Home Gagasan Ilmiah Populer Membangun Kerja Sama Luar Negeri – Bagian 6

Membangun Kerja Sama Luar Negeri – Bagian 6

0
Membangun Kerja Sama Luar Negeri – Bagian 6
Suwarsih Madya/Foto: FIP UNY

Prof. Suwarsih Madya, M.A., Ph.D.
Dosen FBS dan Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta; Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Bangkok (1995-1999); Kabiro Kerja Sama Luar Negeri dan Humas Depdiknas RI (2003-2005); Kepala Dinas Dikpora DIY (2008-2010); Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Pengembangan UNY (2012-2016)

Suyanto.id–Seperti telah diceritakan sebelumnya, nilai-nilai budaya seseorang dapat terkikis dalam proses pergaulan dengan orang yang budayanya lebih dominan. Dalam kesempatan ini saya akan menyajikan cuplikan-cuplikan peristiwa interaktif yang menyiratkan tentang kuatnya pengaruh lingkungan pergaulan dan pendidikan pada cara berpikir dan sikap orang Indonesia yang menjadi sahabat saya pada tahun 1980-an saat saya belajar di Sydney, Australia.

Di satu sisi, saya menyaksikan orang-orang Indonesia yang  secara tidak sadar terbawa oleh kehidupan dengan budaya setempat, yaitu di Sydney dan sekitarnya. Di sisi lain, ada juga menyaksikan betapa kuatnya pengaruh pendidikan sekolah di Indonesia terhadap rasa kebangsaan mahasiswa asal Indonesia. Menyambung cerita minggu lalu, saya akan mulai tentang perubahan yang terjadi pada seseorang yang sudah lebih dari 10 tahun tinggal di sana.

Sahabat saya sudah cukup lama tinggal di sana, sudah jauh tergiring masuk ke dalam tata nilai masyarakat setempat. Itu merupakan hal yang wajar dan pasti ada sisi baik dan sisi buruknya. Sisi baiknya, terlihat pada cara mengelola waktu, taat aturan dan disiplin, dan cara memanfaatkan informasi untuk membuat keputusan. Butir-butir ini saya jadikan stimulasi untuk melakukan refleksi saya sendiri saat itu untuk tujuan perbaikan diri.




Lewat obrolan dengannya, saya jadi merasa masih harus belajar banyak dalam memanfaatkan waktu meskipun pendorongnya berbeda. Dia bilang senang dengan pepatah “time is money” dan itu dia jalani karena harus berjuang mempertahankan hidupnya di sana sambil sekolah.

Dengan kondisi kehidupan yang penuh tantangan, dia mengaku harus belajar banyak agar bisa bertahan. Kehidupan lingkunganlah yang memaksanya untuk memanfaatkan waktu secara efisien. Maka, meski tuntutan kehidupan berat, dia berhasil memenuhinya lewat bekerja keras dengan cara pandang yang berbeda dari sebelumnya.

Pada awalnya, dia merasa berat juga lantaran cara berpikir bawaan dari Indonesia yang masih mengaitkan jenis pekerjaan dengan status sosial. Sebagai contoh, pekerjaan rumah tangga identik dengan pekerjaan pembantu yang notabene dipandang sebagai kelas rendah. Di sana, kata dia, orang bersikap positif terhadap pekerjaan apa pun selama pekerjaan itu tidak melanggar hukum (dalam bahasa kita halal). Di sinilah proses pergulatan batin terjadi dan dia berhasil keluar dari zona berpikir yang telah terbangun dalam dirinya.

“Bagaimana kamu memenangkan pergulatan batin dan keluar dari zona itu?”

“Sangat sulit pada awalnya lho, Mbak. Akan tetapi, saya amati teman-teman bule di sini, kok enak sekali bekerja sebagai pencuci piring di restoran, pembersih WC di kantor tertentu, padahal orang tuanya kaya.”

“Apakah kamu pernah ngobrol dengan mereka dan menanyakan hal itu?”

“Pernah, dan jawabnya mengejutkan. Mereka mengaku bahwa mereka harus mandiri setelah usia 17 tahun. Mereka bilang tidak mau tergantung sama orang tuanya. Dan mereka cari kos lho, Mbak, padahal rumah orang tuanya besar.”

“Kamu terus merasa banyak temannya, dong.”

“Nah, itu yang membantu saya memenangkan… apa yang Mbak bilang sebagai pergulatan batin itu.”

“Jadi, pekerjaan apa yang pernah kamu jalani?”

“Macam-macam Mbak, sedapatnya, tergantung lowongan, yang dapat dilihat di iklan. Pernah membersihkan WC, house cleaning, pencuci piring di restoran, pokoknya sembaranglah. Ya, lumayan untuk menopang hidup. Kalau dirupiahkan tampak banyak, tapi untuk hidup di sini ya sekadar bertahan dan mendukung kuliah saya.”

“Wah, itu sih lebih dari lumayan lho. Eh… saya jadi ingat. Temanku di Robert Menzies juga cerita sama saya bahwa dia bekerja untuk tiga keluarga sebagai pembersih rumah berkala. Dia kerja hari Senin, Rabu, dan Jumat. Itu semua cukup untuk menopang biaya hidup dan biaya kuliah.”

“Umumnya mahasiswa asli sini begitu, Mbak. Untungnya, mudah cari pekerjaan. Tetapi, memang kedisiplinan harus tinggi. Juga sadar dan taat aturan. Itu termasuk yang saya pelajari. Mau coba, Mbak?”

“Wah… ingin sih, tapi beasiswa saya masih cukup, kok… eh … ehm … maksud saya dicukup-cukupkan. Saya memilih baca buku karena di Indonesia susah cari buku bagus dan baru.”

“Tapi, jangan jadi kutu buku terus, Mbak. Nanti cepat tua, lho.”

“Nggak apa-apa cepat tua, malah berwibawa, nakutin mahasiswanya hehehee.”

Dari obrolan tadi, saya menangkap bahwa nilai-nilai budaya yang bagus juga dapat merasuk ke dalam diri seseorang meskipun pada awalnya lewat paksaan oleh tuntutan hidup. Satu nilai budaya yang lain saya peroleh dari dia, yaitu saat saya agak panik karena khawatir terlambat datang ke acara di rumah kediaman Konsul Jenderal. Dia dengan tenang ambil jadwal bus dan kereta api dan mencermatinya.

“Ini lho, Mbak. Mbak bisa pilih naik kereta atau bus, dua-duanya harus transfer. Tetapi, waktunya masih cukup. Don’t worry too much. Just follow the schedule.”

Saya tersipu-sipu malu… Saya masih belum terbiasa menggunakan jadwal bus dan kereta, apalagi untuk perjalanan lokal. Saya terima jadwal darinya dan akhirnya saya tenang melihat waktu ternyata longgar.

“Di sini mudah sekali, Mbak, membuat rencana perjalanan. Semuanya tertulis dan jadwal selalu diperbaharui. Jadi jadwalnya reliabel. Modalnya membaca saja. Kebanyakan orang naik kereta atau bus untuk pergi ke kantor, praktis dan gak usah mikir parkir. Di Jakarta belum bisa begitu, ya?”

“Belum, mudah-mudahan kelak bisa.”

Apa yang saya peroleh dari sahabat saya tersebut membantu saya dalam penyesuaian diri dengan irama kehidupan di sana, termasuk kehidupan kampus, di mana saya harus berinteraksi dengan banyak mahasiswa dari berbagai negara.

Akan tetapi, saya juga harus menjaga diri untuk tidak terlalu larut dalam cara berpikir yang terlalu berorientasi pada uang dan efisiensi karena saya amati dalam diri sahabat itu orientasi tersebut telah mengikis perhatiannya pada kewajibannya sebagai seorang muslim.

Saya amati dia tidak pernah sholat meskipun banyak sekali berbuat baik untuk sesama dan tampak tahu banyak tentang Islam. Saya pernah tanyakan hal tersebut dan jawabnya enteng sekali, yaitu tidak sempat. Dalam hal ini saya sedih. Sebagai sahabat saya berusaha mempengaruhinya tetapi sulit sekali karena cara berpikirnya sudah berubah. Apa yang terjadi padanya menjadi bahan refleksi juga bagi saya, terutama dalam bergaul dengan mitra mancanegara yang di negaranya berkembang budaya berpikir sekuler.

Kekurangberhasilan berbagai cara yang saya tempuh untuk mengingatkan dia makin meyakinkan saya bahwa memang hidayah sejati hanya dari Allah semata, apakah hidayah itu datang terasa dengan tiba-tiba pada seseorang atau setelah dia berusaha lewat olah pikir dan olah rasa. Yang jelas, hidayah yang telah meresap dalam hati seseorang akan muncul dalam tindakannya. Kesimpulan saya saat itu adalah bahwa hidayah akan diberikan kepada orang yang berusaha. Dengan kesimpulan itu, saya terus berusaha mengingatkan dia lewat obrolan, tentu menunggu suasana yang kondusif.

“Saya lihat kamu itu cerdas banget, banyak pengetahuan, tahu banyaklah. Tetapi ada perkara yang kamu tidak tahu dan tidak pernah akan tahu,” kataku suatu sore ketika kami akan menghadiri undangan pengajian dan biasa, saya nebeng di mobilnya.

“O … ya? Apa itu?” kata dia agak heran.

“Kapan mati,” jawabku.

“Ehhh  iy…ya, betul. Gak ada yang tahu, ya?”

“Itu rahasia Sang Pencipta… dan gak ada rumusnya.”

“Maksud Mbak?”

“Ya gak ada rumusnya kan, apakah orang mati setelah tua, pada umur berapa. Ada yang mati ketika masih bayi, ada yang telah mencapai umur belasan, ada yang sehat tetapi meninggal karena kecelakaan, dan sebagainya.”

“Iya ya, aku gak pernah mikir sampai sejauh itu.”

“Ehm… kalau saya sih berusaha untuk ingat itu sesering mungkin.”

“Kenapa? Apa tidak terganggu dengan mikir begitu?”

“Sama sekali tidak tuh. Itu pendorongku agar tetap menjalankan kewajiban, utamanya sholat fardhu. Kalau tidak ada pendorong kuat, suasana kehidupan di sini kan bisa menyeret kita untuk lupa.”

“Ehm… mungkin itu yang telah terjadi pada saya, ya? Saya dulu rajin lho Mbak, gak pernah bolong. Tapi mbak benar, pada awal saya tinggal di sini saya masih rajin… tetapi gak sadar makin lama makin gak terasa, ya ….”

“Gak terasa apa, ya?”

“Gak terasa telah makin sering meninggalkan sholat dan akhirnya tidak menjalankannya sama sekali. Tapi saya masih bisa adzan, lho, dan kata orang suaraku bagus.”

“Ya itu anugerah. Akan lebih bagus kalau dilengkapi. Have you got my point?”

“Yes. Tapi masih belum mau ini. I’ll think about it.”

Sampai di sini saya belum berhasil meskipun dia sering dengan senang hati ikut pengajian. Saya berusaha menjaga persahabatan agar dapat menariknya kembali ke alam berpikir orang Indonesia, terutama dari segi agama. Sahabat saya itu saya amati sebagai kasus tentang kuatnya pengaruh lingkungan pada karakter seseorang.

Terkait cerita tentang terkikisnya agama seseorang, ada cerita lain yang sedikit menghibur, yaitu hasil penanaman nilai cinta tanah air lewat pendidikan formal yag dialami oleh sekelompok mahasiswa keturunan Tionghoa asal Indonesia yang ambil program S1 di Macquarie University.

Baca juga:   Belajar Berbicara Tanpa Beban

Seperti saya ceritakan terhadulu, saya tinggal di Robert Menzies College (Asrama Mahasiswa) bersama dengan sejumlah mahasiswa S1 keturunan Tionghoa. Sebagai sesama orang Indonesia, kami sangat kompak dan mereka masih memegang norma-norma sosial Indonesia. Mereka menghormati orang yang lebih tua, berbicara sopan, dan banyak mengangkat topik-topik tentang Indonesia. Sangat kentara sekali ikatan kebangsaan kami saat itu sampai-sampai mengundang komentar sahabat saya, mahasiswi asal Singapore.

You, Indonesian people, know one another well, and look like good friends. I’m very impressed. But you belong to different groups, don’t you?”

Saya sebenarnya ingin menjawab, tetapi salah seorang dari mahasiswa keturunan Tionghoa menjawab.

Yes, we’re different but we’re one. That’s Indonesia, you know,” katanya dengan nada ramah, terdengar ada nada kebanggaan.

“You speak different languages, don’t you?”

“Yes and no. Yes, at home we speak different languages. Ibu Suwarsih, for example,  speaks Javanese. Is it right, Ibu?”

“Yes, you’re right. I speak Javanese at home with my family members and my neighbours.”

“And I speak Sundanese because I grew up in West Java.”

“Wait, wait. You’re a Chinese, aren’t you? Why don’t you speak Chinese at home?”

“Ouh, I’m probably the fifth or sixth generation, you know. My parents don’t speak Chinese, either. They can understand people speaking Chinese, but they cannot speak it.”

“How come? Chinese is your ancestor’s language and you don’t care to learn it.”

“Well, we’re Indonesians. So, it’s enough to be able to speak Indonesian and the local language for social communication.”

“By the way, what’s your Chinese name? Do you have any?”

“Sorry, I don’t.”

“What about you?” mahasiswa asal Singapore itu bertanya pada mahasiswa keturunan Tionghoa lainnya.

Me? The same case. I don’t have any Chinese name and I don’t speak Chinese, either.

Ooooouuuu, what a pity! You have to preserve your culture,” kata dia agak ngotot penuh kekecewaan. “You know, in Singapore we still preserve our original culture.

Yes, we know that. But we are different.

Seperti saya ceritakan sebelumnya, meski keturunan Tionghoa, mahasiswa asal Indonesia memiliki rasa ke-Indonesiaan yang cukup tebal. Begitu mendengar ada orang tidak menganggap Indonesia, langsung mereka mengajak tampil mempromosikan Indonesia lewat tampilan vocal group dan berhasil mengubah citra Indonesia.

Saya juga menjadi penasaran tentang faktor yang telah membentuk rasa kebangsaan begitu kuat. Mereka mengaku telah banyak belajar dari beberapa mata pelajaran seperti sejarah dan pendidikan moral Pancasila, meski mereka mengaku pula bahwa pelajarannya mestinya dibuat lebih menarik. Isinya mereka akui sangat bermanfaat karena membekali pengetahuan tentang Indonesia yang telah menumbuhkan rasa ikut memiliki. Ini semua terungkap lewat obrolan pada hari-hari berikutnya. Kebanyakan dari mereka menyatakan ingin pulang.

Di sisi lain, saya terus aktif ikut bergabung pada Perhimpunan Indonesia dan diminta mengurusi penerbitan majalah. Kita masukkan tulisan-tulisan yang menarik. Suatu hari pada bulan September, ada ide untuk menampilkan tokoh yang menjadi saksi hidup untuk pertempuran di Surabaya pada tanggal 10 November 1945. Tokoh tersebut tidak lain adalah Konsul Jenderal RI di Sydney. Saya bertugas mewawancarai. Semua orang Indonesia pasti sudah belajar dari pelajaran sejarah. Tetapi ternyata rasanya sangat berbeda ketika mendengar cerita yang disampaikan oleh salah satu pelaku dengan nada suara penuh semangat. Hasil wawancara saya rangkai menjadi tulisan yang dimuat dalam Buletin Perhimpunan Indonesia.

Dari cerita panjang tersebut, dua hal yang membuat saya sangat terkesan. Pertama, keberanian dua orang tokoh, yaitu Harijono dan Kusno Wibowo, untuk merobek kain biru pada bendera Belanda sehingga tinggal merah putih dan tetap berkibar di tiangnya di depan hotel Yamato (sebelumnya bernama Hotel Oranje dan sekarang menjadi Hotel Majapahit), di Jalan Tunjungan, Surabaya. Suatu tindakan berani sekaligus cerdas dalam membela kemerdekaan yang menjadi hak setiap bangsa, sesuai dengan yang dilambangkan warna merah putih pada bendera Indonesia.

Saya cek buku sejarah, saya baru sadar ternyata pertempuran Surabaya memakan korban lebih dari 15 ribu orang di pihak Indonesia dan sekitar 2 ribu di pihak Belanda/Inggris (tentara Inggris tergabung dalam AFNEI atau Allied Forces Netherlands East Indies dan tentara Belanda dalam NICA atau Netherlands Indies Civil Administration). Terkait dengan korban pihak penjajah ini adalah hal lain yang menarik.

“Tentara Inggris yang terlibat dalam pertempuran kan tampak berkulit hitam,” kata Pak Konjen. “Pada saat itu, turun hujan lebat, mengguyur serdadu musuh yang tergeletak tak bernyawa. You tahu apa yang terjadi?” tanya Pak Konjen sambal ketawa.

“Apa, ya Pak? Menarikkah?” sela saya.

“Itu tentara-tentara berkulit hitam, yang katanya dari Gurka, eh….. kena air hujan…. jadi putih kulitnya.”

“Maksud Bapak? Saya kok jadi bingung.”

“Tidak mengira, kan? Mereka itu yang orang kulit putih, tetapi kulitnya diwarnai dengan arang, bukan cat, agar mudah dihilangkan. Jadi, sebenarnya mereka orang bule juga.”

“Oooo, maaf, saya benar-benar tidak mengira. Sampai segitunya, ya?”

Itulah dua hal yang sangat mengesankan bagi saya dari cerita Pak Konjen tentang Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.

Cerita tentang Pertempuran Surabaya tanggl 10 November 1945, yang dimuat dalam Buletin Perhimpunan Indonesia, dibicarakan luas oleh masyarakat Indonesia yang sudah lama meninggalkan tanah air. Sebagian dari mereka menyatakan bahwa mereka perlu mendapatkan cerita tentang perjuangan agar tetap bisa merasakan arti kemerdekaan.

“Mbak, menulis cerita yang lain, ya, asyik membacanya. Berarti kemerdekaan itu mahal banget, ya? Kalau Australia ini sepertinya belum merdeka, ya? Kan Ratu Inggris masih punya perwakilan di sini?” seorang sahabat bertanya setelah membaca cerita tersebut.

“Yah, kemerdekaan mereka berbeda. Mungkin secara “politis” tidak 100% seperti kita, tetapi mereka menikmati kemerdekaan jenis lain, kemerdekaan mengatur kehidupanan bangsanya sendiri dalam hal budaya, ekonomi, dan politik.”

“Kalau bagi Mbak, arti kemerdekaan itu apa?”

“Pertanyaan anda mengingatkan apa yang dikatakan ayah saya.”

“Apa itu mbak?”

“Ayahku bilang, ‘kamu sekolah, ya, biar tidak dijajah, oleh orang lain, apalagi bangsa lain.’ Jadi kemerdekaan berarti bebas dari penjajahan oleh orang lain.”

“Wou, seperti itu nasihatnya?”

“Iya, dan ketika ada tetangga bilang, ‘Untuk apa sekolah tinggi-tinggi, cari pekerjaan saja susah’, Anda tahu jawaban ayah saya?”

“Apa, apa jawaban Beliau?”

“Ini jawabnya, ‘Yah nganggurnya orang terdidik kan beda, pasti beda. Orang terdidik adalah orang merdeka, yang mampu ngurus dirinya.’ Saya waktu belum terlalu paham juga karena masih belasan tahun.”

“Makasih, Mbak. Saya jadi terinsipirasi bagaimana menasihati anak saya.”

Selain cerita di atas, ada satu cerita yang cukup menarik, yang terkait dengan kepekaan seseorang ketika martabat bangsanya disinggung. Ada seorang sahabat asal Belanda, namanya Henk, yang dulu tertarik untuk ikut misi ke Indonesia karena direkrut oleh Kerajaan Belanda untuk membantu bangsa Indonesia. Namun, dia melarikan diri karena ternyata sampai di Indonesia justru harus memerangi rakyat Indonesia. Maka, dia memilih untuk tingga di Australia, bukan pulang ke Belanda. Dia selalu berusaha menunjukkan keberpihakannya pada Indonesia.

Selama bergaul dengan kami mahasiswa Indonesia, Henk selalu mengkritik negaranya dan menunjukkan simpatinya untuk bangsa Indonesia. Dia rajin mengikuti kegiatan-kegiatan sosial yang diadakan oleh masyarakat Indonesia, seperti kegiatan dalam rangka peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia. Dia juga berusaha mempraktikkan bahasa Indonesia. Dia juga ikut kursus bersama orang-orang Belanda yang lahir di Indonesia dan saya pernah ikut mengajar mereka. Saya bersama teman-teman mahasiswa Indonesia cukup terkesan dengan sikapnya.

Suatu hari saya dan seorang teman kuliah diundang makan malam oleh Henk. Kami bertiga saling berbagi cerita. Karena waktu itu masih dalam suasana peringatan Hari Pahlawan, kami cerita juga peristiwa pertempuran di Surabaya tanggal 10 November 1945. Dia ikut senang bahwa Indonesia bisa mempertahankan kemerdekaannya. Tetapi, di luar dugaan kami, dia sangat tidak suka ketika saya cerita tentang serdadu yang memutih kena guyur air hujan.

No, no,  no……. That story must be wrong. I don’t believe it,” dia menyahut dengan raut muka kecewa agak tegang.

Sorry Henk, I got the story from someone who witnessed it by his own eyes. You can read the story in our bulletin.”

Oh no,” dia menyahut lagi. Singkatnya, dia merasa martabat bangsanya terusik.

I’m so sorry to have made you unhappy. Let’s talk about something else,’ kata saya.

Let’s enjoy our food, instead,” dia berkata dengan tersenyum. Kami meneruskan makan malam kami. Singkatnya, darah kebangsaannya ternyata cukup kental jika berkenaan dengan martabat bangsanya.

Itulah beberapa hal yang memberi saya pelajaran, yang sangat terkait dengan upaya-upaya yang saya lakukan untuk membina kerja sama dengan mitra mancanegara dan juga tugas-tugas yang saya jalani di kemudian hari. Selamat menunggu seri berikutnya. (*)

Bersambung ke bagian 7
Baca bagian 5

Previous article Pengayaan dalam Pembelajaran
Next article Pendidikan Karakter Bangsa dan Penguatan Nilai-Nilai Pancasila di Abad ke-21
Prof. Suwarsih Madya, M.A., Ph.D. adalah Dosen FBS dan Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. Selain itu, dirinya dikenal juga sebagai Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris FBS IKIP Yogyakarta (1993-1995), Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Bangkok (1995-1999), Asisten Direktur Bidang Keuangan dan Kepegawaian Universitas Negeri Yogyakarta (2000-2002), Kepala Biro Kerja Sama Luar Negeri dan Humas Depdiknas RI (2003-2005), Kepala Dinas Dikpora DIY (2008-2010), Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Pengembangan Universitaws Negeri Yogyakarta (2012-2016), dan Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris PPs UNY (2016-2019).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here