Wednesday, May 31, 2023
spot_img
BerandaGagasan Ilmiah PopulerKetidaksetaraan Gender dalam Masyarakat Patriaki

Ketidaksetaraan Gender dalam Masyarakat Patriaki

Oleh Hanifa Puspita Sari
Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta

Pendahuluan

Pada dasarnya, Tuhan menciptakan manusia dengan memiliki berbagai perbedaan, baik itu fisik, suku, jenis kelamin, karakter, maupun agama. Di antara perbedaan tersebut, ada yang terlihat jelas, seperti perbedaan fisik antara laki-laki dengan perempuan.

Berbicara soal jenis kelamin, banyak masyarakat yang menyamakan maknanya dengan gender. Padahal, jenis kelamin dengan gender merupakan dua hal yang sangat berbeda. Jenis kelamin atau seks merupakan pembagian secara biologis yang sering disebut dengan laki-laki dan perempuan. Seks juga berkaitan atau berhubungan dengan karakter dasar fisik dan fungsi manusia seperti mulai dari kromosom, hormon, dan bentuk organ reproduksi.

Berbeda dengan jenis kelamin atau seks, gender dilihat dari sudut pandang atau persepsi masyarakat tentang peran, perilaku, ekspresi, dan identitas seseorang, baik laki-laki maupun perempuan sehingga hal ini juga erat kaitannya atau hubungannya dengan orientasi seksual seperti homoseksual, heteroseksual, dan biseksual.

Pada umumnya gender lebih diasosiasikan dengan sifat maskulin dan feminin di mana pada sifat maskulin biasanya dihubungkan atau dikaitkan dengan sifat kelaki-lakian yang gagah, kuat, dan berjiwa pemimpin atau leadership. Sementara itu, sifat feminin biasanya dihubungkan atau dikaitkan dengan sifat perempuan yang dapat mengayomi, berhati dan berjiwa perasa, dan lemah lembut.

Akhir-akhir ini sering terdapat isu mengenai gender yang ramai diperbincangkan baik secara langsung maunpun melalui sosial media. Isu-isu yang biasanya diangkat mengenai ketidaksetaraan gender atau kesenjangan gender. Isu-isu mengenai gender ini sangat berpengaruh pada masyarakat karena dapat memunculkan permasalahan dari berbagai aspek, di antaranya aspek sosial, politik, dan agama.

Adanya isu-isu ini berkaitan dengan adanya budaya patriarki yang sudah tertanam kuat di kehidupan masyarakat di mana kaum laki-laki lebih diunggulkan dan diagungkan. Hal ini menyebabkan kedudukan kaum perempuan menjadi tidak seimbang dengan laki-laki, contohnya terlihat pada penentuan ketua RT dan ketua RW.

Adanya keterbatasan ini bermula dari nilai-nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Hal ini mengakibatkan terciptanya batasan pada ruang gerak kaum perempuan.

Isu-isu mengenai ketidaksetaraan atau ketimpangan gender ini mengakibatkan ketidakadilan, menimbulkan pertentangan, dan menyebabkan adanya penekanan, serta penindasan antara satu dengan yang lainnya. Selain itu, ini menyebabkan laki-laki merasa lebih tinggi derajatnya, lebih berkuasa, dan lebih dari segalanya dari pihak perempuan.

Pada 1979, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyetujui konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Konvensi ini telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 1984 menjadi UU No. 7/1984, namun jarang disosialisasikan atau diadakan penyuluhan sosial dengan baik.

Konvensi dan Undang-Undang tersebut pada kenyataannya tidak juga dapat menghapus diskriminasi yang dialami oleh perempuan di seluruh dunia. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya perempuan yang mengalami berbagai bentuk kekerasan, baik kekerasan secara fisik, mental, sosial maupun ekonomi yang terjadi di rumah dan masyarakat.

Isu-isu gender ini penting diluruskan oleh masyarakat dan negara. Untuk meluruskannya akan lebih efektif jika bermula dari kehidupan masyarakat yang sangat melekat pada aktivitas manusia, baik sosial maupun keagamaan. Jika dilihat dari sudut agama, dalam Islam misalnya, laki-laki dan perempuan memiliki derajat yang sama.

Pembahasan

a. Pengertian Gender

Pada umumnya makna dari kesetaraan gender lebih ditunjukkan pada pembagian tugas atau peran yang seimbang dan adil, baik dari laki-laki maupun perempuan. Menurut Rianingsih Djohani (1996:7), gender merupakan pembagian peran, kedudukan, dalam tugas antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas menurut norma-norma, nilai-nilai, adat istiadat, kepercayaan atau keyakinan, dan kebiasaan masyarakat. Semenetara itu, Helen Tierney menjelaskan bahwa gender merupakan konsep kultural atau budaya yang berupaya atau berusaha membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional yang dimiliki antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di dalam masyarakat.

Adapun gender dalam Kepmendagri No. 132, merupakan suatu konsep yang mengacu pada peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan atau kondisi sosial dan budaya di masyarakat (Mufidah, 2008). Dari definisi tersebut, perempuan memiliki tanggung jawab melakukan pekerjaan rumah, berkegiatan di PKK, kesehatan keluarga. Sementara itu, tugas mengelola kebun dan memimpin masyarakat dibebankan kepada laki-laki.

Dari penjelasan ini, dapat ditarik simpulan bahwa ada pandangan dari masyarakat bahwa gender sama dengan kodrat. Kodrat di sini dimaksudkan sebagai sesuatu yang ditetapkan oleh Tuhan sehingga manusia tidak dapat mengubah atau menolak. Kodrat bersifat universal di mana hal tersebut ada di setiap waktu, setiap tempat, dan menetap sepanjang hayat dikandung badan.

Padahal, yang sesungguhnya gender merupakan sesuatu yang lebih menekankan pembagian peran antara laki-laki dengan perempuan yang diatur oleh manusia atau masyarakat. Adanya gender di masyarakat berbeda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya. Hal ini dikarenakan sifat dari masyarakat itu sendiri yang bersifat dinamis sehingga masyarakat selalu mengalami perubahan, baik itu perubahan secara cepat yang biasa disebut dengan perubahan revolusi atau perubahan secara lambat yang biasa disebut dengan perubahan evolusi.

2. Gender dalam Islam

Makna atau pengertian dari gender sebenarnya telah dikaitkan atau dihubungkan dengan berbagai perspektif atau sudut pandang dan pendapat atau opini dari para ahli. Selain itu, definisi dari gender sendiri juga sudah dijelaskan melalui peraturan perundang-undangan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dan perspektif atau sudut pandang melalui kajian Islam. Dalam hal ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai sudut pandang atau perspektif gender yang ditinjau dari perspektif Islam.

Islam merupakan agama rahmatan lil ‘alamin, di mana kedudukan laki-laki dan perempuan sama atau sederajat di hadapan Allah Swt. Hal ini berarti nilai-nilai dari kesetaraan gender yang terdapat dalam Islam menjadi bagian nilai-nilai universal Islam yang mana nilai-nilai tersebut berupa nilai keadilan, kemanusiaan, dan penghargaan terhadap hak-hak dasar manusia.

Adapun salah satu misi tokoh Islam, yaitu Nabi Muhammad Saw. sebagai pembawa Islam, yaitu mengangkat harkat dan martabat perempuan. Hal ini dilakukan karena ajaran yang dibawanya tersebut memuat atau mengandung misi pembebasan dari penindasan. Di antara pihak yang tertindas dan termarjinalkan tersebut adalah perempuan.

Dalam sejarah Islam, pada tradisi Arab Jahiliyah terdapat anggapan yang bersifat merendahkan perempuan. Pada tradisi tersebut, bayi perempuan yang dilahirkan dianggap tidak produktif, membebani bangsa, dan sumber fitnah sehingga jumlah kaum perempuan tidak perlu banyak dibandingkan laki-laki. Atas anggapan tersebut, sering kali terjadi pembunuhan bayi perempuan. Hal ini menjadi tren karena dianggap sebagai cara yang paling mudah untuk mengendalikan populasi perempuan untuk menghindari rasa malu keluarga (Mufidah, 2008).

Al-Qur’an menyatakan bahwa setiap laki-laki dan perempuan yang dilahirkan memiliki kedudukan dan posisi yang sama atau sederajat. Perempuan bahkan diberi hak-hak istimewa untuk mempunyai kepemilikan atas diirnya sendiri, melakukan usaha atau bisnis yang dijalankan sendiri, berhak memiliki suami sebagai pendamping, menentukan atau mengklaim hak waris, mendapatkan pendidikan tinggi, serta diperlakukan dengan hormat dan sopan.

Terdapat satu surat di dalam Al-Qur’an yang membahas hak-hak perempuan, yakni surah An-Nisaa (Al-Qaswini, 2003). Keistimwaan seseorang, baik laki-laki maupun perempuan dilihat dari kualitas dan kemampuannya dalam menjaga keimanan, ketakwaan, dan amal ibadah yang dilakukannya.

Dari aspek sosial, relasi atau hubungan yang dibangun oleh laki-laki dan perempuan untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis, dengan sikap saling membantu atau tolong-menolong, bekerja sama tanpa saling membedakan, dan saling menghargai atau toleransi antara satu sama lain sehingga Allah pun menyediakan balasan atau impalan bagi keduanya yaitu laki-laki dan perempuan sesuai dengan kontribusi yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam sejauh ini, mengenai segala suatu hal yang telah mengangkat derajat kaum Hawa dan menyetarakannya dengan kaum Adam dalam segala hal. Pengecualian terjadi pada beberapa bidang yang memang sudah menjadi bidang khusus atau tertentu bagi kaum laki-laki dan perempuan tersebut sesuai dengan kodrat alamiahnya yang telah ditentukan oleh Allah Swt.

3. Budaya Partiarki

Pada awalnya budaya patriarki berkembang karena peran-peran yang dikembangkan dalam kebudayaan pada masa pramodern di mana ukuran fisik dan seluruh sistem fisik yang mana dalam hal ini berupa sistem fisik otot dari para laki-laki yang dinilai lebih unggul daripada sistem fisik otot yang dimiliki oleh perempuan, serta bersama dengan peran biologis dari perempuan yang melahirkan anak menjadikan suatu hasil pembagian kerja yang dibagi berdasarkan jenis kelamin atau seks yang masih tetap berlaku sampai sekarang.

Pada masa pramodern ini peran atau fungsi dari kaum lelaki di antaranya menjadi penyedia dari segala kebutuhan hidup serta menjadi pelindung keluarga dalam menghadapi ancaman dari dunia di luar keluarga tersebut sehingga peran tanggung jawab yang besar dan mendalam dapat memberikan hak otonomi dan kesempatan yang relatif besar kepada kaum laki-laki. Adanya pembagian kerja seperti ini menyebabkan berkembangnya peran-peran sosial yang terbatas bagi kedua jenis kelamin atau seks tersebut dan menimbulkan perbedaan kekuasaan pada aktivitas atau kegiatan sehari-hari di masyarakat dalam beberapa hal yang lebih menguntungkan kaum laki-laki sehingga adanya tingkatan atau jenjang wewenang yang berasal dari perbedaan biologis semakin meluas dan mendalam ke ranah dunia publik. Pada saat ini pun dapat kita lihat bahwa kaum laki-laki sudah mendominasi peranan untuk lembaga-lembaga ekonomi, politik, dan agama melalui posisi atau jabatan yang dimilikinya.

Menurut Bressler, patriarki merupakan sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial yang ada, baik organisasi di pemerintahan maupun di masyarakat. Seperti halnya dengan sebuah keluarga di mana ayah memiliki otoritas terhadap perempuan atau dalam hal ini yang dimaksud adalah istri, anak-anak, dan harta benda. Secara tersirat atau tidak langsung sistem patriarki atau budaya patriarki ini melembagakan pemerintahan dan hak istimewa bagi kaum laki-laki dan menuntut subordinasi pada kaum perempuan (Charles E, Bressler: 2007). Selain itu, Bressler juga menjelaskan bahwa makna dari patriarki itu sendiri digunakan sebagai distribusi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, di mana laki-laki memiliki keunggulan dalam satu atau lebih aspek yang terdapat pada kehidupan sehari-harinya seperti penentuan garis keturunan pada masyarakat patriarki. Biasanya, penentuan garis keturunan ini disandang oleh keturunan patrilineal eksklusif dan membawa atau menyandang nama belakang.

Baca juga:   Konstruksi Tubuh Perempuan (Ideal)

Kemudian, keunggulan yang lain ada pada hak-hak yang dimiliki anak sulung, otonomi pribadi dalam hubungan sosial, partisipasi dalam status publik, politik, dan agama atau atribusi dari berbagai pekerjaan pria dan wanita yang ditentukan oleh pembagian kerja secara seksual atau berdasarkan jenis kelamin (Charles E, Bressler, 2007). Reuda mengatakan bahwa budaya patriarki menjadi salah satu faktor penyebab penindasan terhadap perempuan di mana pada masyarakat yang menggunakan sistem budaya patriarki akan menempatkan atau meletakkan kaum laki-laki ke dalam posisi dan kekuasaan yang lebih dominan jika dibandingkan dengan penempatan posisi dan kekuasaan yang dimiliki oleh kaum perempuan. Masyarakat pun memandang dan menganggap jika laki-laki lebih memiliki kekuatan daripada perempuan. Perempuan pun dianggap sebagai kaum yang lemah dan tidak berdaya di segala lini kehidupan individu di masyarakat.

Adanya budaya patriarki di kehidupan masyarakat ini tidak menutup kemungkinan terdapat dampak yang ditimbulkan di masyarakat itu sendiri, di antaranya sebagai berikut.

  • Marginalisasi atau proses peminggiran, yang mengakibatkan kemiskinan secara ekonomi. Hal ini dapat terjadi karena pekerjaan perempuan dianggap lebih rendah dari pekerjaan laki-laki. Seringkali alasan ini menjadi salah satu faktor penyebab perbedaan gaji yang diterima antara pekerja laki-laki dengan pekerja perempuan (Mansour Fakih, 2008:7-77).
  • Subordinasi atau penomorduaan yang merupakan keyakinan terhadap salah satu jenis kelamin atau seks yang dianggap lebih penting, lebih utama, dan lebih pokok dibandingkan dengan jenis kelamin atau seks yang lainnya. Tindakan subordinasi atau penomorduaan ini sudah ada dan berlangsung sejak dahulu di mana adanya pandangan dan anggapan yang menempatkan dan memposisikan kedudukan serta peran perempuan yang dinilai lebih rendah dari kedudukan atau posisilaki-laki.
  • Stereotipe yang merupakan citra baku mengenai individu atau kelompok yang tidak sesuai dan tidak selaras dengan kenyataan empiris yang ada sehingga hal ini mengakibatkan terjadinya diskriminasi dan adanya ketidakadilan yang dapat merugikan kaum perempuan seperti mengenai pandangan dan anggapan terhadap perempuan yang tugas dan fungsinya hanya melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan pekerjaan rumah tangga yang bersifat domestik. Adanya label kaum perempuan sebagai ibu rumah tangga dinilai merugikan karena jika para perempuan ingin aktif dan berpartisipasi dalam kegiatan yang biasa dilakukan laki-laki seperti kegiatan dalam bidang politik, bisnis, dan birokrasi maka sedikit kemungkinan perempuan tersebut bisa berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Label pada laki-laki sebagai pencari nafkah yang utama untuk menghidupi dan memenuhi kebutuhan pokok keluarga mengakibatkan apa saja yang telah dihasilkan oleh pihak perempuan dianggap sebagai bentuk sambilan atau tambahan bagi pendapatan dan cenderung tidak diperhitungkan untuk pendapatan pokok keluarga (Mursyidah. 2013).
  • Kekerasan atau violence merupakan suatu hal yang berbentuk serangan terhadap fisik maupun psikis atau integritas mental psikologis seseorang. Dalam hal kekerasan ini yang mencakup kekerasan fisik, seperti pemerkosaan dan pemukulan, serta kekerasan dalam bentuk yang lebih halus seperti pelecehan (sexual harassment).

Adanya beban ganda yang merupakan beban yang harus ditanggung oleh perempuan secara berlebihan. Terdapat beberapa observasi yang menunjukkan bahwa perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan di rumah tangga atau domestik sehingga bagi mereka yang bekerja, selain bekerja di tempat kerja, juga masih harus mengerjakan pekerjaan di rumah tangga atau domestik.

Adanya sudut pandang dan anggapan peran gender seperti ini dapat menimbulkan rasa bersalah kepada perempuan jika mereka tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan yang berada di sektor domestik. Bagi kaum laki- laki hal ini dianggap sebagai bukan taggung jawabnya dan bahkan di sebagian besar tradisi, laki-laki justru dilarang untuk terlibat dalam pekerjaan domestik (Mansour Fakih, 2008: 80).

4. Budaya Patriarki dalam Teori Sosiologi

Beberapa teori sosiologi membahas budaya patriarki. Teori tersebut di antaranya teori sosial konflik dan teori struktural fungsional. Berikut penjelasan dari kedua teori tersebut.

a. Teori Sosial Konflik

Adanya budaya patriarki yang dilakukan pada lingkungan kehidupan kita sehari-hari memang tidak dapat dilihat dengan jelas. Hal ini bisa dirasakan dengan jelas saat kita melakukan segala bentuk aktivitas di masyarakat terutama dalam pemilihan penempatan kedudukan atau posisi jabatan sehingga dianggap sebagai ketidakadilan sistem yang pada hakekatnya tidak hanya merugikan pihak perempuan saja tetapi juga merugikan pihak laki-laki. Sebab, adanya ketidakadilan akan sangat berpotensi terjadinya konflik atau tatanan kehidupan di masyarakat yang tidak nyaman sebagaimana yang dijelaskan dalam teori sosial konflik. Selain itu, teori sosial konflik juga menjelaskan bahwa struktur vertikal pada penempatan dan posisi kedudukan suami, istri, dan anak-anak pada suatu keluarga sangat berpotensi menimbulkan konflik yang berkepanjangan di dalam keluarga karena dalam sistem struktur yang hierarki seringkali menciptakan situasi dan kondisi yang tidak demokratis di mana pembagian sumber daya yang terbatas seperti kekuasaan, kesempatan, dan keputusan-keputusan keluarga berlaku secara mutlak tanpa adanya proses negosiasi antaranggota keluarga.

b. Teori Struktural Fungsional

Pada teori struktural fungsional, keluarga menjadi institusi dengan sistem struktur yang menempatkan dan memposisikan kedudukan suami, istri, dan anak-anak pada posisi vertikal. Peran, hak, kewajiban, dan tanggung jawab sangat ditentukan oleh hierarki patriakal.

5. Ketidaksetaraan Gender

Ketidaksetaraan gender terjadi apabila salah satu pihak mengalami kerugian sehingga menimbulkan ketidakadilan. Dalam hal ini, ketidakadilan berupa adanya salah satu jenis gender yang dianggap lebih baik dari segi keadaan, posisi, dan kedudukannya. Bias gender tersebut bisa terjadi pada laki-laki maupun perempuan, namun di Indonesia sebagian besar adanya bias gender ini lebih dirasakan oleh kaum perempuan karena adanya nilai-nilai dan norma-norma yang dibawa oleh masyarakat yang memiliki pengaruh terhadap pembatasan gerak langkah kaum perempuan serta pemberian tugas dan peran yang dianggap kurang penting jika dibandingkan dengan tugas dan peran dari kaum laki-laki. Oleh karena itu, dalam pengambilan keputusan, kepemimpinan, kedudukan yang tinggi, dan lain sebagainya sedikit sekali kemungkinan hak tersebut diberikan kepada kaum perempuan.

Menurut Mansour Fakih, adanya manivestasi ketidakadilan gender ini tidak bisa dipisahkan karena hal tersebut saling berhubungan antara satu dengan yang lain. Adapun persepsi atau sudut pandang dari masyarakat mengenai status dan peran yang dimiliki oleh kaum perempuan masih belum sepenuhnya sama dan sederajat dengan status dan peran kaum laki-laki. Sebagian besar dari warga masyarakat itu sendiri masih memiliki pandangan dan pendapat bahwa setiap perempuan harus berada di rumah untuk melakukan pekerjaan rumah atau domestik, mengabdi pada suami, serta melakukan apa saja yang diperintah oleh suami, dan mengasuh serta merawat anak-anaknya.

Di samping itu, ada juga warga masyarakat yang memiliki pandangan atau pendapat bahwa setiap perempuan harus ikut berpartisipasi serta berperan aktif dalam kehidupan sosial di bermasyarakat dan bebas untuk melakukan apa saja sesuai dengan haknya. Hanya sebagian kecil warga yang memiliki sudut pandang dan pendapat mengenai kaum perempuan yang juga berhak untuk ikut andil dan berpartisipasi dalam segala program atau kegiatan dan aktivitas di masyarakat yang bersifat pekerjaan publik.

Oleh karena itu, tidak sedikit peneliti atau tokoh yang menganggap budaya patriarki biasanya dihubungkan atau dikaitkan dengan budaya Islam dan dianggap sebagai bentuk ketidakadilan atau ketidaksetaraan yang terdapat dalam kehidupan perempuan karena penafsiran dan pemahaman individu dari para feminis tersebut sudah semakin tidak relevan atau berhubungan apabila dihadapkan dengan semangat pada zaman modern yang egaliter, demoktaris ,dan berkeadilan seperti saat ini. Budaya egaliter dan demokratis memberikan penghargaan kepada seseorang yang benar-benar mampu melakukan sesuatu berdasarkan kemampuan atau keahlian dan jasanya bukan berdasarkan jenis kelamin (seks) atau gender (Faisol, 2012).

Simpulan

Jenis kelamin atau seks merupakan pembagian jenis kelamin secara biologis di mana dapat kita kenal seperti laki-laki dan perempuan. Seks ini juga berkaitan atau berhubungan dengan karakter dasar fisik dan fungsi manusia, seperti mulai dari kromosom, hormon, dan bentuk organ reproduksi. Sementara itu, gender merupakan sudut pandang atau persepsi masyarakat tentang peran, perilaku, ekspresi, dan identitas seseorang, baik laki-laki maupun perempuan sehingga hal ini juga erat kaitannya dengan orientasi seksual seperti homoseksual, heteroseksual, dan biseksual. Adapun makna gender dalam sudut pandang Islam dapat dipahami bahwa kedudukan atau penempatan laki-laki dan perempuan sama atau sederajat di hadapan Allah Swt. Hal ini berarti nilai-nilai dari kesetaraan gender yang terdapat dalam Islam menjadi bagian nilai-nilai universal Islam yang mana nilai-nilai tersebut berupa nilai keadilan, kemanusiaan, dan penghargaan terhadap hak-hak dasar manusia.

Akhir-akhir ini di masyarakat sering sekali terdapat isu-isu mengenai gender, baik secara langsung maunpun tidak langsung dengan menggunakan media sosial. Isu-isu atau permasalahan yang biasanya diangkat mengenai ketidaksetaraan gender atau kesenjangan gender yang erat kaitannya dengan budaya patriarki di masyarakat. Isu-isu atau permasalahan mengenai gender ini sangat berpengaruh pada masyarakat karena dapat memunculkan suatu permasalahan dari berbagai aspek, di antaranya aspek dari sisi sosial, politik, maupun agama. Dampak yang ditimbulkan karena adanya budaya patriarki dalam kehidupan bermasyarakat di antaranya marginalisasi, subordinasi, adanya beban ganda oleh perempuan, dan lain sebagainya. Selain itu, terdapat teori sosiologi yang membahas mengenai budaya patriarki dalam keluarga, yaitu teori sosial konflik dan teori struktural fungsional.

Daftar Pustaka

Gani, R. 2019. Islam dan Kesetaraan Gender. Al-Wardah: Jurnal Kajian Perempuan, Gender dan Agama, 12(2), 114-122.

Hermawati, T. 2007. Budaya Jawa dan kesetaraan gender.

Rahminawati, N. 2001. Isu kesetaraan laki-laki dan perempuan (bias gender). Mimbar: Jurnal Sosial dan Pembangunan, 17(3), 273-283.

Susanto, N. H. 2015. Tantangan mewujudkan kesetaraan gender dalam budaya patriarki. Muwazah: Jurnal Kajian Gender, 7(2), 120-130.

spot_img
Sebelumnya
Berikutnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

Tulisan Terbaru

Cinta

0

Janji Proklamasi

1

Pelayatan Agung

0

Ziarah

1

Komentar Terbaru

Sedang Populer

1,166FansLike
69FollowersFollow