
Hermawan Wahyu Setiadi, M.Pd.
Dosen Prodi PGSD Universitas PGRI Yogyakarta, Kandidat Doktor Dikdas Universitas Negeri Yogyakarta
Kemerdekaan Usia 75 Tahun
Usia kemerdekaan Indonesia sudah mencapai 75 Tahun. Kalau diibaratkan dengan manusia, 75 tahun sudah masuk usia senja. Di usia senja seperti ini seharusnya pembangunan, baik fisik maupun sumber daya manusia (SDM), sudah merata ke seluruh pelosok negeri dan makna kemerdekaan semestinya telah terenyam dari ujung Sabang sampai Merauke.
Akan tetapi, kenyataannya pembangunan banyak berpusat pada satu titik, yakni di Pulau Jawa. Mutu pendidikan di Pulau Jawa sudah sangat bagus, hal ini ditunjang kualitas pengajar yang berkualitas, sarana prasarana pendidikan yang memadai, serta keterbukaan akses informasi. Oleh sebab itu, banyak mahasiswa dari timur memilih menuntut ilmu di Pulau Jawa, salah satu tujuan utamanya adalah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Melihat fakta tersebut, tergelitik untuk bertanya, “mengapa demikian?” Padahal, jika dilihat di daerah timur, juga telah berdiri berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta. Ternyata persoalannya pada kualitas dan motivasi untuk mencari yang terbaik. Lihatlah contoh konkretnya perguruan tinggi negeri unggulan yang dicap bonafide, hampir seluruhnya berada di Pulau Jawa.
Pendidikan Indonesia Timur Versus Indonesia Barat
Pendidikan merupakan salah satu modal yang sangat penting untuk menjalani kehidupan bermasyarakat. Dengan pendidikan, kita bisa memahami berbagai informasi. Pendidikan bukan hanya soal masalah kualitas, namun juga tentang pemerataan. Masih banyak daerah-daerah pelosok di Indonesia Timur yang belum menerima pendidikan yang layak seperti yang dapat tervisualkan pada gambar di bawah ini.


Masalah pelayanan pendidikan di seluruh wilayah Indonesia kerap kali terhambat oleh beberapa faktor, seperti jarak, waktu, SDM, moda transportasi, serta karakterisitk wilayah. Hal ini menjadikan masalah tersendiri untuk meningkatkan pelayanan pendidikan di daerah-daerah tertinggal, terutama di wilayah Indonesia Timur. Selain sarana dan prasarana yang kurang dan belum memadai, kualitas guru dan tenaga pengajar juga dirasa masih belum memadai. Kondisi pendidikan Indonesia Timur sangat memprihatinkan, banyak anak-anak yang putus sekolah.
Berdasarkan data dari Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini Non-Formal dan Informal (PAUDNI), terdapat sekitar 800 ribu anak-anak putus sekolah di kawasan Indonesia Timur. Selain itu, kawasan ini juga masih memiliki angka buta huruf yang tinggi. Bahkan, tiga provinsi dengan persentase penduduk yang buta huruf tertinggi berasal dari provinsi di Indonesia Timur, yaitu Papua (36,31 persen), Nusa Tenggara Barat (16,48 persen), dan Sulawesi Barat (10,33 persen). Selain itu, Nusa Tenggara Timur (10,13%), Gorontalo (5,05%), Sulawesi Tenggara (6,76%), dan Papua Barat (7,35%) presentasi buta hurufnya masih di atas 5%.
Di wilayah Papua, perkembangan pendidikan terbilang paling memprihatinkan di mana rata-rata tingkat pendidikan masyarakat Papua masih rendah. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jika lebih dari 50% anak-anak usia sekolah (3-19 tahun) tidak mendapatkan pendidikan di sekolah.
Minimnya fasilitas masih menjadi faktor utama. Di Papua, masih banyak sekolah yang berdiri seadanya dengan menggunakan tenda dan kursi. Kualitas pengajar yang tersedia juga banyak yang belum kompeten. Sementara itu, di wilayah terpencil Maluku, masih banyak ditemui sekolah dengan kondisi yang memprihatinkan. Faktor prasarana yang buruk serta tenaga pengajar yang kurang masih menjadi penghambat utama.
Di provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), masalah pendidikan terbilang cukup kompleks. Masyarakat di NTB masih belum memahami pentingnya pendidikan bagi anak usia dini. Hal ini mendorong banyaknya anak yang putus sekolah. Para pelajar juga banyak yang enggan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Akibatnya, tercatat sebanyak 417.991 warga NTB menyandang buta aksara atau sekitar 16,48 persen dari total penduduk yang ada.
Hal senada juga terjadi di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT). Masalah SDM yang ada menjadi faktor utama. Tercatat hampir 50 persen dari total 80 ribu guru di NTT hanya memiliki ijazah SMA. Hal ini tentu mempengaruhi mutu pendidikan di NTT. Banyak juga sekolah di kawasan pedesaan yang kekurangan guru dan tenaga pengajar lainnya.
Butuh Sentuhan Pemerintah
Pada dasarnya, potensi anak-anak timur juga besar, tidak kalah dengan anak-anak di Pulau Jawa yang notabene kualitas guru serta sarana dan prasarananya lebih baik. Perkembangan pendidikan diwilayah Indonesia Timur butuh sentuhan. Pemerintah perlu bekerja lebih cermat dan kerja keras untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia Timur agar program “merdeka belajar” serta program pendidikan yang berkualitas dan bermutu bisa dirasakan di kawasan tersebut. (*)