Reni Nuryanti, S.Pd., M.A.
Alumni Universitas Negeri Yogyakarta (2006), Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Samudra, Aceh, serta penulis sejarah dan sastra
Suyanto.id–Menulis adalah kerja seluruh tubuh. Ia melibatkan kepala untuk berpikir, mencerna makna, dan mencipta kata-kata. Ia melibatkan isi dada (hati), karena menulis bukan hanya untuk memuaskan akal, tetapi juga mengharmonikan rasa, membangkitkan simpati, dan empati manusia. Menulis adalah kerja dinamis yang menuntut gerak. Menulis adalah kerja menuntaskan rasa ingin tahu yang harus dibarengi proses pencarian hal baru. Tanpa kebaruan, kata-kata hanya tinggal nama. Sebab itu, kebaruan menjadi ‘harga’ yang menentukan kualitas sebuah tulisan, bukan hanya dilihat dari seberapa banyak data yang disuguhkan, tetapi juga tentang cara menuliskannya.
Menulis: sebuah pilihan
Dalam proses, penulis pemula terkadang kalah oleh benturan tantangan. Ia mundur perlahan karena godaan bernama kesulitan atau keterbatasan. Ia bahkan tersungkur oleh bayangan ketidakmampuan. Makin lama, alam bawah sadar makin kreatif mencipta bayangan buruk: Kamu tidak pantas menjadi penulis! Kamu tidak punya bakat menulis! Bahkan lebih fatal diserang ‘virus kebimbangan’: Penulis itu, tidak akan pernah kaya!
Gelombang psikologis bernada pesimistis, terus menghantam penulis pemula, hingga akhirnya mundur teratur. Mereka mengatakan, “Aku cukup menjadi pembaca” sambil memajang alibi, “Ini takdir!” Takdir memang kehendak Yang Maha Kuasa. Namun manusia berperan dalam nasib. Selama masih ada ikhtiar dan doa, manusia tidak berhak memutus cita-cita, yang diperlukan adalah terus berjuang, yang disodorkan adalah keyakinan. Sebab, menulis sejatinya adalah jalan menuju keabadian, demikian kata Pramoedya Ananta Tour.
Antara koin dan poin
Koin bernada rupiah, poin bernada penghargaan. Jangan khawatir, dunia menulis menawarkan keduanya. Syaratnya: konsisten! Selain itu, menulis seperti halnya konsep mencintai: butuh kesabaran dan kesadaran untuk mempertahankan harapan. Dalam menulis, cinta menjadi ruh yang menggelorakan semangat untuk terus berkarya. Sebab dalam mencintai, ada keinginan untuk selalu memberi. Demikian halnya penulis: memberi tulisan terbaik bagi pembaca.
Seorang penulis akan terus bermetamorfosis dalam karya sehingga muncul karya monumental yang menandai eksistensi diri. Lambat laun, namanya akan dihargai. Bukan sekadar sanjungan, tetapi juga realitas rupiah. Meski memang, orientasi rupiah jangan selalu menjadi tujuan utama. Karena bukan itu sebenarnya tujuan mendasar dalam menulis. Hal yang hendaknya ditanamkan adalah: memberi makna bagi pembaca. Karena rupiah hanya soal waktu. Seperti halnya kalimat: usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil. Jadi, terus menulis. Jangan letih menunggu hingga namamu terpatri di hati pembaca. Dari mereka, penulis berbagi bahagia. (*)
Aceh, 25 April 2020