
Ir. Drs. Djohan Yoga, M.Sc., MOT, Ph.D.
International Certified Trainer in Creative & Critical Thinking Skills in Asia
“Learning without thinking is useless, thinking without learning is dangerous.”
Begitulah kata-kata bijak dari Filosuf China yang sangat terkenal, Konfisius. Belajar dan berpikir adalah dua proses yang saling terkait satu sama lainnya dan bila berdiri sendiri akan mubazir atau berbahaya.
Menurut definisinya, belajar adalah proses memasukkan informasi ke dalam otak melalui berbagai macam cara, mulai dari melihat, mendengar, beraktivitas, dan lain-lain. Sementara itu, definisi dari berpikir adalah proses untuk mengolah informasi yang diperoleh dari proses belajar.
Learning Skill
Agar proses belajar bisa berjalan dengan baik, maka dibutuhkan keterampilan belajar (learning skill) yang antara lain terdiri atas keterampilan membaca, merangkum, memilah informasi, mengatur waktu, dan lain-lain. Kelemahan dari keterampilan belajar ini telah menjadi salah satu penghambat dari Learning From Home lewat metode pemelajaran daring (e-learning) yang terpaksa digunakan dalam sikon darurat akibat wabah Covid 19 ini. Akibatnya, banyak peserta didik mengalami kesulitan untuk belajar di rumah dan mereka tidak dapat menyerap informasi yang ada di buku-buku pelajaran tanpa bimbingan dari para gurunya.
Thinking Skill
Dalam Abad 21 ini, keterampilan berpikir (thinking skill) menjadi salah satu dari Keterampilan Abad 21 khususnya Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi atau yang populer dengan istilah HOTS (Higher Order Thinking Skill). Menurut Taksonomi Bloom, HOTS ini terdiri dari tiga level berpikir yang dikenal dengan C4 (menganalisis), C5 (mengevaluasi) dan C6 (mengkreasi). Kelemahan dari HOTS ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya Indonesia dalam Test PISA 2018 yang berada di posisi ke-6 dari bawah. Soal-soal yang diujikan mayoritas berbasis HOTS sehingga menyulitkan siswa kita yang sudah terbiasa dengan soal-soal berbasis LOTS (Lower Order Thinking Skill).
Core Thinking Process (CTP)
Pakar berpikir dari Australia, Prof. John Langrehr, lewat bukunya, Teaching Our Children to Think, memperkenalkan istilah Proses Berpikir Inti (Core Thinking Process) yang dibagi menjadi empat tahap, yaitu:
- Organized Thinking
Ini tahap berpikir keseluruhan (overall) yang terdiri dari kegiatan membandingkan, mencari persamaan, mencari perbedaan, mengelompokkan, mengurutkan, dan menggenaralisasi (memberi atribut) untuk seluruh informasi yang diperoleh dari kegiatan belajar. - Analytical Thinking
Ini tahap berpikir parsial yang terdiri atas kegiatan mencari hubungan antarkelompok dan mencari pola urutan yang dihasilkan oleh tahap berpikir sebelumnya. - Creative Thinking
Ini tahap berpikir kreatif yang bertujuan untuk menciptakan ide, alternatif, dan solusi baru dari hal-hal yang sudah ada lewat proses yang disingkat dengan CREATE (Combine, Reverse, Eliminate, Alternative, Twist, Elaborate). - Critical Thinking
Ini tahap berpikir kritis yang bertujuan untuk mengevaluasi semua ide, alternatif, dan solusi yang dihasilkan oleh tahap berpikir sebelumnya lewat proses yang disingkat dengan CAMPER (Consequences, Assumtions, Main-Issues, Prejudes, Example, Releable). Lewat tahap inilah sebuah Inovasi tercipta.
Pola CTP dari Prof. Langrehr ini telah digunakan secara luas oleh banyak negara dan salah satunya Singapore yang mengadopsinya ke dalam sistem pendidikan mereka lewat apa yang mereka sebut dengan “New Thinking Programme” yang berfokus pada cara-cara untuk mengembangkan CCTS (Creative & Critical Thinking Skills) di semua level pendidikan, mulai dari Preschool, Primary, dan Secondary School. Bisa diduga, inilah salah satu kunci sukses dari Singapore untuk menjadi negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia serta negara dengan tingkat inovasi nomor satu di dunia.
Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini sudah mulai fokus untuk meningkatkan keterampilan belajar lewat program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) dan keterampulan berpikir lewat program HOTS. Semoga program-program ini bisa terus berlanjut di era Merdeka Belajar ini. Tanpa adanya dua keterampilan dasar ini mustahil mutu pendidikan bisa meningkat. (*)
Benar skl Prof Kokom, tantangan yg sgt berat akibat kita terlalu lama nyaman di LOTS shg begitu beralih ke HOTS semua kaget dan tidak siap. Pembelajaran HOTS bisa dimulai dgn Organised Thinking dulu sb kegiatan2 nya mudah, setelah itu baru beralih ke Analytical Thinking. Salam 🙏
Nah..kesimpulannya bagaimana meningkatkan kemampuan guru dan dosen dalam mengimplementasikan pembelajaran HOTS …aduh masih jauuuuhhhh dan PR besar Prof….
Menurut pengamatan saya program pembelajaran HOT’S di Indonesia belum berjalan secara optimal. Dugaan saya karena sebagian besar guru-guru kita adalah produk pembelajaran LOT’S sejak di SD sampai dengan pendidikan tinggi. Mereka selama ini kurang dilatih dan berlatih berpikir timgkat tinggi sehingga mengalami kesulitan ketika akan menularkan kemampuan berpikir tingkat tinggi kepada murid-muridnya.
Benar sekali Pak Sutadi, Program HOTS yang ada saat ini terlalu fokus ke Soal HOTS saja padahal yg lebih penting adalah Pembelajaran HOTS. Akibatnya tidak banyak manfaatnya karena yg terjadi adalah : Pembelajaran LOTS diuji dengan Soal HOTS.
Mantab jawannya.. jelas dan objective.
Mungkin tetap harus memperhatikan latar Kearifan Lokal setempat yang juga mempunyai filosofi pembelajaran dan tingkat IQ individu sehingga dapat rasuk bersama terintegrasi mencapai tujuan yang diharapkan.. Maturnuwun
Kearifan Lokal menjadi salah satu fondasi utama baik untuk Learning maupun Thinking Skill. Suatu ketrampilan akan terasah dg baik bila selaras dg kearifan lokal yg ada di tengah masyarakat.
Pengembangan thinking skill boleh jadi dalam situasi belajar harus merupakan unity dengan affective skill juga sensory motor skill dan social skill sehigga bagi pembelajar akan berkembang character skill di dalam dirinya
Tepat sekali Prof Bambang, ini sejalan dg Pendidikan Abad 21 yg terdiri dari 3 komponen : Akademik, Karakter dan Skill.