Home Pendidikan Penilaian dan Evaluasi Persoalan Multikultural dalam Pelaksanaan AKM

Persoalan Multikultural dalam Pelaksanaan AKM

0
Persoalan Multikultural dalam Pelaksanaan AKM

Farhan Ferian
Mahasiswa Pendidikan IPS Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta

Suyanto.id–Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia baru-baru ini mengeluarkan gagasan Merdeka Belajar dengan mengubah USBN, UN, RPP, dan PPDB. Dengan pengubahan tersebut, penilaian akhir di Indonesia yang tadinya berstandar nasional, diganti berstandar internasional, bernama AKM (Asesmen Kompetensi Minimum).

AKM akan dilaksanakan dengan mengambil persepektif sekolah-sekolah yang unggul dengan Jawa sebagai pusatnya. Hal ini terjadi karena sarana dan prasarana di luar Jawa belum memadai, akses perjalanan tidak merata, serta angka buta aksara masih cukup tinggi.

Data Kemdikbud.go.id (2019) menunjukkan, angka buta aksara tertinggi terjadi di Papua (22.88%), diikuti Sulawesi Selatan (4,63%), Sulawesi Barat (4,64%), Nusa Tenggara Barat (7,51%), Nusa Tenggara Timur (5,24%), dan Kalimantan Barat (4,21%). Apabila AKM dilaksanakan di luar Jawa, dikhawatirkan menimbulkan persoalan baru.

Di antara persoalan yang dimaksud adalah permasalahan multikultural. Multikultural sangat erat kaitannya dengan pendidikan. Pendidikan tidak harus ditentukan oleh suatu budaya mainstream, yaitu budaya sentralistis dengan mengabaikan kehidupan plural dari masyarakat yang ada di Indonesia.

Jika kita lihat Ujian Nasional, indikator dan hasilnya selalu dipaksakan melampaui ideal/ekspektasi masyarakat. Seharusnya, pemerintah dapat melimpahkan ke setiap provinsi masing-masing untuk indikator hasil ketercapaian Ujian Nasional tersebut karena setiap provinsi paling tahu akan kebutuhan peserta didik masing-masing dan setiap provinsi memiliki sarana prasarana yang berbeda dalam pelaksanaanya. Apabila hal ini dapat dilakukan, maka akan mewujudkan konsep pendidikan yang multikultural.

Istilah multikultural mempunyai arti adanya berbagai macam budaya pada suatu wilayah atau masyarakat. Budaya-budaya tersebut berasal dari kelompok masyarakat, dalam hal ini Indonesia yang memiliki latar belakang berbeda, seperti kelas sosial, ras, etnis, adat istiadat, gender, dan agama.

Baca juga:   Penghapusan UN: Sebuah Refleksi Kualitas Sekolah

Ada baiknya Kemendikbud dan pemerintah setempat saling bekerja sama untuk mengetahui kondisi masyarakatnya yang berbeda-beda atau multikultur. Kebhinekaan, keragaman, atau pluralitas dalam masyarakat multikultural mempersyaratkan adanya kemerdekaan dan keadilan. Keadilan di sini bukan diartikan sebagai sesuatu yang equality tapi equity, yang mana bentuknya bukan memberikan hak yang sama, namun memberikan hak yang dibutuhkan dalam segi pendidikan di tiap-tiap daerah.

Menurut Ballantine (189: 2017), banyak program yang bertujuan untuk peserta didik mayoritas saja atau dapat diartikan hanya untuk golongan-golongan tertentu. Bentuk dari programnya adalah seperti standar ujian dan kebijakan sekolah yang harusnya menyesuaikan kondisi daerah masing-masing.

Mengatasi persoalan ini, dapat menggunakan pendekatan bottom-up yang demokratis (Wahono, 2001: 108). Pendekatan ini dilakukan dengan mendayakan dan mengisi sekolah-sekolah dasar, khususnya yang ada di desa-desa atau pelosok kampung, dengan sistem pembelajaran yang adil, terbuka, dan menguatkan watak dan keterampilan peserta didik.

Dengan demikian, pelaksanaan ujian nasional yang diganti dengan ujian berstandar internasional, yaitu AKM, perlu dipertimbangkan serius dengan melihat kondisi dan kesiapan dari masing-masing daerah. Hal tersebut dilakukan agar terwujudnya pendidikan yang diharapkan, yaitu pendidikan multikultural yang berdasarkan keadilan. (*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here