Prof. S. Hamid Hasan, M.A., Ph.D.
Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia, Ketua Tim Pengembang Kurikulum 2013
Suyanto.id–Dalam penilaian hasil belajar, dikenal adanya penilaian non-autentik dan penilaian autentik. Penilaian non-autentik–disebut juga dengan penilaian konvensional–adalah penilaian yang telah menyediakan jawaban sehingga yang perlu dilakukan peserta didik adalah memilih jawaban benar atau yang paling benar di antara jawaban yang tersedia. Bentuk soal objektif seperti pilihan ganda dan menjodohkan adalah bentuk soal non-autentik yang banyak digunakan guru. Bentuk soal objektif diperkenalkan ke dunia pendidikan Indonesia sejak Kurikulum 1975.
Penilaian autentik adalah penilaian yang menghendaki jawaban peserta didik berdasarkan kemampuan yang mereka miliki. Peserta didik tidak akan menemukan jawaban yang tersedia untuk pertanyaan yang diajukan. Pertanyaan yang diajukan terkait dengan permasalahan yang ada dalam kehidupan sehari-hari, bukan yang berasal dari buku teks atau buku lain. Penilaian autentik menghendaki peserta didik menyelesaikan sesuatu yang bukan sudah ada pada buku. Bentuk soal uraian, tugas, lukisan, pameran, ataupun portofolio mewakili kelompok penilaian autentik.
Melalui penilaian autentik, peserta didik harus membangun jawaban masing-masing berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki, kemampuan berpikir dari jenjang meta-kognitif (C1), memahami (C2), sampai jenjang mencipta (C6). Kemampuan berpikir ini digunakan untuk menentukan strategi menjawab, menentukan pengetahuan yang diperlukan untuk menjawab, memilih dan menentukan alternatif prosedur untuk menyelesaikan masalah; mengevaluasi kekuatan sekaligus kelemahan prosedur dan pendekatan serta memilih yang sesuai untuk digunakan menyelesaikan masalah; mengumpulkan informasi tambahan jika diperlukan; mengonstruksi jawaban dengan alur berpikir dan struktur yang jelas atau dalam suatu bentuk karya baru seni, budaya, dan gerakan kinestetik. Melalui suatu permasalahan autentik, peserta didik dapat mengembangkan kesungguhan, ketelitian, serta ketangguhan dalam menyelesaikan masalah.
Penilaian autentik yang membangun kemampuan berpikir tingkat tinggi dikenal dengan istilah HOTS (Higher Order Thinking Skills), sementara yang memanfaatkan kemampuan berpikir tingkat rendah disebut LOTS (Lower Order Thinking Skills). Orientasi penilaian autentik terhadap permasalahan yang ada di kenyataan hidup, membangun kesadaran untuk memberi kepedulian terhadap lingkungan kehidupan sosial, ekonomi, budaya, seni, fisik, dan teknologi yang merupakan suatu yang tak terpisah dengan kehidupan peserta didik. Secara pedagogis, penilaian autentik membangun landasan bahwa belajar adalah untuk digunakan dalam kehidupan keseharian peserta didik, bukan membangun tembok sekolah yang imun terhadap sumber asli pengetahuan, yaitu kehidupan manusia.
Kosekuensi penilaian autentik adalah guru harus bekerja lebih keras, memperhatikan masalah kehidupan di sekitarnya, mengembangkan soal untuk penilaian, dan memeriksa jawaban peserta didik yang belum tersedia melalui program komputer atau pun dapat dilakukan orang lain yang tidak paham materi yang dipersoalkan dalam penilaian autentik. Kesabaran dan kepedulian terhadap hasil belajar peserta didik yang lebih baik merupakan kepuasaan dan kebanggaan guru. Dalam penilaian autentik ini, kedudukan guru menjadi semakin penting. (*)
Penilaian autentik bukan sekedar jika permasalahan yang diajukan adalah permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dan jika levelnya HOTS. Penilaian autentik juga dimaknai bukan penilaian yang didasarkan pada ulangan/ujian yang sudah dikenal sebagai penilaian konvensional sehingga penilaiannya tidak lagi mengandalkan hasil ulangan meskipun soal2xnya sudah menunjukkan level HOTS. Oleh karena itu ada yang menyebutnya sebagai penilaian alternatif misalnya didasarkan kepada apa yang riil dikerjakan selama pembelajaran. Dengan demikian, guru harus terus mendampingi agar supaya tidak terjadi kesalahan selama murid belajar.