Home Budaya Perempuan, Rahim, dan “Perlombaan” Memiliki Anak

Perempuan, Rahim, dan “Perlombaan” Memiliki Anak

0
Perempuan, Rahim, dan “Perlombaan” Memiliki Anak

Awanis Akalili S.I.P., M.A.
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta

“Menikah lama, kok tidak memiliki anak.”

“Baru juga satu, tambah lagi dong.”

Kemarin kan anak perempuan, yang kali ini harus laki-laki dong, ya.”

Ayo isi bersama, saya menuju dua, nih.”

“Mengapa anak Anda hanya satu? Saya saja sudah menuju dua.”

“Ia tak berbahagia karena tak memiliki anak.”

Sejak kapan memiliki anak menjadi ajang perlombaan? Bila indikator kebahagiaan menikah diukur dengan jumlah anak, bagaimana dengan nasib pasangan suami istri yang mengalami kendala biologis sehingga menyebabkan mereka sukar mendapatkan anak? Tidakkah menyakitkan bila anak menjadi subjek yang justru membuat beberapa pasangan suami istri tertekan?

Hidup terkadang memaksa kita untuk membahagiakan orang lain demi bertahan di lingkungan yang menuntut ini-itu. Perempuan sebagai subjek yang berhak atas otoritas tubuhnya melalui rahim, diatur sedemikian rupa. Kebahagiaan dunia pernikahan kerap kali diukur dengan hadirnya anak di tengah-tengah suami dan istri. Tentu, memiliki anak, menunda, bahkan memilih untuk menghabiskan hari-hari bahagia sebagai pasangan suami-istri ialah pilihan. Namun, mengapa seakan-akan (beberapa) orang sibuk mempermasalahkan jumlah anak?



Dengan kondisi-kondisi tertentu, ditambah lagi tuntutan kehidupan yang semakin kompleks, masihkah narasi banyak anak banyak rezekirelevan? Memiliki banyak anak, pun ialah pilihan, hanya saja yang menjadi masalah utama ialah narasi perlombaan anak dan sindiran bagi beberapa orang dengan kondisi belum memiliki anak.

Perkataan verbal secara langsung maupun komentar-komentar yang ditinggalkan di media sosial kerap kali membuat individu overthinking. Bila ingin bersikap cuek saja, kadang lingkungan akan menilainya sebagai “jangan baperan (baper: bawa perasaan) kan hanya bertanya/menasehati”. Tak jarang, beberapa orang yang mengalami overthinking karena tekanan-tekanan kultur tersebut memilih untuk menonaktifkan sementara media sosial, menyendiri dan menghindari topik-topik yang kiranya dapat menyakiti perasaan.

Selain overthingking, depresi juga kerap menimpa pasangan suami-istri, terlebih bagi pihak perempuan. Stres yang dialami oleh perempuan terkait dengan masalah pernikahan dan kehamilan tak lepas dari konstruksi gender yang berkembang (Lafrance, 2009:174). Sebagai contoh, perempuan yang sudah menikah ialah juga perempuan yang memberikan anak bagi pasangannya.

Perempuan sebagai individu pemilik rahim memiliki hak atas kebebasan memilih untuk memiliki anak atau belum. Namun narasi “mayoritas” tidak pernah puas dengan hadirnya anak, anak masih satu, atau anak berjenis kelamin yang sama (misalnya sudah memiliki 2 anak, tetapi semua laki-laki atau perempuan). “Loh, anak pertama dan kedua sudah laki-laki, ayo-ayo nambah lagi, yang ketiga perempuan”. Lalu yang menjadi pertanyaan selanjutnya ialah: Syukur jika memang yang diharapkan itu hadir, bila tidak?

Baca juga:   Saya Tahu Anda, Anda Tahu Saya

Konstruksi “kebahagiaan pernikahan” dengan hadirnya anak sering meminggirkan kondisi menyakitkan beberapa kehidupan suami-istri yang mungkin mengalami kendala genetis, sehingga membuat mereka belum mendapatkan anak. Memilih untuk adopsi anak, juga ternyata tidak cukup menyelesaikan masalah. Padahal, kita tidak pernah tahu alasan dibalik keputusan untuk menunda memiliki anak, mengadopsi anak, atau justru memilih menghabiskan masa tua bersama pasangannya.

Kehamilan mungkin saja menjadi impian yang didambakan oleh perempuan. Pengalaman untuk mengandung bisa jadi merupakan rasa yang tak mungkin bisa digambarkan dan diceritakan dalam rangkaian kata. Hanya saja, proses tersebut tidak selalu dialami oleh semua perempuan. Bahasan mengenai kehamilan, perempuan diharapkan menjadi ibu, hingga upaya-upaya reproduksi dengan bantuan teknologi diulas dalam karya Rosemarie Putnam Tong (2010) berjudul Feminist Thought. Beberapa perempuan yang mengalami kesulitan hamil, mendatangi klinik hingga memilih untuk mengadopsi anak karena masyarakat tetap mendefinisikan ibu sebagai seseorang yang secara genetik dan sosial terikat oleh anak (Tong, 2010:112).

Tubuh perempuan menjadi satu bagian yang dipertarungkan dalam konstruksi gender, di mana tubuh perempuan atau dalam konteks ini istri “sempurna” ialah mereka yang telah mengalami perjalanan mengandung dan melahirkan. Pada dasarnya perempuan memiliki hak atas tubuh yang ia miliki. Hamil atau menunda adalah pilihannya, tentu dibersamai dengan kesepakatan bersama pasangan. Namun, tekanan sosial selalu menjadi cobaan di tengah mulusnya perjalanan hidup. Tuntutan untuk “yuk hamil lagi” atau “saya sudah isi, padahal saya menikah duluan dibanding Anda, kok Anda masih belum isi,” seakan menjadi ajakan dan pertanyaan sensitif bagi beberapa perempuan.

Anak bukanlah subjek perlombaan dan perempuan memiliki hak atas rahim yang ia miliki. Kebahagiaan pernikahan tidak selalu dilihat dari hadirnya anak, tetapi sayangnya narasi mayoritas kerap kali mengorelasikan kehidupan pernikahan, kebahagiaan, dan anak. Sebagai penutup, teruntuk pada pasangan suami-istri di luar sana yang mungkin berkendala dalam memiliki anak, tak perlu sedih dan berbahagialah dengan cara kalian masing-masing.

Bahan Bacaan

Lafrance, Michelle N. 2009. Women and Depression: Recovery and Resistence. New York: Routledge

Tong, Rosemarie Putnam. 2010. Feminist Thought Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here