Kitab Kuning

0
Kitab Kuning

Oleh Dr. M. Wildan, S.S., M.A.
Wakil Rektor III Universitas Pamulang

Dulu di Banten kami pernah sampaikan, anggota wajib untuk belajar kitab kuning, karena kami mendapat masukan dari ulama-ulama bahwa untuk mencegah berkembangnya terorisme salah satunya adalah dengan belajar kitab kuning,” tutur Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo (Rabu, 20/1/2021) saat mengikuti fit and proper test di Komisi III DPR RI. –Inews.id

Pasca-diucapkan oleh jenderal bintang tiga itu, kitab kuning menjadi hangat dan menarik diperbincangkan di tengah masyarakat. Pasalnya, bila merunut secara semantiknya ujaran Komjen Pol. Listyo Sigit Prabowo, per tanggal 27 Januari 2021, telah resmi menjabat sebagai Kapolri ini memuat sejumlah makna, yaitu (1) Sang Jenderal menyampaikan pengalamannya semasa bertugas sebagai Kapolda Banten, (2) Sang Jenderal mendapat masukan dari ulama-ulama Banten, (3) Sang Jenderal (mewajibkan) anggota belajar kitab kuning, dan (4) Sang Jenderal pada suatu simpulan, belajar kitab kuning menjadi salah satu solusi dapat mencegah berkembangnya terorisme. Saya sebagai pengkaji kitab kuning memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Sang Jenderal atas niat baik yang mewajibkan anggota Polri mengkaji kitab kuning.



Bila merujuk ujaran Sang Jenderal yang mewajibkan anggota belajar kitab kuning, maka menjadi perlu diajukan satu pertanyaan mendasar. Kitab kuning mana yang dimaksudkan oleh Sang Jenderal? Pertanyaan ini penting karena saya sebagai orang yang pernah belajar kitab kuning selama enam tahun, berpandangan bahwa kitab kuning yang diujarkan masih bersifat umum dan belum dirincikan. Pasalnya, berbicara kitab kuning tidak sekadar kitab kuning yang berisikan fiqih, akidah, akhlak, namun juga berisikan tata bahasa Arab (nahwu-sharf).

Sementara itu, mayoritas kitab kuning yang jamak dikaji di pesantren-pesantren cenderung tidak memiliki harakat. Sebut saja misalnya, kitab Fathul Qarib, salah satu kitab yang berisikan ilmu fiqih sama sekali tidak berharakat. Demikian juga dengan kitab Kifayatul Awam, salah satu kitab tauhid sama sekali tidak berharakat. Lalu, bagaimana cara membaca dan memaknai kitab kuning yang nirharakat ini? Dalam tradisi pesantren, ada kurikulum utama yang mesti diikuti oleh para santri, yaitu belajar ilmu alat. Ilmu alat ini diajarkan pertama kali dengan tujuan agar santri dapat membedah kitab kuning yang nirharakat.

Setidaknya pemelajar kitab kuning diwajibkan belajar ilmu nahwu dan ilmu sharf. Sederhananya, ilmu nahwu padanan dalam bahasa Indonesia dengan sintaksis, sedangkan ilmu sharf padanan dalam bahasa Indonesia dengan morfologi. Kedua ilmu alat ini menjadi penting untuk diketahui guna membedah sebuat kitab kuning yang nirharakat. Oleh karenanya, pemelajar kitab kuning yang tidak berbekal nahwu dan sharf akan kandas dalam pembacaan serta pemahaman maksud dari suatu teks berbahasa Arab.

Ilmu nahwu melatih pembelajar kitab kuning untuk mengatahui cara membaca suatu teks berbahasa Arab, terutama sebagai penentu harakat pada setiap akhir kata; apakah berharakat fatha, dhommah, kasrah, atau sukun? Dalam tradisi nahwu sangat rigid dalam penentuan suatu harakat. Sebut saja misalnya pada lafaz lam yalid walam yulad, yang huruf dal berharakat sukun/mati, karena sebelumnya terdapat amil/faktor lam, sehingga berfungsi menyukunkan dan/atau membuang huruf akhir pada kata-kata tertentu.  Di samping secara pemaknaan bahwa dengan kehadiran lam pada kata tersebut bermakna ‘tidak untuk selamanya’. Oleh karenanya, ketika dilihat tafsirnya, lam yalid walam yulad bermakna ‘Allah sama sekali tidak beranak dan diperanakkan.’ Berbeda halnya dengan menggunakan laa yang juga bermakna tidak, namun tidak bukan untuk selama.

Ilmu sharf melatih pemelajar kitab kuning untuk mengetahui suatu harakat pada tengah kata serta asal suatu kata. Mengetahui harakat pada tengah kata berpengaruh signifikan dalam memahami suatu kata. Sebut saja misalnya, antara kata nashara dan naashirun yang memiliki perbedaan makna. Nashara bermakna ‘menolong’, sedangkan naashirun bermakna ‘penolong’. Di samping itu, sharf  juga mempelajari asal suatu kata, seperti qaala asal katanya qawala, huruf wau pada qawala diganti menjadi alif karena orang lebih simpel dalam pengucapannya.

Sekelumit penjelasan ilmu nahwu dan sharf di atas setidaknya menjadi opsi bagi pemelajar kitab kuning. Tentu hal ini tidak terkecuali bagi anggota Polri yang (akan) diwajibkan mengkaji kitab kuning di bawah kepemimpinan Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo. Sebelum mengkaji kitab kuning yang berisikan fiqih, akidah, dan akhlak ada baiknya terlebih dahulu memantapkan terlebih dahulu ilmu alat; nahwu dan sharf. Pemelajar yang memiliki kompetensi terhadap ilmu alat dapat membedah kitab kuning apapun secara mandiri. Tentu hal ini berbanding terbalik, ketidakkompetensian ilmu alat pada seorang pemelajar kitab kuning tentu tidak bisa leluasa dalam memahami suatu teks. (*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here