
Oleh Prof. Suwarsih Madya, M.A., Ph.D.
Dosen FBS dan Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Suyanto.id–Seperti saya katakan pada Bagian 1, membangun KLN memerlukan dukungan pemahaman lintas budaya. Bagi saya, pemahaman lintas budaya itu saya hayati secara bertahap dengan sandungan di sana sini. Saya menjadi lebih paham budaya berpikir orang barat setelah bergaul di luar kampus dengan beberapa pihak. Artinya, saya juga membangun persahabatan dengan mereka melalui kegiatan sosial budaya dalam berbagai kesempatan.
Salah satu kesempatan untuk berinteraksi dengan sahabat mancanegara (baca bule) adalah dalam acara peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia. Biasanya, masyarakat Indonesia yang telah menetap di Sydney dan sekitarnya, dengan dukungan dari KJRI, dan juga bersama mahasiswa Indonesia mengadakan acara seni-budaya–pentas seni, bazar, dan lomba. Kesempatan ini tentu menjadi ajang promosi Indonesia yang cukup efektif.
Dialog tentang Indonesia sering terjadi dan saya paling suka menjawab pertanyaan tentang Indonesia. Salah satu pertanyaannya adalah “Why do you celebrate your independence in August and mention the year 1945 in that backdrop? You got your independence in December 1949, didn’t you?” Saya agak terkejut, tetapi untung saya senang sejarah sehingga saya berusaha secepatnya mengingat-ingat butir perbedaan tersebut.; bagi orang Indonesia, hal itu jarang diperbincangkan dalam acara agustusan. Alhamdulillah saya cepat ingat proses menuju pengakuan PBB pada bulan Desember 1949, yang dipegang oleh masyarakat luar dan itulah yang mereka pelajari dalam pelajaran sejarah mereka. Lalu saya sampaikan bahwa bangsa Indonesia berpegang pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Dwitunggal Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Lalu saya jelaskan tanggal keramat itu dilambangkan dalam jumlah elar (bulu) dalam Garuda Pancasila. Kebetulan saya bawa kartu undangan dari KJRI yang ada Lambang Negara “Garuda”. Mereka manggut-manggut meski masih tampak berpikir.
Dalam acara sosial budaya yang santai, yang tentu saja menjadi selingan menyenangkan bagi kami yang sehari-hari di kampus, orang biasanya bisa menjadi dirinya sendiri, sesuai dengan budayanya. Di sinilah saya baru menyadari bahwa “mengetahui” sesuatu tidak secara otomatis “mengamalkannya ” dalam kehidupan nyata, terutama jika sesuatu itu berkenaan dengan budaya. Saya berkali-kali salah menanggapi semacam pujian. Kenapa berulang-kali salah? Karena orang yang memberi pujian cukup toleran dan justru itu sepertinya kurang membuat saya bertekad untuk mengubah kebiasaan saya. Baru setelah mengalami kejadian yang membuat saya malu penuh penyesalan, saya benar-benar bertekad memperbaiki ucapan saya.
Begini ceritanya. Suatu siang saat acara agustusan, saya duduk bersama dengan beberapa ibu setengah baya warga Australia berkulit putih. Selama menunggu makanan, saya ngobrol sama mereka dan lama-lama kehabisan bahan obrolan dan terdiam semua. Nah, saat pada terdiam itulah, saya melantunkan lagu yang saya suka, tapi dengan suara pelan, yaitu Toselli’s Serenade, sekadar mengisi waktu. Seorang ibu setengah baya (saya belum tahu namanya; dalam budaya barat orang bisa ngobrol banyak tentang hal-hal umum tanpa tahu namanya) memberikan pujian karena suka lagu tersebut dan suara saya, dan yang lain menimpali secara positif mendukung.
Saya kaget dan kelimpungan, karena saya dididik orang tua saya untuk tidak senang dipuji agar tidak lupa diri, dan belum sampai menjawab, salah seorang bilang, “You must have joined a choir or vocal group whatsoever. Is it right? Where do you have your practice here then?” Karena saya benar-benar kaget, saya menjawab sekenanya, “Yeah, I have practice in the bathroom, you know.” Ya Allah, saya “shocked” melihat reaksi ibu itu yang merah padam mukanya dan membuang muka dari saya, terus pergi mengajak teman-temannya.
Saya limbung, hati berdebar-debar, baru menyadari bahwa “I have made a cultural blunder.” Jawaban sekenanya seperti tadi terkesan tidak menghargai dan bahkan bisa menyinggung. Saya berusaha mencari mereka tetapi terlalu terlambat; mereka sudah pergi.
Mestinya, saya menjawab dengan jawaban positif dan penuh rasa terima kasih, misalnya mengatakan, “Thank you very much for your compliment.” Ucapan itu menunjukkan penghargaan atas pendapat positif orang lain, yang di masyarakat barat memang sesuai dengan apa yang mereka pikirkan. Nasi telah menjadi bubur, sesal kemudian tidak berguna. Ya sudah, saya hadapi kenyataan tersebut dengan niat memperbaiki diri.
Sejak itu, saya benar-benar menghayati bagaimana seharusnya menanggapi pujian dari orang lain. Masih ingat bagaimana saya menanggapi tawaran Direktur Asrama untuk menyanyi di Bagian 1? Di situ saya hampir membuat kesalahan juga tapi untungnya cepat ingat apa yang seharusnya daya lakukan secara verbal. Tawaran tampil di Annual Dinner pasti diberikan dengan pertimbangan. Maka, saya akhirnya menangggapinya dengan cara yang tepat. Itu sudah hasil dari kontemplasi saya setelah peristiwa itu (dari Agustus sampai Desember) .
Ada hal lain yang senada, yaitu kesenjangan antarpengetahuan dan penerapannya. Kali ini kesenjangan tersebut berkenaan dengan penggunaan bahasa Inggris sehari-hari, meskipun saya dosen Bahasa Inggris yang sering mengajari mahasiswa. Pengalaman saya memperkuat teori bahwa membudayakan hanya bisa berhasil lewat pembiasaan, bukan hanya sekadar pengetahuan.
Suatu siang, hari Sabtu malam Minggu, saya diundang makan malam keluarga oleh John Hayes dan istrinya, Joan. John Hayes ini seorang dokter gigi senior yang simpati sama Indonesia. Kebetulan seminggu sebelumnya mereka bertemu dengan saya di acara sosial budaya Indobesia dan ngobrol. Mereka geleng-geleng ketika tahu saya punya anak laki-laki yang saya tinggal di Indonesia bersama ayahnya. Mereka cerita bahwa mereka punya beberapa cucu dan salah satunya, Justin, seumuran dengan anak saya. Maka mereka bilang suatu saat akan mempertemukan saya dengan cucunya itu agar bisa sedikit terobati rasa rindu saya sama anak.
Singkat cerita, tiba saatnya saya berada di tengah-tengah keluarga Hayes–dua keluarga anaknya, yaitu David dan Philippe beserta empat anaknya, Christin bersama suami dan dua anaknya. Di situ saya melihat praktik dari pengetahuan yang sudah lama saya miliki. Begitu saya masuk ke rumahnya, bukannya disuruh duduk, tetapi diajak keliling dalam rumahnya, ditunjukkan kamar tidur, perpustakaan, kamar mandi, gudang, dapur, kamar belakang, kamar keluarga, kamar tamu, dan lain-lain.
Saya sempat melihat dua piano, satu di kamar belakang, dan satunya di kamar tamu depan. Rumahnya memang besar sekali. Lalu, saya diajak langsung ke ruang makan dan saya mau duduk di suatu kursi, tapi John bilang, “Wait Suwarsih. That is David’s chair. You have met him before, right? So you should sit beside Christine so that you both can talk to get to know each other.” Ya, saya baru ingat bahwa budaya mereka adalah ngobrol untuk saling tahu lewat tukar pengetahuan, baik pengetahuan pribadi/personal maupun sosial.
Setelah itu, saya ditawari anggur termahal, katanya dibeli khusus untuk menyambutku. Tapi, dengan sopan saya menjawab bahwa sebagai Muslim daya tidak minum anggur, kalau minuman ringan boleh. Yah, John agak kecewa tetapi memahami. Lalu, dia menawari Sprite dan saya jawab, “Yes, thanks.” Langsung Joan, istrinya, menyahut, “Suwarsih, you should have answered Yes, please. If you you refuse, you should say ‘No, thank you.” Saya malu dalam hati, tapi mereka menganggap wajar terjadi kesalahan memilih ungkapan karena saya bukan penutur asli (Saya tidak cerita kalau saya mengajar Bahasa Inggris).
Saya diundang keluarga Hayes secara teratur, rata-rata setiap dua minggu. Kadang-kadang, saya diajak piknik. Saya telah menjadi bagian dari keluarga itu dan pergaulan dengan mereka membantu meningkatkan pemahaman lintas budaya saya.
Suatu hari saat makan siang, John bilang, “Suwarsih, please help me. In fact I have wanted to ask you this question for about two months but I didn’t remember until today. I received a letter from Made, the girl who stayed with us last time. To me she’s a nice and good person. Joan has the same opinion. But upon reading her letter, Joan and I were shocked. We then explored the house to see if things are missing, or broken. But nothing missing or broken.”
Saya lalu memotong, “Sorry John, what made you think that way?”
“O o oh, sorry I haven’t shown you her letter.”
“John, I know it’s a private letter. Just tell me what part of the letter worried so much.”
“You know, Suwarsih, she said, ‘Mr John and Mrs. Joan, please forgive for all my misbehaviour during my stay in your house.”
Mendengar itu ketawa saya pecah tanpa saya sadari. Lalu gantian John dan Joan yang kaget. “Suwarsih, what’s so funny?” Melihat mereka berdua serius, saya menahan tawa saya dan pelan-pelan saya jelaskan bahwa itu budaya orang Indonesia berkomunikasi secara pribadi, yaitu memulai komunikasi dengan minta maaf kalau-kalau ada yang salah.
Mereka tetap tidak mengerti dan saya harus menjelaskan panjang lebar. Akhirnya, mereka paham dan senyumnya berkembang. Ooooh saya lega sekali. Dalam Bahasa Inggris, kalimat pembuka pasti tentang hal-hal positif. Permintaan maaf lazimnya diletakkan pada bagian akhir surat. Itu tentang letaknya. Kesalahan lain dalam kalimat yang membuat John dan Joan kalang kabut adalah pemilihan kata ‘misbehaviour’, yang punya konotasi sangat buruk.
Itulah beberapa butir kultural yang saya pelajari lewat pergaulan saya dengan keluarga Hayes, yang telah membuat saya untuk menghayati dan memraktikkannya demi terbinanya hubungan sosial dan persahabatan dengan masyarakat barat. Ada beberapa lagi cultural blunder yang saya lakukan bersama keluarga Hayes, meski berakibat menyenangkan, tetapi akan saya ceritakan pada artikel berikutnya. (*)