
Prof. Dr. Burhan Nurgiyantoro
Universitas Negeri Yogyakarta, Indonesia
Abstract
The 21st century is characterized, among others, by the rapid development of information technology impacting on all aspects of life. Such rapid development has brought changes in the literacy paradigm. The digital age has a tremendous impact on the flow of information. It impacts seriously on how we communicate. Therefore, literacy competencies now require more competencies. It triggers the emergence of multiliteration. A new paradigm, however, arises in terms of literacy (media literacy) to respond to texts in the cyberspace that demands multiliteration competence. We are in the area of ”new literacy”, the multiliteration region. There must be changes in the learning paradigm to fit the era. Many new things can only be dealt with, responded to, read, selected, criticized, interpreted, and taken advantage of by using those competences. Teachers and lecturers have new tasks. First, they need to improve students’ digital competence to access teaching materials scattered in Internet. Second, they also need to instill and improve students’ critical attitudes, so that they are willing and able to select good materials. Third, they need to guide students to use various content that is good for various learning needs. Research work and writing scientific papers are now greatly helped by the abundance of the source of the material. Dosen dan mahasiswa harus didorong untuk memuplikasikan hasil karyanya di berbagai jurnal internasional atau media digital yang lain.
Keywords: literature, literacy, multiliteration era, learning literacy literature
Pendahuluan
Sejak akhir abad ke-20 dan masuk abad ke-21, dunia ditandai dengan semakin kencangnya arus informasi dan digital yang berdampak pada semua aspek kehidupan. Ada tuntutan perubahan secara drastis ke arah teknologi digital. Era digital membawa dampak luar biasa arus informasi yang berdampak serius pada cara berkomunikasi. Berbagai arus informasi yang semula efektif disampaikan lewat kertas (tulis-baca) kini mau tidak mau kita harus menerima perubahan itu. Kita masuk dalam era disrupsi era 4.0. Era “penghancuran” terhadap berbagai hal yang telah mapan. Pesatnya tekonologi informasi dan digital, membawa perubahan dalam paradigma literasi. Sarana untuk berkomunikasi, sekaligus untuk memperoleh pengetahuan, kini tidak terbatas pada wacana teks cetakan (tradisional). Berbagai produk era digital seperti internet, ebook, ejournal, Facebook, Twitter, WhatsApp, Instagram, dan lain-lain sampai berbagai bentuk tampilan visual amat memengaruhi sikap, cara berpikir, dan berperilaku manusia.
Abad ke-21 dapat dipandang sebagai abad literasi. Di berbagai belahan dunia orang berbicara literasi. Pada 2015 PBB menetapkan UN Literacy Decade yang mengindikasikan bahwa pada tahun itu semua warga dunia haruslah memiliki kompetensi berliterasi (Janjic-Watrich, Wallen, & Brenna, 2009). Hal itu tertuang dalam program Education for All (EFA) di bawah koordinasi PBB untuk seluruh negara di dunia yang ikut serta dalam keanggotaan program. Australia, misalnya, memiliki Australian Literacy Federation (ALF) yang merupakan forum bersama untuk The Primary English Teacher Association dan The Australian Literacy Educators Association. Ada survei untuk mengukur kompetensi siswa SD yang bernama PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study) (Mullis & Martin, 2016), dan PISA untuk SMP (Programme for International Students Assessment) (OECD, 2013) yang Indonesia ikut di dalamnya. Indonesia telah menetapkan kebijakan tentang GLN (Gerakan Literasi Nasioanl) dan GLS (Gerakan Literasi Sekolah) (Kemendikbud, 2017).
Bagaimana halnya dengan dunia kesastraan, dunia pembelajaran literasi bersastra? Di konteks kesastraan pun dampak arus informasi digital itu terasa berpengaruh. Di era sebelumnya, arus informasi kesastraan itu hanya “mengalir perlahan” lewat kertas (buku dan berbagai bentuk cetakan yang lain). Dewasa ini arus informasi tersebut juga membanjir lewat wacana digital secara masif. Hebohnya lagi, amat banyak unggahan yang hampir tanpa seleksi tanpa proses “reviu” dari pihak lain yang berkompeten pada bidang itu. Bahkan, yang semula telah dicetak pun, kini juga diunggah ke ranah digital secara online. Inilah yang oleh Mills (2010) disebut telah terjadi pergeseran sejarah budaya teks cetak ke media online. Semuanya menjanjikan kemudahan dan kecepatan akses bagi seseorang yang memiliki kompetensi multiliterasi. Konsekuensinya, mau tidak mau mesti ada perubahan penyikapan. Namun, pada intinya literasi media yang berbagai-bagai itu—yang kemudian dikenal dengan istilah multiliterasi—menekankan kemampuan kritis dan reflektif.
Dunia pendidikan mestinya bisa mengambil manfaat dari era itu untuk meningkatkan kualitas output yang sesuai dengan tuntutan zaman sehingga keluaran lembaga pendidikan nyambung dengan kebutuhan di dunia kerja. Untuk itu, pembelajaran mesti harus kontekstual dan sesuai dengan pengalaman siswa (Howick & Schmaus, 2018). Pernyataan tentang pentingnya sikap dan kemampuan kritis dan reflektif menunjukkan bahwa dampak luar biasa teknologi digital sekaligus juga memiliki sisi-sisi negatif. Dengan adanya kecanggihan teknologi digital, harus diakui memudahkan kita bisa mengakses berbagai teks kesastraan. Untuk membaca berbagai karya sastra, nasional dan internasional, termasuk yang “langka”, kritik dan esai, dan lain-lain kita tinggal mencari di internet. Namun harus diingat, teks apa saja dapat diperoleh di sana, tidak hanya yang menyangkut berbagai teks yang baik sebagaimana disarankan untuk dibaca atau dibelajarkan, tetapi juga berbagai teks yang tidak baik, kurang mendidik, atau bahkan memunyai dampak merusak.
Kesemuanya itu membutuhkan penyikapan dan penerimaan secara berbeda, perlu penyikapan dan cara meliterasi semua itu untuk mengurangi dampak negatif. Intinya, untuk menyikapi kondisi tersebut dibutuhkan kompetensi literasi yang berbeda dengan sebelumnya, yang menuntut kompetensi yang lebih banyak untuk menanggapi berbagai macam teknologi seperti kompetensi teknologi informasi, digital, multimedia, dan lain-lain. Hal inilah yang antara lain memicu munculnya istilah multiliterasi. Maka, muncul paradigma baru dalam hal literasi (literasi media) untuk menanggapi “teks” di dunia maya yang menuntut kompetensi multiliterasi juga.
Tentang Kesastraan
Dilihat dari sudut pandang fungsional, sastra tidak lain adalah sarana untuk berkomunikasi, sarana untuk menyampaikan sesuatu (ide, gagasan, sikap, way of life-nya pengarang) kepada pembaca. Sastra adalah sarana untuk menyampaikan dan mendialogkan informasi: informasi tentang berbagai persoalan hidup dan kehidupan. Sastra identik dengan lambang verbal karena sarana penyampaiannya secara verbal, lewat bahasa. Namun, cara penyampaian teks-teks verbal itu mesti berbeda dengan penyampaian teks-teks lain yang di luar kesastraan. Singkatnya, cara penyampaian pada teks kesastran mesti dilakukan dengan cara-cara yang berbeda, yang khas kesastraan. Jadi, sastra atau teks kesastraan tidak lain adalah sarana berkomunikasi atau menyampaikan informasi lewat bahasa yang khas.
Aspek bahasa dalam teks kesastraan merupakan aspek bahan, mirip dengan cat (warna) dan kanvas adalah aspek bahan dalam seni lukis. Bahasa adalah salah satu aspek bentuk, aspek yang dipakai sebagai media pengekspresian informasi, gagasan, ide, pikiran, perasaan yang semuanya dapat disebut sebagai aspek isi. Walau hanya sebagai aspek sarana, bahasa memegang peran yang penting dan menentukan kualitas kelitereran teks yang bersangkutan. Bahkan, sebenarnya secara formal-kasat-mata yang terlihat dalam teks kesastraan adalah bahasa. Sebagaimana cat dalam seni lukis, aspek bahasa yang telah terekspresikan dalam teks kesastraan, juga mesti bernilai lebih. Jika bahasa ilmiah merupakan bahasa yang bersifat objektif-empirik-rasional, bahasa sastra merupakan bahasa yang bersifat subjektif-imajinatif-kreatif. Ia menuntut adanya unsur kreativitas imajinatif. Maka, karya sastra sering disebut sebagai karya (bahasa) kreatif (Nurgiyantoro, 2017).
Unsur kreativitas dan orisinalitas dalam teks kesastraan merupakan sesuatu yang terjaga. Artinya, dalam teks ksesastraan mesti terpenuhi kedua tuntutan itu sehingga sebuah teks kesastraan yang eksis merupakan hasil kreasi (pengarang) dan asli (dari pengarang). Tuntutan pada kedua hal itu menyebabkan bahasa teks kesastraan menjadi bersifat dinamis, terus-menerus berubah untuk menemukan bentuk-bentuk pengucapan yang baru-asli lagi. Maka, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa bahasa sastra tidak lain adalah sebuah konstruksi bahasa yang dinamis. Hal itu terjadi antara lain disebabkan oleh adanya wawasan keindahan yang juga selalu berubah pada setiap zaman. Substansi informasi yang didialogkan boleh tidak berbeda—berupa masalah-masalah manusia dan kemanusiaan—tetapi cara pengekspresiannya mesti berbeda. Konkretnya, “substansi informasi” boleh mirip, tetapi cara “menginformasikananya” mesti tidak sama.
Penolakan terhadap cara-cara pengucapan yang telah lazim dengan menciptaan bentuk-bentuk pengucapan baru, lain dari yang biasanya, merupakan salah satu karakteristik penting dalam bahasa sastra. Dalam sudut pandang Kaum Formalisme Rusia, hal itu disebut dengan istilah deotomatisasi atau defamiliarisasi (Peer, Zyngier, & Hakemulder, 2007:3). Istilah deotomatisasi diartikan sebagai penolakan terhadap cara-cara pengucapan yang telah menjadi otomatis, rutin, biasa, wajar, atau seperti biasanya. Defamiliarisasi berarti tidak familiar, belum atau tidak dikenal, asing, dan terasa sebagai sesuatu yang baru. Sastra menolak berbagai bentuk pengucapan yang lazim, yang telah menjadi biasa. Akibat dari tuntutan kreativitas itu, pengucapan dalam sasra mesti diusahakan dengan cara lain, cara baru yang berbeda, yang belum (pernah) dipergunakan. Hal itu bertujuan untuk memberikan efek asing, aneh, atau bahkan mengejutkan pembaca. Keadaan semacam itu menyebabkan adanya cerapan indera yang berbeda yang menyebabkan pembaca “terpaksa” berhenti sejenak untuk memikirkannya.
Kehadiran karya sastra yang pertama dan utama adalah untuk memberikan hiburan, hiburan yang menyenangkan dan karenanya mampu memberikan kepuasan. Agar tujuan itu tercapai, teks kesastraan mesti memenuhi kualifikasi keindahan sebagaimana halnya dengan berbagai karya seni yang lain. Keindahan karya sastra tidak hanya ditentukan oleh aspek bahasa saja, melainkan juga oleh unsur makna, susbstansi mana yang ingin didalogkan kepada pembaca. Tepatnya, keindahan itu ditentukan oleh kepaduan dan keharmonisan antara unsur bahasa dan makna, antara form dan content. Mulyana (1956) mencontohkan keadaan itu dengan cerita wayang yang mampu menyentuh hati dan membangkitkan rasa haru. Yang menyentuh itu adalah keindahan bahasanya, tuturannya, misalnya cara dalang menyampaikan cerita lengkap dengan berbagai suluk dan tembangnya, sedang yang mengharukan itu isi kandungan ceritanya, isi cerita wayang. Keindahan itu terjadi di dalam jiwa, di hati dan pikiran, ketika kita merespons objek yang kita terima.
Oleh karena itu, kehadiran karya sastra mesti direspons dengan cara dibaca, dipahami, dihayati, dan ditanggapi karena mereka adalah sebentuk dialog tentang tafsir kehidupan yang ditawarkan oleh pengarang. Karya sastra adalah sebuah dunia imajinatif yang diidealkan dan diyakini kebenarannya oleh pengarang, yaitu kebenaran sesuai dengan way of life-nya dan tuntutan logika cerita. Karya sastra hadir untuk menyentuh hati dan perasaan, menyentuh kedalaman jiwa pembaca, dan bukan untuk mengajari walau di dalamnya mungkin saja ada tersirat unsur “pembelajaran”. Sastra hadir lebih untuk to move, bukan untuk to teach. Kandungan karya sastra mungkin berisi atau berbicara masalah moral, etika, agama, peradaban, dan lain-lain, tetapi mereka bukan “buku pelajaran” tentang itu semua.
Tentang Literasi dan Multiliterasi
Memasuki abad ke-21 terlihat bahwa istilah literasi memperoleh makna baru yang semakin luas dan mencakup berbagai bidang kompetensi. Berbagai kompetensi dan keterampilan yang semula tidak mempergunakan istilah literasi, kini sebutannya memakai ‘literasi’. Sebutan untuk kompetensi bersastra kini juga disebut dengan kompetensi literasi bersastra atau literasi sastra. Untuk berbagai bidang lain juga tidak berbeda, misalnya ada sebutan literasi verbal, visual, auditif, media, digital, teknologi, finansial, politik, dan lain-lain. Bahkan, Kemendikbud telah menetapkan enam literasi dasar—yang juga sudah disepakai dalam World Economic Forum (2015)—yang meliputi literasi baca tulis, numerasi, sains, finansial, digital, serta budaya dan kewargaan. Dalam hal pembelajaran literasi, pelaksanaannya dikelompokkan ke dalam tiga tahap, yaitu tahap pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran (Kemendikbud, 2017).
Sebenarnya literasi dan makna literasi memiliki sejarah yang panjang. Pada mulanya literasi sekadar diartikan sebagai is about reading and writing; being able to read and write ‘kemampuan membaca dan menulis’. Literasi hanya melibatkan kompetensi menerima informasi (being able to read) dan menyampaikan informasi (being able to write). Dalam perkembangan berikutnya, literasi mencakup keempat kompetensi berbahasa, menyimak, membaca, berbicara, menulis. selanjutnya, literasi dikaitkan dengan praktik kehidupan sosial; ada konteks sosial. Kini literasi dimaknai sebagai sebuah aktivitas praktik sosial (diprakondisi, berada dalam lingkup, dan bertujuan sosial), pengetahuan dalam relasi sosial. Jadi, literasi berkaitan erat dengan konteks sosial, bahkan perlu pengetahuan sosial, budaya, dan sejarah untuk dapat berliterasi dengan baik. Sebuah wacana tentang sesuatu (bisa cerita sastra, fiksi) hanya dapat dipahami dengan lebih baik jika kita memahami latar sosial budayanya. Orang yang memunyai kompetensi literasi disebut literat, sedangkan yang sebaliknya disebut iliterat.
Pesatnya teknologi informasi dan digital membawa perubahan paradigma literasi. Berbagai produk digital internet dan semua produk turunannya membanjiri kehidupan masyarakat. Untuk menanggapinya tentu dibutuhkan kompetensi yang berbagai-bagai juga yang bersifat multiliteratif. Maka, muncul paradigma baru dalam hal literasi (literasi media) untuk menanggapi “teks-teks” di dunia maya yang menuntut kompetensi multiliterasi juga. Adanya pergeseran budaya teks yang dari teks cetak ke budaya digital, menjanjikan kemudahan dan kecepatan akses, namun hal itu hanya berlaku bagi seorang yang memiliki kompetensi multiliterasi. Berbagai teks karya sastra dalam berbagai genre, termasuk kritik dan atau esai, kini dapat ditemukan secara online, misalnya berbagai puisi karya berbagai pengarang kini secara mudah dapat diakses via internet. Sebagai konsekuensinya, hal itu semua membutuhkan perubahan penyikapan.
Berbagai produk digital tersebut haruslah dapat dimanfaatkan dalam kehidupan, termasuk di dalamnya dunia pendidikan dan pembelajaran lewat berbagai bidang (mata pelajaran) dengan diprasyarati kompetensi literasi teknologi. Dewasa ini kita berada dalam wilayah “literasi baru”: wilayah multiliterasi. Multiliterasi itu sendiri paling tidak mencakup empat hal: conventional reading & writing, digital literacy, visual literacy, dan critical literacy. Maka, harus ada perubahan dalam paradigma pembelajaran agar sesuai dengan perkembangan zaman. Hal tersebut menjadi bahan yang menarik dalam kaitannya dengan pembelajaran dengan tujuan kemampuan untuk berliterasi (bersastra).
Media digital online menyediakan berbagai macam kandungan yang semuanya dapat diakses. Jika dikaitkan dengan konteks pembelajaran, hal itu berarti media digital “menyediakan” bahan ajar yang melimpah dan bahkan tidak terbatas Hal inilah yang menyebabkan munculnya konsep multimodal (New London Group, 1996); multibahan ajar yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembelajaran (Haset & Curwood, 2009). Kondisi ini pula yang memicu munculnya konsep multiliterasi yang kemudian diikuti pandangan pentingnya pembelajaran multiliterasi. Hal itu merupakan kesadaran terhadap adanya berbagai sarana, media, cara berkomunikasi, bahan baca dan tulis yang perlu diliterasi dan dimanfaatkan di dunia pendidikan. Hal itu telah ditindaklanjuti oleh, misalnya, Moje (2015) yang menekankan pembelajaran multiliterasi lewat konteks sosial budaya dan proses inkuiri serta oleh Frankel et al (2018) lewat strategi kolaborasi yang melibatkan mentor.
Untuk menjaga sikap kritis, sebagai konsekuensinya, ada begitu banyak “bahan ajar” yang perlu dikritisi dan diseleksi untuk memastikan bahwa bahan tersebut layak dibaca dan dimanfaatkan. Penyikapan dan pengkritisan multimodal, terhadap berbagai bahan yang dapat ditemukan, lewat media digital secara online memerlukan kemampuan kritis dan reflektif. Hal itu dilakukan untuk menghindari atau meminimalisir kesalahan. Tentang penyikapan itu, sebagaimana dikatakan Kiili et al (2018), berupa pengkritisan (penilaian) bahan online itu lewat langkah-langkah melokalisasikan sumber, mempertanyakan kredibilitas informasi, mengonfirmasi informasi, mengidentifikasi ide utama informasi, menyintesiskannya dengan informasi sejenis dari sumber lain, dan mengomunikasikan hasilnya. Hasil dari kegiatan itu kemudian didiskusikan, dipertimbangkan, dan bisa dijadikan sebagai bahan pembelajaran. Pencarian dan pemilihan bahan ajar kesastraan kini tidak lagi terpancang pada teks-teks cetak konvensional. Kini berbagai teks itu telah diunggah secara online sehingga mudah ditemukan. Bahkan berbagai aktivitas “pentas” kesastraan seperti membaca puisi, drama, pantomim, dan lain-lain dapat ditemukan modelnya lewat digital, misalnya lewat Youtube.
Literasi Fungsional
Berbagai wacana yang merupakan multimodal itu haruslah dapat dimanfaatkan dalam dunia pendidikan untuk memasuki dunia multiliterasi yang sesungguhnya. Hal inilah antara lain yang kemudian memunculkan konsep literasi fungsional. Literasi fungsional itu sendiri dapat dipahami sebagai kemampuan literasi yang dapat berfungsi untuk menunjang kehidupan masyarakat, untuk meraih tujuan dan dapat mengembangkan potensi seseorang dan masyarakat. Jadi, literasi fungsional terkait dengan berbagai fungsi dan keterampilan hidup. Seseorang dapat disebut sebagai manusia literat jika seorang tersebut dapat memfungsikan dirinya dengan berbagai fasilitas dan lingkungan yang ada untuk mencapai kemajuan diri dan sosial.
Literasi fungsional lebih dari sekadar being able to read dan write karena selain adanya prasyarat harus memahami (apa yang dibaca), ia juga mengandaikan kompetensi untuk mempraktikkan apa yang dibaca sesuai dengan kandungan maknanya. Intinya, ia memerlukan penyikapan dan kemauan untuk berbuat. Contoh kasus: di kampus ada tulisan “Dilarang Merokok”, “Smoking Area”, “Tempat Sampah”, atau “Buanglah Sampah pada Tempatnya”, dan lain-lain. Tetapi, faktanya masih banyak orang (dosen, mahasiswa, pegawai) yang merokok di sembarang tempat; membuang sampah di mana-mana seenaknya, sementara tempat sampah malah kosong. Banyak contoh kasus serupa di masyarakat kita. Fakta itu menunjukkan bahwa sebagian anggota masyarakat kampus itu belum memunyai kompetensi literasi fungsional dalam arti sesungguhnya yang membutuhkan kesadaran untuk bersikap. Atau, paling tidak, mereka bukan manusia literat dari sudut pandang literasi fungsional. Manusia literat secara fungsional tidak cukup hanya sekadar bisa baca-tulis, tetapi juga bisa memahami, memaknai, dan menerapkan sesuatu yang diliterasi dalam perilaku kehidupan. Oleh karena itu, pembelajaran literasi di sekolah harus sampai pada literasi fungsional.
Kenyataan menunjukkan bahwa dalam uji kompetensi siswa Indonesia lewat PIRLS dan PISA masih rendah, masih di bawah rata, dan kalah jauh dengan anak-anak sebayanya dari berbagai negara lain (Suryaman, 2015; OECD, 2018). Baik dalam PIRLS maupun PISA ada uji kompetensi membaca, bahkan pada PIRLS ujian itu dikhususkan untuk kompetensi membaca sastra dan mempergunakan informasi lewat bacaan. Hal itu menunjukkan pentingnya kopetensi literasi membaca. Penerapan literasi fungsional dalam pembelajaran sastra paling tidak terkait dengan pemanfaatan dan pemaksimalan fungsi sastra dalam pembentukan karakter. Lewat kerja membaca berbagai teks kesastraan itu diharapkan ada dampak peningkatan kemauan dan kemampuan membaca: kompetensi literasi sastra.
Pembelajaran Literasi Sastra di Era Multiliterasi
Hingga kini masih saja kita sering diganggu pemikiran persoalan klasik: apa pentingnya pembelajaran sastra? Sebagai jawabannya memang ada banyak argumentasi. Namun, jika dikaitkan dengan konteks kehidupan bermasyarakat dewasa ini, yang pertama dan utama urgensi pembelajaran sastra adalah terkait dengan fungsi pragmatik sastra, yaitu untuk memberikan hiburan yang bermanfaat (Horace: sweet and usefull). Masyarakat yang dibanjiri objek digital butuh hiburan untuk menyegarkan kembali jiwanya. Selebihnya, ia juga memunyai andil yang tidak kecil untuk menunjang usaha pendidikan karakter. Kita mesti menyadari bahwa muara akhir pembelajaran sastra adalah masuk di ranah afektif. Selain itu, juga perlu disadari bahwa sastra pun tidak jarang menawarkan sains karena keduanya kadang saling menjalin (Fallon, 2018).
Sastra diyakini mampu menunjang usaha pembentukan kepribadian peserta didik lewat nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sastra anak dipandang penting untuk investasi peradapan. Eksistensi sastra muncul bersamaan dengan kebutuhan primordial manusia: tujuan religius dan pewarisan nilai-nilai. Pada masa lalu pewarisan nilai-nilai terutama dilakukan lewat cerita, maka sastra sengaja dibuat untuk mewariskan (membelajarkan) nilai-nilai. Kemendiknas telah menetapkan 18 nilai karakter yang perlu mendapat penekanan pembelajarannya yang kemudian diperkuat dengan program PPK (Penguatan Pendidikan Karakter) lewat Peraturan Presiden Nomor 87 tahun 2017. Jadi, PPK dimaksudkan untuk memperkuat pendidikan karakter peserta didik melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, olah raga dengan pelibataan dan kerja sama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat sebagai bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (GRNM).
Dengan populernya istilah literai, dalam konteks pembelajaran sastra pun bisa kena dampak: istilah pembelajaran sastra kini dapat disebut dengan pembelajaran kompetensi literasi sastra. Maka, kompetensi literasi sastra berarti kompetensi membaca, memahami, menghayati, mengkritisi, memaknai, memberikan penilaian, mengambil manfaat, sampai menghargai. Kompetensi literasi sastra sama dengan kompetensi apresiasi sastra. Modal dasar utama literasi sastra adalah membaca dan membaca; kemauan membaca. Makna literasi memang telah mengalami perubahan, namun makna pertama—being able to read—tetap saja menjadi yang paling utama.
Akan tetapi, literasi (baca: kemauan membaca) tidak akan tumbuh dengan sendirinya pada diri peserta didik. Fakta menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia dijangkiti penyakit kronis malas membaca, mulai pelajar dan mahasiswa sampai guru dan dosen. Salah satu penyebabnya mungkin ketika mereka masih berstatus bocah tidak dibiasakan membaca. Minat membaca anak dapat ditanam, dipupuk, dan dikembangkan lewat penyediaan bacaan yang menarik. Maka, pembiasaan dan penyediaan bacaan yang menarik merupakan dua kata kunci utama untuk menjadikan masyarakat literat menjadi kenyataan. Lewat pembiasaan berliterasi diharapkan ada dampak positif lain terutama tumbuh dan kembangnya kemauan dan motivasi membaca dan membaca. Untuk mendukung tujuan itu, Kemendikbud (2017) pun telah mengambil kebijakan untuk membiasakan anak-anak membaca tidap hari paling tidak 15 menit. Dengan banyak membaca, serasa “dunia” akan dikuasainya.
Pembiasaan membaca anak-anak harus diimbangi dengan ketersediaan bahan bacaan. Jika tersedia bacaan yang menarik, terbukti minat dan motivasi anak dan orang dewasa pada umumnya) meningkat. Ada contoh kasus menarik di dunia. Jutaan anak remaja dan dewasa, bahkan dewasa, tersihir untuk selalu membaca novel Harry Potter (cerita anak dan remaja tentang dunia sihir). Ketika serial selanjutnya akan mulai dijual (di negara-negara Barat), bahkan sejak sore hari orang telah berbondong antre di depan toko untuk membelinya. Padahal, toko baru buka besok pukul 9.00 (waktu setempat), musim dingin lagi. Dalam satu hari Harry Potter jilid 7 (2007, terakhir, 999 halaman) laku terjual 13.500.000 eksemplar. Demikian juga halnya dengan novel-novel karya Dan Brown dewasa ini yang kehadirannya selalu banyak ditunggu. Hal itu menunjukkan bahwa sebenarnya minat baca masyarakat itu ada; hanya saja dibutuhkan bacaan yang menarik.
Peningkatan kompetensi literasi. Pertanyaan yang menggelitik adalah bagaimanakah pembelajaran sastra di era multiliterasi dewasa ini? Multiliterasi itu menunjukkan bahwa ada banyak hal (konten) yang harus diliterasi yang melibatkan berbagai kompetensi. Konsep multiliterasi muncul sebagai konsekuensi dari beragamnya konten media digital yang “menuntut” diliterasi. Konten media digital yang beragam itu, di dunia pendidikan, dipandang sebagai adanya banyak bahan yang dapat dimanfaatkan yang oleh The New London Group (1996) disebut sebagai multimodal. Kesemua bahan tersebut lebih banyak dihadirkan lewat media digital daripada media cetak konvensional. Oleh karena itu, tugas pertama guru/dosen adalah meningkatkan kompetensi literasi digital peserta didik agar dapat mengakses “bahan ajar” yang “bertaburan” di dalamnya.
Seleksi bahan multimodal. Media digital memang menyediakan bahan konten yang tidak terbatas. Namun, yang harus benar-benar disadari adalah bahwa tidak semua konten (modal, bahan, informasi) tersebut dapat dijadikan bahan pembelajaran. Untuk itu, diperlukan kerja “pendahuluan” yang berwujud seleksi bahan. Kerja mengakses media digital pada umumnya bersifat individual, maka seleksi itu pun mau tidak mau juga lebih bersifat individual. Ada banyak bahan yang harus dihadapi, ditanggapi, dibaca, diseleksi, dikiritisi, dimaknai, diambil manfaatnya, dan lain-lain yang menuntut kompetensi individual. Pada konteks inilah terutama sikap kritif dan reflektif seseorang dibutuhkan. Salah satu cara dan dan langkah yang dapat dilakukan, misalnya, mengikut langkah Kiili (2018) di atas. Oleh karena itu, tugas kedua guru/dosen adalah menanamkan dan mengingkatkan sikap kritis peserta didik agar mau dan mampu menyeleksi bahan yang baik.
Pemanfaat bahan multimodal. Ada begitu beragam konten media digital yang bisa diakses baik yang berupa tulisan, gambar, video, film, dan lain-lain. Berbagai konten tersebut mungkin saja menarik, tetapi sebenarnya belum tentu bermanfaat sehingga perlu dihindari. Atau sebaliknya, kurang menarik (bisa jadi karena tampilan), tetapi baik sehingga perlu dimanfaatkan. Konten-konten tersebut dapat diibaratkan makanan: makanan yang enak dan bergizi; makanan enak, tetapi tidak bergizi; makanan tidak enak, tetapi bergizi; makanan tidak enak dan tidak bergizi. Untuk dapat memilih makanan yang bergizi dan bermanfaat, peserta didik perlu dibimbing, didampingi, dan “dibangunkan” kemampuan kritif dan reflektifnya untuk menyikapi kerja “memilih makanan” tersebut. Maka, Tugas ketiga guru/dosen: membimbing peserta didik untuk memanfaatkan berbagai konten yang baik untuk berbagai keperluan pembelajaran.
Misalnya, membantu dan atau membimbing siswa untuk menemukan karya sastra tertentu, contoh kajian, teori mutakhir, video tertentu lewat Youtube, dan lain-lain termasuk mengakses berbagai artikel yang relevan dan mutakhir. Tugas melakukan penelitian seperti skripsi, tesis, disertasi, dan juga penelitian para dosen akan amat terbantu oleh “melimpahnya” sumber bahan itu. Kini telah terjadi perubahan orientasi pencarian rujukan, yaitu dari buku cetak di toko buku ke jagad maya. Penelitian Bohanon (2015) menunjukkan bahwa pemanfaatan multimodal untuk tugas menulis meningkatkan kompetensi mahasiswa dan hal itu dipengaruhi oleh respons dan ketersediaan suplemen informasi. Penelitian Mumpuni & Nurpratiwiningsih (2018) tentang penulisan teks kreatif dengan berbasis web juga menunjukkan adanya peningkatan kemampuan mahasiswa. Namun, penelitian Lubis (2018) menunjukkan bahwa walau pemanfaatan teknologi digital berdampak positif pada pembelajaran bahasa Inggris, hal itu masih sebatas pada persepsi, terfokus pada tingkat teknis, dan bukan pada ranah komunikatif fungsional dalam proses pembelajaran.
Penyikapan terhadap pesatnya teknologi digital. Dunia teknologi informasi telah demikian pesat sehingga meninggalkan kecepatan dunia pendidikan untuk meresponsnya. Intinya, dunia pendidikan selalu “ketinggalan zaman” dibanding kecepatan perkembangan dunia teknologi. Pertanyaan menggelitik untuk diajukan adalah apa yang harus dilakukan dan bagaimanakah cara melakukannya agar kita tidak terlalu ketinggalan? Untuk menjawab persoalan tersebut, ada beberapa hal yang dapat dikemukakan, antara lain sebagai berikut.
Pertama, segenap sivitas akademika dunia pendidikan harus melek teknologi digital sehingga dapat memanfaatkannya, misalnya untuk mengakses berbagai informasi (baca: ilmu) penting, rujukan penulisan artikel, mengunggah karya tulis, dan lain-lain. Untuk itu, digital library mesti dimanfaatkan secara maksimal.
Kedua, dunia pendidikan mesti mengusahakan dan mengembangkan paradigma baru teknologi pembelajaran. Misalnya, dengan mengembangkan massive open online courses (MOOCs) seperti halnya yang telah dilakukan dikampus-kampus besar di dunia. Intinya, mestilah dikembangkan pembelajaran secara online walau belum berwujud MOOCs. Tetapi, pertemuan tatap muka tetap saja diperlukan yang antara lain untuk menjalin hubungan emosional, sosial-budaya, pendidikan karakter, dan lain-lain. Konferensi, seminar, dan dosen tamu kini dapat dilakukan secara online.
Ketiga, berperan aktif mengunggah berbagai karya tulis penelitian, misalnya lewat berbagai jurnal online. Di perguruan tinggi dosen dan mahasiswa (terutama pascasarjana) pasti memunyai banyak pemikiran atau penelitian yang baik yang perlu dibagikan kepada komunitas keilmuannya secara lebih luas. Hasil karya yang berisi berbagai konsep, pemikiran, inovasi, dan lain-lain yang penting diunggah atau dipublikasikan. Seharusnya, kita tidak hanya menjadi penonton pasif di dunia digital, misalnya hanya membaca dan men-download hasil karya orang saja. Karya-karya terbaik hasil jerih payah segenap sivitas akademika sebaiknya dipublikasikan, tetapi kalau karya itu tidak baik hanya akan menjadi “sampah” digital. Pilih dan tulis penelitian atau karya terbaik untuk dikirim ke jurnal-jurnal bereputasi. Kita perlu menyadari bahwa semakin banyak karya kita yang dimuat di sana, semakin meningkat reputasi kita dan lembaga kita di level nasional dan internasional.
Penutup
Perkembangan teknologi digital begitu cepat melebihi kecepatan dan respons dunia pendidikan. Kini revolusi industri telah masuk ke tahap 4.0 yang terkategorikan sebagai era disruption. Revolusi Industri 4.0 menyebabkan hilangnya banyak pekerjaan konvensional, tetapi sekaligus memunculkan berbagai jenis pekerjaan baru. Jika tuntutan di dunia kerja berubah, penyiapan tenaga kerja juga harus berubah sesuai dengan tuntutan dunia kerja. Hal itu berarti harus ada paradigma baru di dunia pendidikan terutama di dunia akademis perguruan tinggi. Kegiatan pembelajaran di sekolah (kampus) baik pada ranah proses yang harus memanfaatkan kecanggihan teknologi digital maupun pada ranah output pendidikan yang siap berkompetesi di dunia kerja. Pembelajaran literasi sastra pun harus berubah mengikuti perkembangan zaman yang kini dikuasai teknologi digital itu. Fakta yang terjadi tampaknya pembelajaran di dunia pendidikan masih ketinggalan, namun paling tidak kita jangan terlalu ketinggalan.
Daftar Pustaka
Bohannon, Jeanne Law. (2015). Not a Stitch out of Place: Assessing Students’ Attitudes Towards Multimodal Composition, Bellaterra Journal of Teaching Language & Literature, 8(2), 33-47. DOI: https://doi.org/10.5565/rev/jtl3.631.
Fallon, Richard . (2018). Literature Rather Than Science’: Henry Neville Hutchinson (1856-1927) and the Literary Borderlines of Science Writing, Journal of Literature and Science, 11(1), 50-65. JLS 11.1 (2018): 50-65 DOI: 10.12929/jls.11.1.04.
Frankel, Katherine K., Fields, Susan S., Kimball-Veeder, Jessica, Murphy, Caitlin R. (2018). Positioning Adolescents in Literacy Teaching and Learning, Journal of Literacy Rrsearch, 50(4), 446–477. https://doi.org/10.1177/1086296X18802441.
Hasset, Dawnene D., & Cuurwood, Jen Scood. (2009). Theories and Practices of Multimodal Education: the Instructional Dynamics of Picture Book and primary Classroom, The Reading Teacher, 63(4), 270-282. https://eric.ed.gov/?id=EJ866375.
Howick, Jodi & Schmaus, David. (2018). Transitioning from the Reflection-Based Safety Literacy Classroom to the Worksite: The Student Experience, Alberta Journal of Educational Research, Fall 64 (3), https://journalhosting.ucalgary.ca/index.php/ajer/article/view/56337.
Janjic-Watrich, Vera, Wallin, J., Brenna, B. (2009). The cambridge handbook of literacy, David R. Olson & Nancy Torrance (Eds). Books Review, Alberta Journal of Educational Research, Winter, 55(4), 509-563. https://journalhosting.ucalgary.ca/index.php/ajer/article/view/55348.
Kemendikbud, Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah. (2017). Panduan Praktis Gerakan Literasi Sekolah.
Kiili, Carita; Leu, Donald J., Utriainen, Jukka; Coiro, Julie ; Kanniainen, Laura; Tolvanen, Asko; Lohvansuu, Kaisa; & Leppänen, Paavo H. T. (2018). Reading to Learn From Online Information: Modeling the Factor Structure, Journal of Literacy Research, 50(3), 304-334. https://doi.org/10.1177/1086296X18784640.
Lubis, Arif Husein. (2018). ICT Integration in 21st-Century Indonesian English Language Teaching: Myths and Realities, Cakrawala Pendidikan, 37(1), 11-21. https://journal.uny.ac.id/index.php/cp/article/view/16738.
Mills, K.A. (2010). The Multiliteracies Classroom. Bristol: Multilingual Matters.
Mullis, InaV.S., & Martin, Michael O. (2015). PIRLS 2016, Assessment Framework (2nd edition). Internastional Association for for the Evalution of Educational Achievement (IEA).
Moje, Elizabeth Birr. (2015). Doing and Teaching Disciplinary Literacy with Adolescent Learners: A Social and Cultural Enterprise, Harvard Educational Review, 85(2), 254-278. https://doi.org/10.17763/0017-8055.85.2.254.
Mulyana, Slamet. 1956. Peristiwa Bahasa dan Peristiwa Sastra. Bandung: Ganaco.
Mumpuni, Atikah & Nurpratiwiningsih, Laela. (2018). The Development of a Web-Based Learning to Improve of a Creative Writing Ability of PGSD Students, Cakrawala Pendidikan, 37(2), 321-322. DOI: 10.21831/cp.v37i2.20009.
Nurgiyantoro, Burhan. (2017). Stilistika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
OECD. (2013).PISA 2012 Results: What Studens Knows and Can Do, Student Performance Mathematics, Reading and Science (Volume I). PISA, OECD Publishing.
OECD. (2018). PISA 2015 Results in Focus. https://www.oecd.org/pisa/pisa-2015-results-in-focus.pdf.
Peer, W.v., Zyngier, S., & Hakemulder, J . 2007. “Foregrounding: Past, Present, Future”, dalam David L. Hoover, D.L. & Lattig, S. (eds). Stylistic: Prospect & Retrospect. Amsterdam-New York: Rodopi, pp.1-22.
Suryaman, Maman. (2015). Analisis Hasil Belajar Peserta Didik Dalam Literasi Membaca Melalui Studi Internasional (Pirls) 2011, Litera, Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, 14(1), 170-186. https://journal.uny.ac.id/index.php/litera/article/view/4416.
The New London Group. (1996). A Pedagogy of Multiliteracies: Designing Social Futures, Harvard Educational Review, 66(1), 60-93. https://doi.org/10.17763/haer.66.1.17370n67v22j160u.
Dosen idola saya… Tabik Pun….