
Nurwanto, M.A., M.Ed.
Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Mahasiswa Doktoral School of Education, di Western Sydney University, Australia
Suyanto.id–Kerumunan (crowd) manusia sebelumnya dianggap sebagai perilaku biasa. Akan tetapi, saat ini, interaksi yang sangat dekat secara fisik antar-manusia seolah-olah menjadi ‘dosa besar’ (a deadly sin) karena dapat menjadi kondisi untuk penyebaran corona virus desease jenis baru (covid-19). Dengan tingkat sebaran yang mendunia, covid-19 telah diputuskan sebagai pandemi global oleh WHO. Dampak atas sebaran virus ini tidak hanya memukul rasa aman manusia dari aspek kesehatan (fisik), namun juga menghantam sektor ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal di tiap negara mengalami pergeseran kebijakan. Sejauh penulis baca, dalam kurun waktu yang hampir sama, negara-negara yang terpukul hebat akibat covid-19 ini seperti China, Italia, Spanyol, dan mungkin menyusul Amerika, menutup layanan sekolah. Negara lainnya seperi Australia tetap membuka tatap-muka di sekolah dan menganjurkan ‘learning from home’. Di Singapura, sekolah tetap dibuka namun memberlakukan tes temperatur secara reguler. Sementara itu, Indonesia akan memanfaatkan platform media sosial online yang lebih terjangkau dan menayangkan program belajar melalui TVRI selama 3 bulan ke depan. Pendek kata, banyak negara mencoba beradaptasi dan berbenah di masa pandemi ini.
Tulisan sederhana ini berangkat dari asumsi bahwa sekolah tidak lepas dari pengaruh lingkungan makro. Sebagai respons atas dampak covid-19 ini, sekolah mengalami pergeseran sistem layanan belajar akibat perubahan lingkungan fisiknya. Saya hendak memaparkan kebijakan pendidikan di Australia di tengah pandemi covid-19 ini dalam dua aspek: pertama, bagaimana kebijakan (policy) dalam sektor pendidikan yang pemerintah Australia keluarkan untuk merespons dampak sebaran covid-19? Kedua, bagaimana orang tua atau rumah tangga mengakomodasi program ‘learning from home’?
Kebijakan ‘Belajar dari Rumah’ sebagai Social Distancing
Program baru ‘learning from home’ atau belajar dari rumah memberi kesan bahwa selama ini siswa ‘tidak belajar dari rumah’. Ini mungkin sebagai konsekuensi bahwa anak selama ini hanya bisa ‘belajar ketika di sekolah’. Terlepas adanya perdebatan makna seperti ini, kebijakan ‘belajar dari rumah’ merupakan penanda untuk mengurangi tingkat interaksi langsung antar siswa, orang tua, guru, dan staff lainnya di lingkungan sekolah sebagai kondisi yang dapat mempercepat penyebaran covid-19.
Dengan berbagai dinamika di setiap negara bagian (state) di Australia, semuanya mengacu pada ‘payung’ aturan (policy umbrella) untuk melakukan social distancing minimal 1,5 m antar-orang. Sekolah sebagai tempat berinteraksi antarsiswa dan staf lainnya, juga secara bertahap mempraktikan jarak fisik ini. Sebelum diberlakukan lockdown tahap tiga sekitar akhir Maret, siswa-siswa di wilayah NSW masih bersekolah seperti biasa. Seiring dengan pembatasan yang lebih ketat hubungan antaramanusia, orang tua tidak diperkenankan masuk ke lingkungan sekolah. Orang tua hanya diperbolehkan mengantar anak hingga pintu gerbang dan siswa satu-per-satu masuk ke kelas masing-masing. Kelas-kelas pun sudah tidak lagi menggunakan AC. Jendela dan pintu selalu terbuka untuk sirkulasi udara dari luar. Wastafel portable pun disediakan di berbagai lokasi. Kebiasaan cuci tangan diwajibkan. Jarak duduk antar-siswa juga diperluas. Namun ada persoalan yang diajukan: seberapa lama siswa-siswa dapat melakukan physical distancing? Pertanyaan ini menjadi kekhawatiran sejumlah pihak termasuk sekolah dan orang tua.
Ketika kasus covid-19 ini semakin meningkat di Australia, akhir Maret atau awal April, Pemerintah memperlakukan lockdown tahap ketiga. Lockdown tahap ketiga ini semakin membatasi orang untuk keluar rumah kecuali pergi ke sekolah, bekerja, berobat atau kepentingan lainnya yang tidak bisa ditunda. Akibat ketidaktaatan terhadap aturan ini termasuk tidak melakukan physical distancing, orang dapat didenda mulai dari AUD 1,000 hingga lebih dari AUD 10,000. Berdasarkan informasi melalui website, departemen pendidikan di negara-negara bagian seperi NSW, Queensland, Victoria, Western Australia, dan South Australia, memberlakukan anjuran learning from home kecuali yang orang tuanya bekerja di sektor-sektor utama (frontliners) seperti pemerintahan, kepolisian, dan rumah sakit. Selain itu, anak-anak juga lebih dianjurkan untuk pergi ke sekolah jika di rumah mereka tinggal dengan kakek atau neneknya karena orang tuanya bekerja di sektor yang tidak mungkin dilakukan dari rumah.
Salah satu yang menarik adalah bahwa kakek-nenek dikategorikan sebagai kelompok rentan (the vulnerable) sehingga tidak diizinkan mengasuh anak-anak selama sebaran covid-19 ini. Berdasarkan data, kelompok usia 60 tahun ke atas sangat beresiko mengalami tahap akut akibat covid-19. Mereka juga termasuk kelompok usia dengan jumlah kematian tertinggi di Australia. Oleh karena itu, ini menjadi masuk akal ketika pemerintah tetap menganjurkan anak untuk pergi ke sekolah dari pada belajar dari rumah dengan kakek/neneknya ketika orang tua mereka sendiri harus bekerja. Pendek kata, kelompom rentan di sini dilihat dari kelompok usia uzur yang mudah terkena penyakit.
Dampak dari lockdown dan social distancing sebenarnya merambah ke sektor lain terutama ekonomi dan menciptakan kelompok rentan baru. Misalnya adalah mereka yang mau-tidak-mau mengalami masa sulit ketika tidak bisa bekerja karena tempat kerjanya ditutup atau terpaksa diberhentikan. Contoh lainnya adalah mahasiswa international yang hanya mengandalkan biaya hidup dari bekerja di sektor jasa seperti café, minimarket, dan cleaning service yang tiba-tiba harus berhenti bekerja. Sebagian besar orang tua dengan working visa dapat mengalami hambatan finansial apabila tempat kerjanya untuk sementara waktu tidak beroperasi. Kondisi orang tua yang demikian dapat mempengaruhi konsentrasi bimbingan terhadap anak-anaknya.
Praktik ‘Learning from Home’
Begitu kebijakan learning from home ini diberlakukan, kebutuhan internet di tiap rumah tangga tidak bisa dihindari. Sependek yang saya tahu, sebagian besar rumah atau unit/apartemen di Australia berlangganan internet dengan provider sesuai dengan pilihan masing-masing. Sekolah juga memberi informasi kepada orang tua bahwa jika anak mengalami kesulitan untuk akses internet, orang tua dapat mengambil bahan-bahan belajarnya dari sekolah. Selain itu, sekolah juga menyediakan wifi dongle bagi orang tua yang rumah/unitnya tidak memiliki akses internet sehingga siswa tetap dapat mengakses sumber belajar secara online.
Agar program learning from home berjalan dengan baik, pemerintah menganjurkan kepada tiap rumah tangga untuk menyediakan lingkungan fisik yang mendukung dan ruang belajar yang nyaman sehingga anak-anak dapat belajar dengan baik. Karena hampir semua tugas dan feedback guru disampaikan secara online, mau-tidak-mau baik anak maupun pendamping (orangtua atau wali) harus familiar dengan sistem belajar online. Di wilayah NSW, departemen pendidikan menyediakan layanan belajar online seperti Seesaw dan Skoolbag atau Google Classrooms, yang sebenarnya juga telah digunakan sebelum terkena dampak covid-19. Selain itu, sekolah juga menganjurkan untuk mengoptimalkan sumber belajar online lainnya melalui reading eggs dan studyladder. Sebagaimana diketahui, layanan-layanan belajar online, mulai dari yang berbayar hingga gratis juga ditawarkan sehingga mempermudah siswa untuk menemukan sumber belajar yang diinginkan. Saya berpendapat bahwa dengan banyaknya sumber-sumber online tersebut anak-anak terutama di jenjang SD (elementary schools) perlu didampingi dan diarahkan oleh orang tuanya. Lebih penting lagi adalah mengoptimalkan sumber-sumber online yang telah disediakan sekolah dengan akun siswa atau orang tua, sehingga orang tidak perlu lagi mengeluarkan biaya apabila sumber belajar online tersebut berbayar.
Berdasarkan pengalaman, aktivitas learning from home memang telah berlangsung dua pekan sebelum libur sekolah (autumn school break, 10 hingga 24 April 2020). Waktu belajar online tersebut dibuka mulai jam 09:00 pagi hingga 03:00 sore sesuai dengan jam sekolah. Konsultasi dengan guru secara online juga dilakukan selama jam belajar-mengajar tersebut. Hal ini juga bersamaan dengan anak-anak yang belajar langsung di sekolah. Masing-masing guru memiliki cara penyajian yang beragam. Ada guru yang meng-upload pengantar materi dari tiap bagian, namun ada juga yang secara serentak mengirimkan tugas untuk siswanya dalam hari tertentu. Tugas -tugas yang telah dikerjakan kemudian dikirimkan melalui link yang telah disepakati. Karya siswa dapat berupa kertas kerja yang telah difoto, aktivitas yang divideokan, maupun dalam format suara (audio).
Sebagaimana dianjurkan dalam panduan belajar online oleh departmen pendidikan NSW, anak-anak harus tetap diberi ruang untuk santai atau istirahat di sela-sela belajar. Rasa nyaman, sehat, dan senang (well-being) merupakan prioritas bagi anak. Ini menandakan bahwa belajar adalah ‘hal kedua’ setelah well-being itu sendiri; atau belajar dan well-being adalah ‘dua sisi dari koin yang sama’ yang hadir dalam situasi secara bersama-sama. Jangankan di tengah ‘ancaman’ covid-19, dalam kondisi ‘normal’ pun well-being menjadi persoalan pokok dalam pendidikan di Australia. Oleh karena itu, segala situasi yang berlawanan dengan well-being siswa adalah ancaman. Misalnya, bullying adalah situasi yang membuat siswa tidak nyaman dan happy sehingga di semua website department pendidikan dan di papan-papan informasi sekolah, bullying menjadi persoalan serius. Atas dasar ini, saya berpendapat bahwa belajar di tengah covid-19 seyogyanya dilaksanakan ketika siswa memang betul-betul di-support rasa aman-nya dan dikelilingi oleh orang-orang yang mampu membimbingnya. Apabila anak-anak tidak berada dalam bimbingan orang-orang dewasa yang tidak mampu menciptakan kondisi nyaman, sehat dan menyenangkan maka belajar pada umumnya maupun secara online akan menjadi ‘ancaman kedua’ setelah covid-19 itu sendiri. (*)
Sydney, 15 April 2020.