pramugari salah satu maskapai penerbangan yang terkenal. Pria itu lalu duduk dan mereka pun berbincang cukup akrab. Sesekali terdengar tawa renyah mereka. Si gadis pun nampak tersipu dan memerah pipinya. Kulihat gadis itu lebih agresif karena beberapa kali dia berbicara sambal memegang tangan pria tampan yang duduk di hadapannya.
Ketika pria yang duduk membelakangiku itu menoleh memanggil waiter dengan melambaikan tangannya, tak sengaja pandangan kami pun beradu. Aku sangat ingat dengan tahi lalat yang ada di dagunya. Aku pun berguman, “Dandy…?” Pria itu pun memandangku tanpa berkedip. Seakan-akan dia akan berbicara, namun ditahannya. Dia hanya memandangku sambil tersenyum manis. Senyum manis itulah yang mampu menggetarkan hatiku 27 tahun yang lalu. Senyum memesona yang selalu membuat hatiku berbunga-bunga dan jantung terasa berdetak tak beraturan.
Aku lihat dia melamun sepertinya mengingat-ingat sesuatu. Tiba-tiba dia berdiri lalu berjalan ke arahku, lalu dengan setengah berteriak dia berkata, ”Ratna… kaukah Ratna Wulansari?”
Spontan aku berdiri berjalan dan mendekat. Lalu, Dandy duduk menghadapku sambil tangannya terus memegangi tanganku. Ada rasa yang membuncah berkecamuk dalam dadaku. Rasa kaget, senang, bahagia, malu, terharu, dan pilu campur aduk aku rasakan saat itu. Seakan aku tak ingin lagi berpisah dengannya. Tak kupedulikan gadis pramugari yang memandangku dengan sinis.
Dandy pun tersadar dari tatapannya ke arahku, lalu memanggil temannya yang menjadi pramugari itu, “Melly… ke sini, aku kenalkan teman SMA-ku….”
Gadis itu dengan muka masam mendekatiku. Aku pun mengulurkan tangan untuk bersalaman sambil menyebutkan namaku yang disambutnya dengan dingin. Lalu, dengan tergesa dia langsung bergegas pamit meninggalkan kami dengan alasan akan segera prepare untuk flight berikutnya.
Pucuk dicinta ulam tiba, betapa senangnya hatiku, kini hanya tinggal kami berdua dengan Dandy pacar SMA-ku, duduk berhadapan dengan jarak yang sangat dekat dan hampir saja dia mencium pipiku. Ada rasa yang memberontak, aku serasa ingin mengulang kembali ciuman sayangnya beberapa puluh tahun silam. Tapi, dalam hati kecilku aku merasa aku tidak pantas melakukannya. Aku bukan muhrimnya, aku punya suami dan dia pun sudah beranak istri. Namun, gejolak di hati ini tak bisa kubohongi, aku merasakan kehangatan cintanya laksana beberapa puluh tahun silam. Saat itu hanya bunga-bunga cinta bermekaran yang ada di dalam hatiku.
Tak terasa butiran air menetes di pipiku. Dandy kaget melihat aku menangis. Dengan cekatan dia mengambil saputangan warna biru dan mengusap pipiku. Wangi aroma parfum mahal tercium dari saputangan biru yang dipakaikan untuk menyeka air mataku.
“Kenapa menangis, May…?” kata Dandy.
Dia masih ingat panggilan kesayangannya untukku. Dia selalu memanggilku Mayang meskipun namaku Ratna. Panggilan Mayang punya arti khusus, yaitu “mama sayang”. Aku tersipu malu sambal mengusap air mataku. Lalu kami pun tertawa Bersama.
“Dandy…. kenapa dulu kau meninggalkan aku?” tanyaku setelah bisa menguasai hatiku.
“Maafkan aku, Mayang. Waktu itu Mama Papaku melarang aku pacaran. Mereka takut pendidikan pilotku terganggu,” kata Dandy membela diri. Dia meneruskan bicaranya, “Setelah selesai pedidikan dan menjadi pilot, aku mencarimu. Namun, kamu sudah pindah rumah. Aku terus mencari alamat rumahmu di Klaten. Di sana tak kutemukanmu. Aku mendengar kabar dari tetangga bahwa kamu baru saja menikah dengan insinyur pertanian dan diboyong ke Jepara. Berbulan-bulan aku terpuruk May, aku tetap mencintaimu. Dulu sekarang bahkan sampai nanti sambil terus menggenggam jari-jariku.”
“Tapi, keadaannya sudah berbeda Dan, ”aku sudah menjadi milik Mas Hendro, lelaki pilihan orang tuaku. Awalnya aku tidak kenal dan bahkan tidak cinta sampai aku mempunyai anak. Tapi, ternyata cinta itu bisa tumbuh seiring berjalannya waktu. Kata pepatah Jawa witing tresno mergo saka kulino.
“Aku pun juga sudah menjadi milik istri dan anakku,” kata Dandy lirih. Istriku Tanti adalah tipe istri yang setia, baik hati, dan keibuan. Mirip denganmu May, katanya.
Tak terasa lebih dari satu jam kami ngobrol. Aku harus bergegas melanjutkan perjalanan ke Pekanbaru untuk menunaikan tugasku. Dandy juga akan segera pulang ke Yogya menikmati jadwal off dan kembali menemui anak istrinya. Kami pun bertukar nomor telepon.
Serasa aku tak mau beranjak dari ruang itu. Aku ingin mengulang indahnya cinta pertamaku bersama Dandy kekasihku. Namun, semua yang kita inginkan belum tentu terlaksana. Apalagi aku sudah terikat oleh janji suci bersama Mas Hendro 23 tahun silam dan aku pun tak berniat mengkhianatinya. Mas Hendro adalah lelaki terbaik yang sudah ditakdirkan untukku.
Kami pun berpisah meski dengan rasa berat hati. Dandy mengantarku sampai ke ruang tunggu sambil membantu membawakan tasku. Aku pamitan. Bahagiaku tiada terkira.
“Mayang… kabari kalau sudah sampai ya,” pintanya merajuk.
Aku pun hanya bisa mengangguk dan tersenyum tipis. Aku tak ingin Dandy tahu kalau akau menangis lagi. Entah mengapa perasaanku bagaikan ABG yang baru saja jatuh cinta. Dan sepertinya aku akan berpisah jauh dalam waktu yang lama. Memang aku harus pergi dan menjauh darinya karena aku bukan miliknya dan dia bukan milikku. Namun, rasa cinta itu terlalu mendalam, aku tak bisa melupakannya sampai kapan pun.
“Dandy, aku akan selalu mengingatmu walau hanya sebatas mencintai dalam diam. Hatiku tak kan pernah berpaling darimu.” (*)