
Yeti Islamawati
Instruktur Literasi Baca Tulis Nasional, Guru MTsN 6 Sleman
Suyanto.id–Perlahan, bus mulai meninggalkan terminal. Deru mesin terasa semakin halus, seiring dengan laju yang kian cepat. Asap tertinggal tak sempat kulihat, ternyata, sudah puluhan kilometer bus berjalan. Kepingan-kepingan kenangan masa lalu terus berkelebat. Tentang ibu, yang membangun dunianya sendiri dan kakak perempuanku, yang selalu menghujat hujan.
Siulet langit di belakang semerah saga. Bus melaju konstan. Sore masih menyisakan gerimis. Kurapatkan jaket, pandangan kembali ke arah kaca jendela yang masih saja berembun. Dan, ya, tentu saja dan ingatanku yang tak pernah rabun.
***
Mama masih membangunkanku pagi-pagi, memasak sarapan, mengupas buah, memberi uang saku, hingga tak pernah absen menyediakan makan malam. Namun, ada yang berbeda dengannya. Kini mama melakukan semua itu bak robot. Walau tersenyum, tapi senyuman itu kaku. Walau bicara, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Mama telah membangun istananya sendiri, dengan benteng kokoh, liat, dan tak tertembus.
Rintik hujan mendentingkan atap rumah. Udara dingin menusuk tulang. Seharian ini matahari tak menyapa. Aku hendak turun mengambil air putih saat kulihat seseorang menatap kaca jendela yang sedikit tersibak. Mama tepergok menangis dalam diam. Siapa tak jerih dan perih melihatnya. Kupeluk mama dengan segenap cinta, “Sampai kapan, Ma?”
Sepi. Hanya suara detak jam bertalu-talu. “Mungkin…, aku memang tak tahu banyak, Ma. Sedari dulu memang begitu, kan? Aku tak boleh tahu banyak hal. Ma, aku rindu Mama,” bisikku.
Mama menoleh sedikit ke arahku, “Tidurlah Ratri. Sudah malam. Besok kamu sekolah, bukan?” Aku tahu, tiada gunanya membantah.
Pada suatu malam, hujan, kulihat Papa pulang, tergesa memasuki kamar setelah kerja seharian. Gedebug, suara koper dibanting terdengar dari luar. Tak banyak cakap. Namun, naluri remajaku berkata, sesuatu telah terjadi. Aku berlari untuk bersimpuh di kaki papa. Papa bersegera melepaskan pelukanku.
Aku hanya diam mematung, tak tahu apa yang ada di pikiran papa. Maka, semenjak detik itu, aku tidak pernah bertanya lagi perihal papa. Toh, selama ini aku lebih banyak menghabiskan hari bersama mama. Kiranya ada perjanjian tidak terucap pada malam dini hari itu. Aku yang biasa ditinggal pergi oleh papa, cepat saja dalam menyesuaikan diri. Suatu hari, akan ada penjelasan atas semua.
Pagi itu mama membuat telur dadar. Aku mencuci gelas dan piring. Sesekali kami bercanda bersama. Hari minggu, hujan turun. Kakak mengajakku bermain hujan-hujanan. Maka kesedihanku segera beranjak pergi. Roman mama berangsur kembali bahagia. Namun, sayangnya kebahagiaan yang tak bertahan lama.
Aroma pethichor tercium wangi. Hujan kembali mengguyur setelah beberapa waktu tidak turun. Pertengkaran hebat kembali terjadi di ruang tamu. Kali ini, antara kakak perempuanku dan tunangannya. Malam itu, tunangannya datang hanya untuk membatalkan semuanya. Alasan yang membuat tertohok. Lagi-lagi fisik yang cantik membelokkan semuanya. Pernikahan adalah satu kata yang pasti akan membuai indah pada angan perempuan mana pun. Hujan kembali menjadi saksi kepahitan di rumah kami.
“Lelaki mana ada yang setia, huh!” Langkahku terhenti. Kakak semata wayangku seperti biasa, sedang bercerita kepada cerrmin. Kuketuk pintu, seperti biasa, ia tak pernah mengacuhkannya.
“Mungkin dia bukan lelaki yang baik buat Kakak.”
“Tahu apa kamu anak kecil?” Sambar kakakku kasar.
Tanpa bisa kutahan lagi mulutku berucap, “Aku memang tak tahu apa-apa, Kak. Namun, setidaknya aku tak pernah membenci hujan.” Aku buru-buru berlalu sebelum Kak Maya mengusirku seperti yang sudah-sudah.
***
Lebih dari seratus kilometer bus melaju. Kepingan-kepingan masa itu terus bersliweran. Tentang ibu yang membangun dunianya sendiri dan kakak perempanku yang selalu menghujat hujan.
Kupeluk mama. Ia hanya mematung. Dari gesturnya aku tahu, mama menolakku. Jadi, apalah lagi yang hendak kupertahankan di kota kelahiran ini? Lebih baik aku pergi membawa segumpal luka. Mereka lebih menyukai ketiadaanku. Tak ada tangisan melepas kepergianku pun pelukan perpisahan. Jadi benarkah masih tersisa sayang buatku?
Bukan, aku bukan pengecut yang hendak melarikan diri dari kenyataan. Hanya saja, ingin memulai lembar baru. Walau sejujurnya, masih saja galau melanda. Haruskan aku pergi dari kota ini? Kota yang amat aku cintai karena hujan yang mengguyur kota ini melebihi kota-kota yang lain. Ataukah kuputuskan saja berdamai dengan semua?
Hujan lebat menyambutku ketika turun di Terminal Bantul. Sigap kubuka payung. Baiklah, malam ini menginap di rumah Mbak Atun, pembantu rumah tangga yang dulu pernah bekerja pada kami sebelum dia kembali ke desa untuk menikah. Yang lain, biarlah nanti-nanti kupikirkan. Mbak Atun pernah berjanji menunjukkan pantai terindah versinya. Aku sedikit geli saat dulu Mbak Atun promosi Pantai Patehan dekat rumahnya. Katanya ada mercusuar, pasti tak akan tahan untuk segera naik.
Dengan modal NEM yang lumayan, aku berhasil mendaftar di SMA Negeri Bantul, kemudian kos di sekitar sekolah. Untuk sementara mengandalkan uang tabunganku, sambil mencari jalan menyambung kehidupanku. Barangkali nanti bisa mengajar les privat.
***
Tugas kelompok, proyek, dan PR menjadi makanan sehari-hari. Sore ini kami kerja kelompok di rumah Farel. Seseorang yang sejujurnya telah menyita perhatianku.
Kupejamkan mata, lalu kembali menatap sepotong lukisan yang mengusik. Rasanya, aku tak asing dengan pantai itu. Farel menangtapku ganjil. Ia heran reaksiku ketika melihat lukisan di seberang pintu dekat meja belajar.
“Farel, itu lukisan asli ya? Wow, indah sekali,” Desli teman berdecap kagum memecah kesunyian.
“Ini bukan pantai-pantai di Jogja. Aku hafal pantai-pantai di sini,” Herda ikut nimbrung.
Aku gelagapan. Aku lebih dulu maju mendekat dan menggeser sedikit. “Jangan!” Farel menatapku khawatir. Aku menyesal telah sedikit lancang pada sesuatu yang jelas-jelas ingin dia menyembunyikan dari kami.
Kini lukisan dengan kanvas ukuran besar tampak jelas. Lukisan siulet senja di sebuah pantai.
“Itu lukisan Pantai Cot Mue Aceh. Ibu yang melukisnya,” akhirnya Farel menjelaskan.
“Kamu pernah tinggal di sana?” tanyaku hati-hati.
Farel mengangguk cepat, “Ibu berjanji, suatu hari nanti ia akan cerita padaku tentang suatu hal.”
Sementara malam merangkak larut, otakku sibuk dengan teka-teki. Kami berpamitan pulang.
“Tunggulah barang sepuluh menit. Sebentar lagi ibu pulang. Biar kalian ada yang mengantar sampai rumah. Lagi pula kilat dan petir menyambar-nyambar,” Farel berusaha menahan kami.
Akhirnya kami kembali duduk sambil menikmati kudapan yang terus mengalir. Aku curiga jangan-jangan keluarga ini menimbun banyak amunisi makanan di rumah.
“Ohya kawan, sampai lupa. Besok Minggu datanglah kemari. Ada syukuran kecil-kecilan.”
“Kamu ulang tahun?”
Farel menggeleng. “Ibuku hendak menikah lagi,” Farel tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. “Ibu sudah lama menjanda, jadi, kupikir ini membahagiakannya.
“Kamu tidak khawatir?” sanggah Desli.
“Kenapa? Apa aku harus takut jika nanti ayah tiriku akan jahat seperti di film-film itu?” Farel menepis cepat, membuat kami tertawa sementara Desli bersungut-sungut.
Terdengar deru mobil. Sigap satpam membukakan pintu. Tak berapa lama terdengar ketukan sepatu highheel.
“Ibu, ke marilah,” Farel menarik tangan ibunya untuk diajak duduk mendekati kami.
“Tante Indah!” gumamku pelan.
“Ratri? Kamu anak Berliana, kan?” serunya tak kalah kaget.
Aku mengangguk senang dan menerima pelukannya. Ini kejutan. Tante Nina ini sahabat mama. Kami pernah secara tak sengaja bertemu di acara reuni SMA mereka. Aku tak menyangka bahwa ibunya Farel ternyata sahabat ibuku. Pantas saja Farel punya lukisan yang sama persis dengan lukisan di kamar mama.
Sesosok lelaki paruh baya masuk ke ruang tamu sambil mengibas-ibaskan bajunya yang sedikit basah. Tak perlu tiga detik untuk menyadari semua. Kuputuskan melangkah lebar-lebar menerobos hujan yang menggila derasnya. Halilintar memekak telingan diiringi kilat bagai lidah api menjilat. Tak kupedulikan lagi teriakan Farel, Tante Nina, juga teman-temanku. Cukup. Dia papaku.
Kutatap jendela kamar kos. Sesekali kuhapus air mata yang menganak sungai. Benar. Tak ada yang perlu disesali dan ditangisi. Mama, Kak Maya, aku akan pulang. Walaupun kalian membenci hujan tapi cintaku pada kalian sedalam cintaku pada hujan. Biarlah semua kisah sedih terangkum saat hujan. (*)
tulisan yang menginspirasi