
Oleh Prof. Sutarto HP, M.Sc., Ph.D.
Dosen Pascasarjana PTK Universitas Negeri Yogyakarta dan alumni Comprehensive Vocational Education, Uhio State University, USA
Suyanto.id–Fukuyama, nama lengkapnya Yoshihiro Francis Fukuyama seorang Amerika keturunan Jepang, lahir 27 Oktober 1952 di Hyde Park, Chicago. Dia seorang dosen Political Sciece di Standford University dan salah satu buku best seller nya berjudul “Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity”. Fukuyama (1995: 26) mendifinisikan trust is the expectation that arises within a community of regular, honest, and cooperative behavior, based on commonly shared norms, on the part of other members of that community, yang artinya kira-kira trust adalah harapan bersama yang muncul di suatu masyarakat tentang kebiasaan, kejujuran, perilaku kerjasama, norma-norma yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Menurut Fukuyama, kesamaam harapan-harapan diatas merupakan mutual trust dan menjadi salah satu kunci mencapai kemakmuran masyarakatnya.
Lebih lanjut dijelaskan, kesamaan harapan di atas adalah modal sosial (social capital) yang mempunyai kesamaan fungsi dengan modal fisik (physical capital) dalam menghasilkan kemakmuran suatu masyarakat atau negara. Dalam buku tesebut, Fukuyama mencontohkan Jerman sebagai negara sosial demokrsi dan Jepang dengan agama Shintonya dinilai warga masyarakatnya mempunyai tingkat kesamaan harapan yang tinggi (group-oriented society). Sementara itu, Amerika, Perancis, dan Itali dinilai sebaliknya, yaitu negara di mana warga masyarakatnya cenderung mempunyai tingkat kesamaam harapan tentang norma-norma, cooperatif behavior-nya berorientsi individu (individual-oriented society).
Dalam konteks pandemi Covid-19, Amerika dan Itali kebetulan menduduki rangking atas negara yang terpapar Covid-19, maka dapat dihipotesiskan secara paradoks, teori Trust Fukuyama, yaitu semakin rendah tingkat mutual trust dari suatu masyarakat, semakin tinggi kemungkinan terpapar Covid-19. Dalam masyarakat ini, warganya memiliki persepsi dan harapan yang berbeda-beda. Misalnya, di Amerika sebagian masyarakatnya waktu lalu sibuk menyalahkan China sebagai sumber virus dari pada memprotek dirinya terhadap serangan virusnya. Di Italia, ada pemberitaan yang warganya tetap mendatangi tempat-tempat keramaian. Sewaktu pasien yang terpapar virus tidak dapat diakomodasi di ruang-ruang rumah sakit dan mereka terpaksa antre sampai di selasar dan di halaman rumah sakit, mereka masih saling menyalahkan bebagai pihak.
Indonesia yang masyarakatnya memiliki basis gotong royong (paguyuban), semestinya masuk dalam katagori group-oriented society, namun dalam prakteknya penulis menilai tidak sepenuhnya begitu. Teori memang harus selalu/perlu hitam-putih untuk memudahkan memahami konsepnya, tetapi dalam praktik di lapangan, kenyataannya sangat jadi bisa abu-abu. Dalam konteks, Covid-19, di masyarakat kita Indonesia, masih sering terjadi perbedaan bahkan saling membenarkan diri, misalnya virus corona hanya menyerang orang-orang kaya, yang rumah dan kantornya ber-AC dan tidak akan menyerang orang miskin. Perawat yang meninggal karena terpapar Covid-19 sudah dikafani secara prosedur medis ditolak masyarakat untuk dimakamkan di desanya. Lebih rumit lagi bila nilai dan norma tersebut sudah masuk pada keyakinan agama, misalnya Covid-19 tidak akan menyerang rumah ibadah, tidak menyerang orang yang imannya tinggi atau orang suci, virus ini hanya akan menyasar tempat-tempat dugem dan orang-orang yang bayak melakukan dosa.
Sebagai konklusi deskripsi di atas, semakin tinggi tingkat kesamaan harapan (mutual trust) dari sautu masyarakat, maka akan semakin tinggi kualitas modal sosialnya dan akan semakin tinggi keberhasilannya dalam menghalau Covid-19. Semoga masyarakat kita di Indonesia sedang dalam fase mewujudkan tingkat mutual trust yang tinggi untuk menghalau Covid-19. Tentu kita perlu melakukan ikhtiar dan berdoa sehingga teori Fukuyama di atas menjadi kenyataan “Mutual Trust hadir, Corona berakhir”. Aamiin 3x ya robbil ‘alamin. (*)
Apakah trust berkorelasi dengan tingkat keyakinan (believe) terhadap ajaran agamanya?
Kalau tadi disinggung ada asumsi covid-19 tidak akan menyerang orang yang berada dalam tempat peribadatan, tetapi mengapa peserta tabligh masih ada yang terpapar covid-19.
Bagaimana pendapat Profesor ?