Prof. Suyanto, Ph.D.
(Guru Besar Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Yogyakarta)
Minggu pertama September 2014, tahun ajaran baru bagi pendidikan tinggi akan dimulai. Oleh karena itu pada minggu terakhir bulan Agustus ini perguruan tinggi akan menyelenggarakan tradisinya berupa program Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (OSPEK).
Dari tahun ke tahun OSPEK selalu membawa banyak cerita dan keluh kesah di kalangan mahasiswa baru. Bahkan OSPEK telah memiliki sejarah hitam karena sempat membawa korban kematian mahasiswa baru di beberapa perguruan tinggi. Sebagai lembaga pendidikan tinggi seharusnya tidak mentolerir adanya bencana kematian seperti itu. Perguruan tinggi harus mampu melindungi para mahasiswa baru dari tingkah laku panitia OSPEK dari unsur mahasiswa yang biasanya melibatkan organisasi intra kemahasiswaan.
Di era global seperti saat ini seharusnya OSPEK di perguruan tinggi dilakukan dengan cara-cara yang lebih mendidik. Jadi perguruan tinggi harus menegakkan prinsip “zero accident” pada program OSPEK. Untuk menjamin hal ini, maka perguruan tinggi jangan sekali-kali melepas begitu saja kegiatan itu di ciptakan dan dikendalikan oleh para mahasiswa senior. Kalau hal itu terjadi, ada peluang yang besar mereka akan membuat agenda kegiatan yang tidak mendidik dan tidak masuk akal. Manajemen perguruan tinggi, terutama jajaran Wakil Rektor bidang kemahasiswaan, harus melakukan kerjasama sinergis dengan lembaga kemahasiswaan penyelenggara OSPEK. Tanpa kerja sama dan pengawasan yang sinergis para mahasiswa senior akan cenderung memberikan program-program yang tidak jelas arah dan tujuannya dengan mnggunakan otoritasnya seara berlebihan.
Faktor warisan program yang berbau perploncoan dari angkatan mahasiswa senior sebelumnya sulit sekali untuk ditiadakan. Masih saja mereka memaksa para mahasiswa baru untuk mengenakan atribut aneh-aneh yang sebenarnya tidak ada relevansinya dengan substansi orientasi studi dan pengenalan kampus. Attribut dan cara berpenampilan aneh aneh bagi mahasiswa baru ini harus dihapuskan. Jika tidak bisa, maka sebenarnya para mahasiswa senior itu berikut organisasi intranya sudah masuk ke dalam kategori kelompok orang dan organisasi yang buta huruf di abat 21.
Menurut Alvin Tofler orang yang buta huruf di abad 21 ialah bukan mereka yang tidak bisa baca – tulis, tetapi adalah mereka yang tidak bisa belajar ha-hal baru, melepaskan atau membuang hasil belajar yang telah usang tak sesuai dengan tuntutan jaman, dan tak bisa lagi belajar kembali setelah lama berhenti belajar (to learn, unlearn, dan relearn). Jadi manakala OSPEK tahun ini masih berjala seperti 10 tahun lalu dengan menggunakan atribut yang aneh-aneh, ada nuanasa perploncoan, ada kegiatan yang mengarah pada “bullying”, jelas bahwa para mahasiswa senior kita itu adalah orangorang kampus yang sebenarnya merupakan orang yag buta huruf abad 21. Kemudian organisasi intranya pun juga termasuk orgnisasi yang tidak mampu memberdayakan para anggotanya dalam mencapai tujuan organisasi. Oleh karenanya organisasi intra seperti ini bukan merupakan “learning organization”
Agar OSPEK tidak menciptakan budaya buta huruf abad 21, maka kegiatan ini harus diberi muatan program dan pendekatan baru yang mengutamakan pada proses penanaman inspirasi dan motivasi untuk berprestasi, motivasi untuk berafiliasi, dan motivasi untuk memimpin dengan cara yang partisipatif dan demokratis. Inspirasi dan motivasi bagi mahasiswa baru sangat vital bagi ketepatan arah dan fokus belajar mereka selama menjadi mahasiswa. Manakala mereka memiliki inspirasi dan motivasi untuk menjadi dirinya yang lebih baik dan produktif, maka cara belajar mereka juga akan terbimbing oleh inspirasi dan motivasinya itu.
Dalam mengembangkan ketiga motivasi tersebut di atas, mahasiswa perlu diperkenalkan dengan persaingan global yang sebentar lagi menghadang kita seperti: AFTA terutama AEC (Asean Economic Community) yang akan berlaku tahun depan. Masyarakat ekonomi Asean ini memiliki paradigma: satu pasar satu produk. Implikasinya mahasiswa harus mengenal medan persaingan, sehingga OSPEK harus mampu memberi inspirasi ke arah perlunya kemampuan untuk bersaing di Masyarakat Ekonomi Asean, bukan sekadar bentak-bentak, nyanyian konyol, dan pemakaian atribut yang tak masuk akal dan tidak mendidik. Semoga tidak begitu.
Tulisan ini terbit pertama di Harian Kedaulatan Rakyat edisi 19 Agustus 2014.