
Oleh Prof. Suwarsih Madya, M.A., Ph.D.
Dosen FBS dan Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Suyanto.id–Kerja sama luar negeri (KLN) menarik banyak orang karena berbagai alasan, perluasan perspektif dan pengalaman mungkin menjadi alasan kuat. Banyak yang ingin menjalin KLN dengan sebanyak mungkin mitra mancanegara. Akan tetapi, semangat yang tinggi di permulaan, dalam banyak kasus, makin turun seiring dengan berjalannya waktu.
KLN sering saya ibaratkan seperti Sri Gunung, yang berarti indah dari kejauhan tetapi tidak otomatis menarik kalau sudah didekati. Ibaratnya, banyak jalan yang tidak mulus dan bengkok, naik turun, kadang harus melalui tebing terjal. Tanpa motivasi kuat untuk mencapai sesuatu yang jelas, para pelaku akan meredup semangatnya dan akhirnya berhenti.
Saya banyak mengurusi KLN sepanjang berkarier. Walaupun sebenarnya itu bukan cita-cita saya, tetapi takdir telah membawa ke ranah KLN. Menengok ke belakang, tanpa saya sadari, ternyata saya mulai mengembangkan keterampilan berkomunikasi dengan mahasiswa asing sejak sekolah di Australia pada awal tahun 1980-an, ketika menghadapi tantangan untuk membela martabat bangsa.
Saya mulai membangun persahabatan dengan orang-orang asing waktu tinggal di Dunmore Lang College (1981), Robert Menzies College (1982, 1984), dan student housing (1985-1987). Ketiganya merupakan fasilitas tempat tinggal bagi mahasiswa yang jarak tempuhnya hanya lima menit jalan kaki dari dan ke kampus. Di asrama Dunmore Lang dan Robert Menzies College, tinggal banyak mahasiswa dari berbagai negara. Saya sangat berminat berbicara dengan mereka untuk meningkatkan kelancaran bahasa Inggris. Saya juga rajin berbicara dengan penutur asli untuk memperkaya perbendaharaan kata. Ini terkait dengan kedudukan saya sebagai dosen Pendidikan Bahasa Inggris.
Ketika tingal di Dunmore Lang College, saya mendapatkan beberapa pertanyaan yang membuat peasaan campur-aduk, “What part of Bali is Indonesia? What do you eat at home? Do you wear clothes like what you wear here? Saya jengkel karena ternyata Bali lebih terkenal dari Indonesia. Begitu naif dan lucu pertanyaan-pertanyaan tersebut. Akan tetapi, saya perhatikan mereka tulus bertanya.
Dari lontaran sederet pertanyaan itu, saya menyimpulkan bahwa Indonesia kurang dikenal oleh masyarakat Australia. Hal ini membuat saya berpikir keras tentang cara untuk mengenalkannya. Jika mareka kenal Indonesia, saya yakin akan bisa diajak komunikasi karena mereka menghargai Indonesia. Salah satu yang saya tempuh adalah memberikan informasi tentang Indonesia. Jadi, saya menganggap diri sebagai duta bangsa. Saya pun harus mengingat kembali pengetahuan tentang Indonesia yang didapat dari sekolah, mulai sejarah, geografi, macam-macam seni, alat musik dan nyanyian, makanan, hingga adat istiadat.
Berbagai hal mulai dilakukan, sebagian besar sendirian, selebihnya bersama mahasiswa Indonesia lainnya. Hal yang saya lakukan sendirian adalah memberikan informasi. Saya kadang-kadang menggambar peta Indonesia, dan si penanya terbelalak matanya. “Wou…, Bali is just a small island in your country then” “Yes, it is,” jawabku sambal tersenyum. Lalu, saya ciptakan suasana yang menumbuhkan rasa ingin tahu mereka tentang Indonesia.
Saya siapkan informasi dengan membaca buku-buku yang kadang dipinjam dari teman-teman di KJRI (saya aktif ikut kegiatan di KJRI untuk mengobati rindu tanah air). Kalau tidak yakin, saya telepon teman-teman yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Lewat obrolan makan pagi, makan siang, atau makan malam, saya berusaha menyampaikan informasi tentang Indonesia dengan strategi pertukaran. Biasanya saya yang mulai dulu bertanya tentang suatu topik yang terkait dengan negara, negara bagian atau kota mereka. Setelah menjawab, mereka akan balik bertanya. Di situlah saya berkesempatan memberikan informasi yang cukup lengkap diselingi lelucon. Dengan demikian, kami menikmati pertukaran informasi yang saling menguntungkan.
Selain itu, saya bersama teman-teman menyelenggarakan beberapa kegiatan untuk mengenalkan Indonesia, salah satunya pentas musik angklung. Saya dahului dengan melatih mareka menyajikan lagu-lagu daerah. Kebetulan ada mahasiswa Indonesia yang bisa main piano juga. Mahasiswa bule pun heran, kok ada orang Indonesia mahir main alat musik barat. Mereka mengira orang Indonesia masih tinggal di hutan dan tidak pakai pakaian seperti yang mereka pernah lihat di selebaran pencarian dana sumbangan. Ada juga mahasiswa yang menyajikan tarian daerah. Segala macam kami tempuh, yang paling mengesankan adalah acara masak setiap Jumat malam. Hal terakhir ini kami lakukan dengan urunan dan mengundang sahabat bule. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengenalkan kuliner.
Di Robert Menzies College, saya mendapatkan pertanyaan yang hampir sama. Pertanyaan yang saya suka adalah “What language do you speak back home?” Setelah dijawab bahwa Indonesia punya lebih dari 500 bahasa daerah, mereka tercengang. Lalu meneruskan pertanyaan mereka, “Do you have your own script?” “Yes, I’ll show you how to write my name in Javanese script.” Saya lalu menulis nama saya dalam huruf Jawa. Mereka mengagumi keindahan tulisan Jawa dan mengapresiasinya sebagai kekayaaan peradaban (meskipun saya kemudian tahu bahwa cara menulis saya ada salahnya).
Hal yang paling menyengat bagi saya adalah pertanyaan “Can you enjoy western music and songs? Do you have western musical instruments such as guitars and pianos? If you do, how many?” Saya balik bertanya, What do you mean by ‘you’ here. Me or …” “I mean you Indonesian people.” “Wou, the whole country…. Thousands of guitars, hundreds on pianos” jawabku agak melebihkan sambil menahan rasa jengkel. Lalu saya dan mahasiswa S1 asal Indonesia, yang kebetulan keturunan etnis Cina, sepakat tampil sebagai vocal group dalam International Night. Saya katakan, harus ada yang mahir main alat musik barat. Maka, digunakan piano oleh Yap, guitar oleh Jong, biola oleh Inge (adik ipar Jaya Suprana), menampilkan dua lagu solo oleh saya sendiri (“Mawar Asuhan Rembulan” karya Bimbo dan “Melati di Tapal Batas” karya Ismail Marzuki) dan lagu “Lilin-lilin Kecil” dinyanyikan bersama. Kami latihan beberapa kali. Singkat cerita, pentas malam itu sangat berhasil.
Saya sangat terkejut dengan dampak penampilan musik malam itu. Pagi sekali saya bangun dan melihat banyak kartu disisipkan di bawah pintu kamar. Hati saya berdebar-debar. Ada apa gerangan? Dengan badan masih letih, saya bangkit mengambil kartu-kartu itu, membacanya satu per satu. Tak terasa air mata saya mengalir, makin deras. Bermacam-macam ungkapan dalam kartu-kartu itu, intinya berisi apresiasinya atas penampilan kami. Mereka pun mengaku mulai tertarik dengan Indonesia. Sebagian besar ingin menjadi teman ngobrol di meja makan agar lebih banyak tahu tentang Indonesia. Saya hanya bisa mengucap Alhamdulillah sambil masih berlinangan air mata. Sejak itu, teman saya menjadi makin banyak dan dari mereka saya menjadi lebih tahu tentang kehidupan mereka. Satu hal yang saya catat adalah mereka menghargai informasi dari tangan pertama.
Setelah itu, ada yang membuat saya sedikit shocked meski berakhir manis. Suatu siang, saya antre untuk makan siang, berdiri persis di belakang direktur asrama. Tiba-tiba dia berbalik dan menyapa ramah.
“Hi, Suwarsih. How are you?”
“Very well, thanks. How are you?”
“I’m fine. Ehm … Suwarsih, could you do us a favour at the Annual Dinner next week?”
“Well it depends. What can I do for your?”
“Something easy for you, Suwarsih. Sing us one or two songs.”
“Oh my God. Are you serious? Of course, I am. But I …”
Sebelum saya selesai, dia memotong, “Please, do not say ‘No’. There will be around 200 people, including prominent figures related to this College.”
Saya sebenarnya bingung, tetapi dia tampak serius sekali. Saya akhirnya menjawab, “Well, it’s an honour for me. Thanks.”
“My pleasure.”
Kebetulan dia sudah sampai tempat makanan, dan setelah mengambilnya, langsung pergi membawanya di nampan menuju meja.
Saya mulai galau. Sambil membawa makanan, saya ngeloyor ke suatu meja. Rupanya ada teman asal Singapore memperhatikan saya.
“What’s the matter, Suwarsih? Any problem? I saw you talking to Bernard. Probably I can help you.”
“You know, he asked to sing at the Annual Dinner next week, with around 200 people coming, including prominent people related to the College.”
“That’s good news. Why do you look so worried?”
“Well, I don’t play any western musical music and …..”
“No problem,” dia menyahut sebelum saya selesai, “I can play the piano for you, but you have to give me the song notation.”
“Notation? I don’t have any, you know.”
“Don’t you know you can buy the notation of every song in Mcaquarie Centre?”
Saya kaget tetapi senang, “No. So I will go there to get them.”
Saya lalu katakan mau menyanyi “My Way” dan “And I Love You So”.
Dia bilang, “That’s a good combination, Suwarsih. One is very powerful and the other soft.”
“Many thanks for accompanying me. When wiil we start our practice?”
“Well, as soon as you’ve got the notations.”
Kami mulai berlatih malam harinya dan beberapa malam selanjutnya.
Saatnya tiba, saya tampil menyanyi di depan para tamu. Saya agak kikuk karena ditatap oleh banyak tamu undangan. Akan tetapi, sudah kepalang basah, saya anggap mereka patung agar bisa konsentrasi. Satu lagu selesai, tepuk tangan panjang terdengar. Kami harus menunggu beberapa menit. Lagu kedua selesai, kembali tepuk tangan dan beberapa bahkan berdiri. Saya terharu, hampir menangis, untung bisa menahan air mata yang mendesak ingin keluar. Sejak itu, sahabat saya tambah banyak dan makin banyak pertukaran informasi lewat obrolan di meja makan.
Satu kegiatan lain yang memperkuat persahabatan antarmahasiswa dari berbagai negara adalah kegiatan olahraga. Keikutsertaan saya berpasangan dengan mahasiswa Vietnam (ganda campuran) dan tunggal dalam Turnamen Tenis Mahasiswa membuahkan penambahan sahabat baru. Saya juga ambil yang nomor tunggal. Dua-duanya pada tingkat pemula. Sebagai pemain tunggal, saya gugur di perempat final, tapi dalam campuran ganda kami juara I. Tambah banyak lagi sahabat mahasiswa mancanegara dan saya makin menikmati pertukaran pengalaman dengan mereka.
Butir-butir pelajaran yang saya petik dari awal merintis KLN adalah (1) pentingnya pengetahuan tentang Indonesia secara umum dan keingintahuan tentang negara lain, (2) potensi seni dan olahraga untuk memfasilitasi komunikasi lintas kebangsaan, (3) potensi kuliner sebagai media persahabatan, (4) pentingnya kemahiran berbahasa Inggris bersama norma aspek sosial budaya membina persahabatan, dan (5) saling membutuhkan dan saling menghormati sebagai kunci keberhasilan membangun persahabatan. Semua ini menjadi bekal upaya sejenis untuk masa selanjutnya. (*)
Terimakasih ilmunya, Prof. Suwarsih Madya juga Prof. Suyanto yang telah memberikan lapangan yang luas untuk menghamparkan gagasan..
Cerita ini sepertinya dahulu sekali pernah disampaikan oleh dosen di FBS, meskipun saya (dari prodi PBSI) tentu tidak diajar secara langsung oleh Beliau…