
Gus Nas Jogja
Alun-Alun Utara Jogja itu kini sepi tanpa suara
Jejak kaki jutaan peziarah itu pun punah dan tanpa tercatat sejarah
Daun-daun beringin jatuh tertiup angin
Pagelaran sepi menyembunyikan rahasia dirinya sendiri
Kucari makna keistimewaan itu kembali
Seorang raja sederhana yang mewakafkan tahtanya untuk rakyat dan demi kedaulatan bangsa
Kenapa hari ini hanya benang kusut yang masih tersisa?
Keistimewaan yang menggantang asap
Bahkan gamelan kyai sekati juga kehilangan gema?
Sumbu imajiner itu sudah kehabisan nyala api bagi dirinya sendiri
Sebab kitab-kitab tua di Museum Sonobudoyo telah memudar marwahnya
Kucari Sabdatama yang mencerahkan kalbu
Tapi yang kutemukan hanya Sabda Raja yang menambah pilu
Kucari Sastra Gending yang menjadi suluh di kegelapan itu
Tapi yang ketemu hanya fatamorgana di segala penjuru
Kukenang kembali kencan pertamaku di Masjid Gede Kauman bersamamu
Tiba-tiba gemuruh istighfar mBah Kyai Darwis kembali berkesiur di relung jantung
Entah kenapa ada yang berkaca-kaca di bola mata
Kesedihan yang begitu perih membentang dan mengharu-biru
Bukankah arah kiblat itu sudah pernah diluruskan dulu?
Kenapa kembali bengkok kini?
Di jalan Kusumanegara
Kuziarahi kuburan Pak Dirman
Jenderal Besar yang bergerilya walau ditandu dan hanya dengan satu paru-paru itu
Kini hanya tinggal nisan berselimut debu
Kemana pejuang tanpa pamrih itu mewariskan cinta dan rindu?
Jenderal berbintang lima yang mati muda
Yang di dadanya selalu tersemat lambang bulan bintang dari tembaga
Tapi namanya seharum galih cendana
Tak jauh dari sana
Berbaring jasad Ki Hadjar Dewantara
Pejuang Panca Dharma dan pendidik bangsa itu telah menajamkan pena jiwanya di Tamansiswa
Kucari makna Tut Wuri Handayani dalam kecerdasan akal budi
Tapi yang kutemukan hanya birokrasi pendidikan yang berliku-liku dan berduri-duri
Kucari jantung hatiku di kota ini
Hamemayu Hayuning Bawono
Sawiji Greget Sengguh Ora Mingkuh
Hanya tinggal romantisme di masa lalu
Membaca Jogja aku kehilangan kata
Kebudayaan macam apa ini?
Peradaban palsu dan penuh basa-basi para priyayi
Iklan-iklan apa saja telah menghapus jejak pujangga
Sampah visual berkibar-kibar sesuka hatinya di seantero kota
Tak ada keluhuran budi yang bisa kupetik di advertensi ini
Inikah yang disebut Jogja berhati nyaman itu?
1 Suro 1442, sesudah Mubeng Beteng dan Tapa Bisu