Prof. Suyanto, Ph.D.
(Guru Besar FE Universitas Negeri Ygyakarta, Alumnus Boston University dan Michigan State University)
Kenaikan BBM sudah menjadi kenyataan. Banyak ilmuwan, politisi, dan akademisi memberikan kajiannya mengenai dampak kenaikan BBM terhadap kehidupan ekonomi, politik, dan sosial di masyarakat kita. Tiba saatnya saya mengajak para pembaca untuk merenung dan mewaspadai terjadinya putus sekolah di daerah dan kawasan masing-masing.
Putus sekolah merupakan musuh utama bagi suatu negara jika negara itu ingin maju, dan berkembang menjadi negara kuat berbasis teknologi. Bagaimana tidak, kalau saja penduduk suatu negara banyak yang putus sekolah jelaslah Human Development Index (HID) negara itu akan rendah pula. Jika HDI suatu negara rendah, maka tak akan segera bisa maju negara itu. Para investor asing enggan untuk menanamkan modalnya di negara yang HDI-nya rendah.
Oleh sebab itu penting sekali kiranya para pemimpin pemerintah pusat dan daerah di negeri ini mulai mewaspadai bertambahnya putus sekolah di daerahnya masing-masing. Kalau saja dengan kenaikan BBM ini putus sekolah terjadi dan merajalela di mana-mana pada semua jenjang pendidikan, tentu hal ini akan menjadi ancaman serius bagi pencapaian target Millennium Development Goals (MDGs) di republik ini.
Dari mana sumber putus sekolah? Kontributor putus sekolah yang utama adalah aspek ekonomi, kalau kita mau mengatakan dengan cara yang halus. Kalau mau mengatakan dengan terus terang, faktor utama penyumbang putus sekolah adalah penduduk miskin. Angka rata-rata penduduk miskin saat ini ialah 12, 49%. Angka absolutnya tinggal kalikan 240 juta penduduk Indonesia, sehingga kurang lebih penduduk miskin kita saat ini mencapai 29, 97 juta. Ketika BBM naik, yang jelas jelas miskin itu mungkin mudah di buatkan program subsidi bagi mereka.
Tetapi yang sangat sulit ialah bagi penduduk yang hampir miskin. Jumlah penduduk ini kadang sulit di data, karena mereka tidak memenuhi kriteria miskin. Meskipun demikian, begitu ada kanaikan harga bahan makan dan bahan keperluan pokok akibat kenaikan BBM, mereka semua menjadi kelompok miskin ang baru. Kalau hal ini terjadi berarti mereka berpotensi untuk menyumbang kenaikan angka putus sekolah.
Saat ini angka putus sekolah kita memang tidak begitu tinggi. Untuk jenjang pendidikan dasar (SD), angka putus sekolah hanya 0,67% (182.773 anak), dengan angka tertinggi Jawa Barat 0,65% (32.423 anak) dan angka terendah putus sekolahnya adalah DIY, 0% alias tidak ada anak putus sekolah SD di DIY. Bagaiman halnya dengan angka putus sekolah di Pendidikan Dasar (SMP)? Persentase nasional anak putus sekolah di SMP adalah 2,21% (209.976 anak) dengan persentase tertinggi angka putus diduduki Propinsi Jawa Barat 2,58% (47.198 anak). Persentase angka putus sekolah SMP terendah dimiliki Propinsi Kepulauan Riau 0,32% (171 anak), dan dua Propinsi terendah yang dekat dengan Propinsi Kepulauan Riau secara ber turut-turut adalah Propinsi DIY (0,34% atau 379 anak) dan Bali (0,62% atau 831 anak). Akhirnya, untuk siswa SMA/SMK, persentase siswa putus sekolah mencapai 3,41% (223,676) dengan persentase tertinggi di Propinsi Jawa Timur, 3,44% (35.546 anak), dengan persentase terendah berada di Propinsi Kepulauan Riau, 0,69% (287 anak). Dua Propinsi terendah di atasnya adalah Propinsi Banten, 1,31% (4.569 anak) dan DIY 1,62% (1.954 anak).
Pada propinsi yang memiliki angka putus sekolah tertinggi tersebut di atas harus waspada, jangan sampai persentasenya naik akibat bertambahnya populasi orang miskin baru akibat dinaikannya harga BBM baru baru ini. Oleh sebab itu Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota perlu memiliki program jaring pengaman agar kenaikan BBM tidak memicu dan menambah kemiskinan baru di daerahnya yang pada gilirannya akan meningkatkan persentase dan jumlah absolut putus sekolah. Program jaring pengaman itu bisa dilakukan dengan memberikan jumlah tambahan bantuan siswa miskin berupa pemberian subsidi uang maupun pemberian sarana penunjang sekolah seperti baju seragam, sepatu, pensil, buku tulis, alat transportasi bagi siswi miskin yang tinggalnya jauh dari sekolah dengan cara mebelikan mereka alat transportasi seperti sepeda, perahu, dan sejenisnya. Semoga semua waspada baik Pemerintah pusat, maupun daerah dalam mengendalikan angka putus sekolah sebagai dampak kenaikan BBM saat ini.
Tulisan ini terbit pertama di Harian Kedaulatan Rakyat edisi 26 Juni 2013.