Indonesia:
Seni Sebagai Mitigasi Erupsi dan Penguat Daya Imun di Era Pandemi
Hanya satu bumi yang kita tempati, karena itu wajib kita pelihara dan kita makmurkan
bersama hingga mati.
Begitulah narasi budaya yang diwartakan pada Pameran Seni Rupa kali ini. Sebuah
pameran patung dan lukisan yang diselenggarakan bersama untuk menandai berakhirnya
tahun kembar yang dihadiri pandemi yang menyibukkan seluruh manusia di muka bumi,
tak terkecuali negara-negara maju yang konon canggih di bidang sains dan teknologi, tapi
tiba-tiba tak berdaya melawan virus super kerdil bernama Covid-19 ini.
Tahun 2020 yang juga seringkali disebut tahun kembar ini, dalam puisi yang saya tulis
beberapa waktu lalu bermakna “Orkestra Peradaban”. Kenapa? Sebab hiruk-pikuk manusia di seluruh muka bumi ini menjadi sebegitu riuh dan menciptakan suasana musikal yang penuh gegap-gempita dalam irama yang menggetarkan semesta.
Sejenak mari kita simak puisi yang saya tulis pada pertengahan tahun 2020 ini:
Orkestra Peradaban
Pandemi hadir tanpa mengetuk pintu, dan tak ada negara semaju apa pun di seluruh
dunia yang tak dibuat porak-poranda olehnya.
Kemajuan ilmu kesehatan, megah dan canggihnya laboratorium ilmu biologi molekuler, serta kecepatan teknologi digital dan revolusionernya senjata kimia dan biologi dikembangkan, semua itu seketika lumpuh berhadapan dengan Covid-19 yang konon dari seekor kelelawar di Wuhan.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan peradaban manusia hari ini? 75 tahun sesudah bom atom dijatuhkan di Heroshima dan Nagasaki, sesudah berbagai belahan dunia luluh-lantak oleh Perang Dunia II, sesudah Blok Barat dan Blok Timur terkonsentrasi oleh Perang Dingin, dilanjutkan munculnya Glasnost dan Perestroika di Soviet era Gorbachev, serta kehadiran Silicon Valley di Amerika yang merasa gagah dengan smartphone dan kecanggihan 4G, lalu tampilnya Huawae dari China yang membuat dunia terkesima melalui teknologi telekomunikasi 5G yang tingkat kecerdasan buatannya konon melampaui otak manusia.
Alvin Toffler dan para futurolog dunia tak pernah membayangkan akan terjadinya perubahan secepat ini. Seluruh bangsa-bangsa besar di dunia seakan menjadi terkesan lamban saat Covid-19 datang dan memaksa mereka melakukan lockdown yang bermakna
mengistirahatkan segala gerak manusia.
Manusia menjadi makhluk kadaluwarsa, makhluk yang kehilangan kegagahan dan sekaligus kepongahannya, makhluk yang dipertanyakan kembali segala kecerdasannya. Manusia sudah menjadi makhluk yang usang, yang rapuh, yang kerdil dan tak berdaya. Otak dan kecerdasan manusia seakan sudah menjadi benda museum, dan jutaan buku yang menumpuk di perpustakaan sudah menjelma benda cagar budaya yang kehilangan energi untuk menjawab segala perubahan yang datang bersama pandemi.
Strategi militer, perang dagang dan segala jenis konspirasi di dunia intelijen sudah tidak relevan untuk menjawab tantangan hari esok.
Tiba-tiba saya teringat sebuah slogan:
To improve is to change
To be perfect is to cange often
Sudah siapkah manusia berubah? Saat besok pagi terjaga dari tidur dan ada makhluk baru di sekeliling kita? Bukan hanya matahari yang sama yang akan terbit esok hari, tapi bumi dan langit yang baru. Alam dan ekosistem kebudayaan dan peradaban yang baru.
Mungkin esok atau lusa, kita akan bertemu dengan Baby Universe, akan memasuki zona Black Hole, dengan tatanan dunia baru yang tak pernah kita bayangkan.
Bisa jadi manusia hanya sebatas zombie, atau perangkat keras yang membutuhkan koneksi dengan big data, robot yang langsung terhubung dengan jaringan chip yang di handle oleh invisible hand.
Atau sebaliknya. Besok atau lusa, akan ada badai matahari atau perang nuklir yang akan mengubur segala perangkat lunak teknologi canggih, memusnahkan internet, dan membuat manusia kembali ke zaman purba.
Itulah pikiran yang menggelayuti otak saya hari-hari ini. Menyiapkan lompatan berpikir futuristis tanpa mengabaikan kapasitas budi pekerti di dalam diri. Yang pasti, akan ada perubahan sidik jari peradaban dan kebudayaan di muka bumi, yang akan menggugat sistem pendidikan dan lembaga agama kapan saja dan dimana saja, untuk memberi makna.
Membaca Merapi
Dalam memori batin kolektif manusia Jawa, membaca makrifat Merapi merupakan satu kesekaligusan antara ritual meruwat bumi dan kerja keras merawat dan melestarikan alam. Merenungkan kembali antara eko-sentris, antroposentris dan teo-sentris dalam tata-kelola kecerdasan akal pikir, olah rasa kebatinan dan gerak dzikir sang aku manusia.
Berkali-kali gunung Merapi mengalami erupsi, memuntahkan laharnya dan menyemburkan jutaan metrik ton abu ke segala penjuru. Gunung Merapi menjadi paradoks antara kesuburan dan kehancuran, antara berkah dan musibah, antara cinta dan luka. Karena itulah Pameran Seni Rupa bertajuk Membaca Makrifat Merapi ini tak cuma sekadar pamer berbagai karya seni rupa, melainkan menjadikannya semacam doa, menunduk sejenak untuk mengheningkan cipta, memulihkan kembali energi yang terbuang sia-sia karena prasangka buruk dan kebencian kita pada sesama manusia, alam semesta dan pada Tuhan Sang Maha Bijaksana.
Makrifat adalah puncak filsafat, titik-temu ilmu dan teori, pencapaian pengetahuan dan kedalaman teologi. Gunung adalah gunung, tapi sejarah panjang Merapi telah melahirkan kisah-kisah indah berupa karya seni, termasuk puisi, lukisan, patung, koreografi tari dan telaah ilmiah berbagai ilmu pengetahuan, seperti geologi, geografi, geomorfologi serta berbagai ilmu kebumian dan kegunung-apian lainnya.
Manusia-manusia yang berdiam di seputar gunung punya cara sendiri untuk membaca, mendengarkan dan berbicara pada gunung di tempat ia berada. Intuisi dan ekspresi yang dimiliki dimiliki oleh manusia, baik petani, peternak atau pekerja seni yang berada di seputar gunung itu sudah pasti berbeda dengan manusia-manusia yang tinggal di kota dan selalu sibuk belanja.
Mitigasi Sejati
Covid-19 adalah bencana kemanusiaan dan ditetapkan sebagai pandemi oleh WHO dalam skala besar di muka bumi, sedangkan erupsi gunung Merapi adalah bencana alam dan kemanusiaan di bumi Jawa, khususnya DIY dan Jawa Tengah.
Para seniman tak hanya menjadi penonton saja menghadapi berbagai gerak alam tersebut. Mereka menyimak dengan segenap indera yang dimilikinya, mengolah dalam ruang-ruang imajinasi dan menuangkannya dalam aneka macam karya bermakna. Ada tipikal seniman soliter yang memperlakukan dan menempatkan karya seni sebagai proses kreatif dalam ruang privatnya, tapi banyak seniman tipikal solider yang berkarya untuk berbagi dan memberikan manfaat bagi sesama.
Dalam pameran kali ini kita menghadirkan para seniman tipikal solider yang ingin mengisi ruang-ruang kosong di era pandemi, berkarya untuk berbagi, menebar virus kreatif sebagai mitigasi bagi tumbuhnya energi baru gotongroyong dalam bingkai kebhinekaan Indonesia. Seni sebagai vaksin dan sekaligus menjadi injeksi ruhaniah dan batiniah untuk imunisasi jasmani dan ragawi manusia.
Kehadiran pematung Yusman dengan berbagai karyanya, lalu Budi Ubrux, D. Zawawi Imron, Kartika Affandi, Arahmaiani, Rukmini Affandi, Nasirun, GM. Sidarta, Jeihan Sukmantoro, Abe Santosa, Mahdi Al-Habsi, serta sejumlah pelukis yang memiliki reputasi tinggi dengan karya-karya lukisnya tersebut diharapkan menjadi sinyal penting bahwa seni tak akan mati di era pandemi maupun saat ada erupsi Merapi.
Lebih dari itu, dengan tulus dan kecintaan pada kemanusiaan, seni akan hadir untuk berbagi, utamanya pada para seniman tradisional yang sudah sepuh dan tak terjangkau oleh anggaran pendapatan belanja negara maupun anggaran pendapatan belanja daerah dimana mereka berada.
Seni tak pernah mati dan gentar melawan pandemi. Seni akan terus menyala saat erupsi dan guguran lava pijar Merapi dalam status siaga. Begitulah maklumat yang ingin diwartakan dalam pameran ini, sebuah pameran seni rupa bermarwah multikultural yang diselenggarakan secara gotong-royong oleh segenap komponen bangsa, mereka adalah Tidar Heritage Foundation, Desa Kebangsaan Ilmu Giri, President University Cikarang, Jababeka, Studio Patung Yusman, Omah Watu Sawangan, Borobudur Golf Magelang, Kanaya dan para seniman ternama lain.
Pameran Seni Rupa Bersama ini juga akan menjadi doa di penghujung tahun, dibuka tanggal 7 Desember dan akan ditutup pada tanggal 7 Januari, dikandung maksud agar bangsa Indonesia pada umumnya dan masyarakat DIY dan Jawa Tengah pada khususnya, selalu mendapat limpahan pitulungan, perlindungan dan bangkit bersama menyongsong zaman baru yang lebih bermutu, berkeadilan, berkeadaban dalam bingkai kebhinekaan Indonesia yang berkemakmuran.
Gus Nas Jogja
Kurator dan Penanggungjawab
English:
Art as a Mitigation for Eruption and Immune Booster in Pandemic Era
We only have one earth to live in. Thus, it is a must for us to preserve it until the
end of our lives.
This cultural narrative was proclaimed at this Fine Art Exhibition. The simultaneous
sculpture and painting exhibitions marked the end of the twin years where
pandemic occurred, making all people busy about it, including developed countries
despite their advanced science and technology. All of them became helpless all of
sudden in dealing with a super dwarf virus called This Covid-19.
The year 2020, which is also often called the twin years, is a year I mentioned in
a poem that I wrote “Orchestra of Civilization”. The hustle and bustle of humans
all over the earth has become boisterous, resembling a musical atmosphere that
is full of beats and rhythm that shake the universe.
For just a while, let us read the poem that I wrote in the middle of year 2020.
The Orchestra of Civilization
The pandemic hit without permission. There is no single country that is not
impacted by it.
The advancement of health science, the magnificent and sophisticated molecular
biology science laboratories, as well as the speed with which digital technology
and revolutionary chemical and biological weapons could not fight against the
Covid-19 virus which was first transmitted by bats in Wuhan.
What’s with human civilization today? 75 years after the atomic bombs were hit
Heroshima and Nagasaki, after parts of the world were destroyed by World War
II, after the Western and Eastern Blocks were involved in the Cold War, followed
by the emergence of Glasnost and Perestroika in the Gorbachev era of Soviet, as well as the Silicon Valley phenomena in America that made us dashing with smartphones and the
sophistication of 4G, then the Huawei phenomena from China with its telecommunications technology and human-like artificial intelligence that got us all amazed.
Alvin Toffler and the futurologists of the world had never imagined such changes would happen this fast. All great nations in the world were freeze as Covid-19 forced them to lock their area down, silencing all human movements.
Humans became worn out creatures, the creatures that lost their strength and arrogance, the creatures whose ingenuity is being questioned.
Humans become weak, brittle and belittled. Their brain and smartness are now left behind, millions of books have lost their energy to cope with changes that come way too fast with the pandemic.
Military strategies, trade wars and all kinds of conspiracy are no longer relevant to guarantee the bright tomorrow.
I remember a tag line:
To improve is to change
To be perfect is to change often
The same sun that will rise tomorrow as well
as new earth and sky. As well as nature and
ecosystems of new cultures and civilizations.
Maybe tomorrow or the day after, we will find a Baby Universe that will get into the Black Hole zone, with a new world order that we never imagined before. Are we ready to change? When tomorrow morning arises and new creatures are around us?
We might be just zombies or had devices that need big data connection, robots that are installed with chips handled by invisible hand.
Or the other way round. Tomorrow or the day after, solar strike or nuclear war might burn down all the sophisticated software, burning down the internet and bringing the humans back to the old life.
Those thoughts keep running through my brain these days. Preparing for a futuristic thinking leap without neglecting the moral capacity within. It is certain, there will be changes in the fingerprints of civilization and culture on earth, demanding the education system and religious institutions to give them meaning.
Reading the Merapi
In Javaneses’ inner memory, reading Merapi’s narrative is serious ritual of preserving he earth and the hard work of caring for and preserving the nature. Reflecting back between eco-centric, anthropo-centric and theo-centric, mystical feeling and dhikr of the human are finely managed.
Mount Merapi has repeatedly erupted, spewed lava and spewed millions of metric tons of ash everywhere. Mount Merapi is a paradox between fertility and destruction, between blessings and calamities, between love and injury. That is why the Fine Art Exhibition entitled Reading Makrifat of Merapi is not merely exhibiting the works of art, but also the prayer. The prayer that let us be for a moment, in a moment of silence, restoring the energy that was wasted from prejudice and hatred towards fellow humans, the universe and to God the Most Wise.
Makrifat is the pinnacle of philosophy, the equilibrium of science and theory, the attainment
of knowledge and the depth of theology. Mountains are mountains, but Merapi’s long history has brought beautiful stories though works of art, including poetry, paintings, sculpture, dance choreography and scientific studies of fields of sciences, such as geology, geography, geomorphology and other earth and volcanic sciences.
People living around mountains have their own way of reading, listening and speaking to the mountains. Their intuition and expression, be they farmers, ranchers or art workers around the mountain, are definitely different from those who live in cities busy with shopping.
The True Mitigation
Covid-19 is a humanitarian disaster and is confirmed a pandemic by WHO on a large scale on earth, while the eruption of Mount Merapi is a natural and human disaster on Java, especially Yogyakarta and Central Java.
Artists do not only watch these natural movements. They listen with all the senses they have, cultivating them in the spaces of the imagination and translating them into arty works. Some solitary artists treat and place works of art as a creative process in their private space, but many artists are typical soliders who work to share and benefit others.
In this exhibition, we are presenting typical solider artists who want to fill empty spaces in the pandemic era, work to share, spread creative viruses as a mitigation for the growth of new energy of mutual cooperation in the great diversity in Indonesia. Art is the vaccine and at the same time becomes a spiritual and mental booster.
The presences of sculptors; Yusman with his notable works, Budi Ubrux, D. Zawawi Imron, Kartika Affandi, Arahmaiani, Rukmini Affandi, Nasirun, GM. The presences of Sidarta, Jeihan Sukmantoro, Abe Santosa, Mahdi Al-Habsi, and other painters who have a high reputation are the signals that art will not die out in the pandemic era or during the eruption of Merapi.
Beyond all of it, with a sincere love for humanity, art will be here to share, especially with old traditional artists who never received the state budget and the regional budget aids.
Art never dies and is never afraid of a pandemic. The art will continue to light up during the eruption and lava avalanches of Merapi. This exhibition proclaims this believe, an art exhibition with a multicultural spirit held together by all artists of the nation; Tidar Heritage Foundation, Desa Kebangsaan Ilmu Giri, President University Cikarang, Jababeka, Yusman Sculpture Studio, Omah Watu Sawangan. , Borobudur Golf Magelang, Kanaya and other well-known artists.
This Joint Art Exhibition will also be a prayer at the end of the year, opened on December 7 and will be closed on January 7. Through which prayers for Indonesian people in general and the people of Yogyakarta and Central Java in particular are exhibited to ask the God for abundance help and protection for us to get up and welcome a new era that is better, just, and civil in the framework in our diverse Indonesia.
Gus Nas Jogja
A Curator and Person In-Charge