Oleh Junaidin
Kandidat Doktor Universitas Negeri Yogyakarta dan Widyaiswara LPMP Kalimantan Tengah
Suyanto.id–Manfaat pendidikan dapat ditinjau dari ragam kebijakan politik yang diambil oleh tiap negara. Misalnya, Kanada melihat Pendidikan sebagai komoditas, dengan secara aktif merekrut dan mempertahankan siswa internasional untuk pembangunan bangsanya, sejak 1994 (Jhonstone & Lee, 2014), hingga rezimnya melonggarkan kebijakan yang mendorong partisipasi individu setelah hambatan struktural yang dirasakan (Rubenson & Desjardins, 2009).
Bahkan, Amerika telah mempertimbangkan kebijakan penetrasi isu ras yang berkepanjangan (Jhonson, V., D., 2008). Konsep negara kesejahteraan regulasi yang diterapkan Amerika dan Jerman menandai pentingnya re-imaginasi kontemporer Pendidikan di berbagai jenjang (Cleven, 2020). Indonesia sedang berusaha keras untuk mencapainya di tengah tantangan pandemi Covid-19 yang belum usai.
Di Indonesia, hasil pendidikan yang baik berkolerasi dengan ketaatan bayar pajak (Inasius, Darijanto, Gani, & Supriyanto, 2020), meningkatnya permintaan masyarakat akan pentingnya perbaikan sistem jaminan kesehatan sosial nasional akibat pandemi Covid-19 (Sparrow, Dartanto, & Hartwig, 2020), dan pentingnya penguatan bidang ketenagakerjaan, UKM, dan perdagangan (Senyonga, & Syafiullah, 2021). Mencapai kehidupan yang sejahtera dalam berbagai aspek telah menjadi tujuan Indonesia, meskipun daya saing lulusan masih dinamis.
Daya saing lulusan Indonesia dipengaruhi oleh banyak variabel. Budaya suatu bangsa, daya saing, dan kinerja ekonomi menjelaskan kinerja akademik siswa (Bauman, & Hamin, 2011). Dampak sertifikasi guru yang dianalisis oleh Kusumawardhani (2014) tidak berpengaruh, baik pada nilai ujian siswa, nilai ujian guru, kehadiran guru, maupun keterlibatan guru dalam pekerjaan sampingan non-mengajar. Kehadiran OECD dengan PISA masih memicu kontroversi, sehingga penilaian internasional berbasis sekolah dapat beroperasi sebagai alat tata kelola alternatif (Rutkowski, 2014).
Bahkan sejak MEA 2015, ada kesenjangan antara apa yang dihasilkan dan apa yang diharapkan pasar tenaga kerja (Gitaharie, & Soelistianigsih, 2018), hingga demoralisasi kesopanan dan integritas di era 4.0 (Pabbajah, Abdullah, Widyantim Jubba, & Ali, 2020). Sedinamis apa pun berbagai hasil riset, perhatian pada guru masih tetap penting untuk didiskusikan.
Peran guru tetap terdepan dalam menjamin mutu lulusan yang berdaya saing. Variabel ini menggerakkan semua sumber daya bahwa guru selalu dibutuhkan pada semua jenjang dan jenis pendidikan. Beragam kebijakan strategis telah dipraktikkan, kesejahteraan akademik dan non-akademik guru pun selalu mendapatkan perhatian dari banyak kalangan.
Meskipun Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional berlaku sejak 2003, perdebatan terkait pencapaian tujuan pendidikan nasional memiliki beragam perspektif. Penyesuaian kurikulum telah mencatat sejarah yang panjang sebagai respons atas atensi publik terkait masa depan lulusan. Kurikulum berbasis kompetensi diterapkan dan Kurikulum 2013 telah menggetarkan rasa penasaran para guru terhadap desainnya melalui penguatan aspek saintifik hingga kurikulum sekolah penggerak. Kerangka penjaminan mutu pendidikan telah berhasil mencapai tujuannya, namun masih menyisahkan pekerjaan baru di era digital abad 21. Upaya serius negara telah sampai pada konsep guru penggerak.
Program Guru Penggerak mendapatkan apresiasi yang tinggi dari para guru Indonesia sejak diluncurkan pada Juli 2020. Jumlah pendaftar terus meningkat hingga angkatan terakhir. Tahun 2024, jumlah guru penggerak ditargetkan mencapai 405 ribu untuk semua jenjang. Meskipun sistem seleksinya relatif ketat, reaksi positif calon guru penggerak tidak mudah surut. Pemenuhan administrasi, pengajuan CV, dan narasi esai otentik ala Finlandia dikonstruksi secara sadar untuk memenuhi persyaratan program. Desain program ini sangat inspiratif, karena melibatkan langsung para calon guru dengan pola seleksi berbasis proses.
Pengalaman calon guru penggerak dalam melibatkan diri dapat dihipotesiskan sebagai model kerja guru yang diharapkan dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Apakah hipotesis ini akan terbukti secara empiris? Pengalaman dan waktu yang akan menjawabnya. Tetapi apakah pengalaman keterlibatan para calon guru penggerak dalam mendapatkan program besar ini akan menjadi modal pengalaman yang sama dalam mewujudkan lulusan yang sesuai dengan harapan? Mungkin perlu mempertimbangkan pentingnya growth mindset bagi guru.
Growth Mindset untuk guru penggerak adalah perspektif alternatif yang menarik ditelaah. Dengan menggunakan beberapa artikel konseptual dan empiris dari berbagai negara ber-growth mindset, seperti Finlandia, Singapura, dan China, narasi reflektif ini akan mengupas beragam praktek baik beberapa negara yang disebut sebagai negara ber-growth mindset. Hasil meta-analisis ini mungkin dapat menjadi sumber inspirasi, terutama bagi para sahabatku, guru penggerak.
Finlandia telah sukses mempraktikkan teori implisit dalam praktik pengajaaran moral pada anak. Meskipun dalam artikel studi kasus kualitatif ini diwakili oleh empat partisipan, substansi teori yang berupa kelenturan kualitas manusia dalam hal motivasi, pembelajaran dan moral, telah efektif dikominikasikan oleh guru, mempengaruhi interpretasi guru, dan mendidik kemampuan etis siswa (Inkeri Rissanen, Elina Kuusisto, Eija Hanhimäki & Kirsi Tirri, 2017).
Lebih lanjut Rissanen, dkk. melaporkan, bahwa pengalaman empiris empat partisipan yang diwawancarai ingatan awal dan testimulasi serta observasi kelas memberikan bukti bahwa teori implisit sebagai literatur pendidikan moral merupakan konstruksi penting yang perlu dihadirkan kembali, khususnya dari segi etika siswa, dengan mengajar secara moral dan mengajarkan moralitas. Kemampuan para guru Finlandia dalam melakukan refleksi-kritis ini, menandai bahwa pola pikir tumbuh yang dipraktikkannya telah menghadirkan hasil yang berbeda.
Bagaimana dengan pengalaman Singapura? Pernyataan yang diajukan oleh Stafford-Brizard (2016) bahwa untuk menjadi warga negara yang produktif di dalam dan di luar sekolah, siswa membutuhkan pola pikir positif tentang diri dan sekolah, serta kesadaran dan tanggung jawab sosial merupakan jenis pengajaran dan pembelajaran yang berbeda dan dibutuhkan saat ini daripada sebelumnya, yaitu ketika pembelajaran dikonseptualisasikan sebagai perolehan fakta dan pengajaran sebagai transmisi informasi yang akan diambil, dipelajari, dan digunakan “sebagaimana adanya” (Linda Darling-Hammond, Lisa Flook, Channa Cook-Harvey, Brigid Barron & David Osher, 2019).
Mereka berargumen bahwa kerangka sistem perkembangan merupakan implikasi penting dari praktik sekolah dan kelas dalam rangka mendukung jenis hubungan dan kesempatan belajar yang diperlukan untuk mempromosikan kesejahteraan anak-anak, perkembangan yang sehat, dan pembelajaran yang dapat ditransfer. Selain itu, membantu pendidik menanggapi variabilitas individu, mengatasi kesulitan, dan mendukung ketahanan, sehingga memungkinkan semua anak menemukan jalur positif menuju kedewasaan.
Guru-guru di China justru memikirkan bagaimana merancang pengembangan diri yang mendukung pengalaman belajar yang dipersonalisasi. Pemeriksaan dilakukan karena terdapat persamaan dan perbedaan persepsi guru mengenai karakteristik pengembangan diri yang efektif. Gradasi persepsi merupakan basis argumentasi mereka (Ling Zhang, dkk., 2021). Kinerja penjaminan mutu guru oleh gurunya sendiri menandai bahwa pola pikir tumbuh terus tumbuh di negara tirai bambu ini.
Walaupun praktik baik dari berbagai negeri tersebut telah berhasil dieksekusi dengan baik di tempanya, konteks sosial Indonesia tidak dapat mengadopsi begitu saja keberhasilannya. Namun, pengalaman baiknya tidak mustahil juga untuk dipraktikkan, jika menggunakan pola pikir tumbuh itu sendiri, setidaknya sebagai sumber inspirasi. Ragam inspirasi ini meyakinkan saya, bahwa guru penggerak yang bergrowth mindset dibutuhkan oleh Indonesia saat ini dan di masa depan. (*)