Oleh Suyanto
Guru Besar Emiritus dan Ketua Majelis Wali Amanat UNY, Dirjen Manajemen Dikdasmen 2005-2013
Suyanto.id–Sekolah favorit menjadi idaman semua orang tua di negeri ini. Kenapa? Karena sekolah itu memenuhi ekspektasi orang tua dan masyarakat pada umumnya dilihat dari proses pembelajaran dan output-nya.
Tidak itu saja tentunya. Masih banyak komponen sekolah yang bisa meyakinkan dan memuaskan para pemangku kepentingan sekolah itu, seperti iklim belajarnya, budaya sekolahnya, kurikulumnya, ekstrakurikulernya, serta kedisiplinan guru dan siswanya.
Dalam bahasa kebijakan sebenarnya kita tidak mengenal nomenklatur ”sekolah favorit”. Kenapa akhirnya muncul istilah sekolah favorit di masyarakat? Sederhana saja logikanya, karena suatu sekolah memiliki kualitas yang tinggi dan akhirnya sekolah itu menjadi magnet bagi orang tua dan calon siswa.
Sekolah itu mendapatkan rekognisi dalam aspek kualitas oleh masyarakat. Sekolah berkualitas ternyata ada di negeri ini. Jumlahnya tentu tak banyak. Mengapa sedikit? Karena sekolah favorit terbentuk tidak dengan tiba-tiba, tetapi melalui proses panjang dengan program-programnya yang selalu menuju ke standar kualitas.
Ilusi sistem zonasi
Akhir-akhir ini sekolah berkualitas yang favorit dimusuhi oleh kelompok masyarakat yang tak sepakat dengan eksistensi sekolah favorit. Alasannya, sekolah favorit itu membawa dosa karena tidak bisa diakses oleh semua anak-anak yang mau masuk ke dalamnya untuk menempuh pendidikannya.
Sekolah favorit dianggap elitis, tidak populis. Bahkan ketika ada kebijakan penerimaan peserta didik baru (PPDB) dengan sistem zonasi, sekolah favorit menjadi target untuk digoyang eksistensinya.
Cita-cita zonasi ingin melakukan pemerataan kualitas. Sungguh absurd! Bagaimana zonasi bisa digunakan untuk pemerataan kualitas? Kualitasnya pun belum ada secara memadai di suatu kabupaten, kota, ataupun provinsi. Kalau peta pendidikannya seperti itu, lalu apa yang diratakan? Tentu tidak ada. Jadi, kita sebenarnya terjebak pada ilusi dan halusinasi pada sistem zonasi itu.
Akhirnya yang terjadi adalah pemerataan masalah, terjadinya moral hazard, seperti perpindahan daftar kartu keluarga untuk mendekati sekolah favorit, memalsukan kartu keterangan miskin, mark up nilai rapor akibat tidak adanya ujian nasional yang bisa membuat nilai ujian bisa diperbandingkan (comparable), apple to apple, untuk masuk ke sekolah favorit dengan skema prestasi.
Pendek kata mirip kondisi ekonomi, jika terjadi kesenjangan permintaan dan penawaran suatu produk, maka terjadi pasar gelap atas produk itu.
Perlu ada sekolah favorit
Indonesia akan memiliki bonus demografi pada 2035. Cita-cita setelah mendapatkan bonus demografi, kita ingin terbentuknya generasi emas tahun 2045, bertepatan dengan 100 tahun Indonesia merdeka.
Pada tahun itu kita akan memiliki penduduk yang sebagian besar berusia produktif. Kondisi itu hanya terjadi satu kali dalam kehidupan. Kalau semua asumsi terpenuhi, Indonesia diprediksi memiliki skala perekonomian lima besar dunia.
Untuk itu, asumsi paling utama yang harus dipenuhi adalah jika kita berhasil mendidik anak-anak bangsa yang saat ini berada di jenjang pendidikan dasar dan menengah, menjadi sumber daya insani yang memiliki kompetensi, daya saing global yang hebat, karakter dan kepribadian kuat dan mandiri.
Ketika sifat-sifat generasi yang seperti itu harus dimiliki, skenario pembangunan pendidikan nasional tidak bisa mendasarkan pada paradigma yang hanya mengedepankan pemerataan yang bernuansa populis semata. Kalau paradigma ini dipakai, masih lama kita bisa menghasilkan pemerataan kualitas sesuai dengan tuntutan yang harus dibekalkan pada generasi emas 2045.
Pemerataan kualitas pendidikan ke seluruh penjuru Tanah Air bukan merupakan kebijakan buruk. Namun, untuk kondisi saat ini, kebijakan itu perlu ditandem dengan kebijakan yang berorientasi pada kualitas yang saya sebut dengan nonpopulis. Karena nonpopulis, maka yang bisa mengakses jenis pendidikan ini adalah anak-anak yang memang pandai, siap belajar dengan skema kualitas, bukan skema belajar dengan model semacam afirmasi.
Apakah kita akan sesat jika melakukan hal ini? Tentu tidak. Negara maju seperti Amerika Serikat pun memiliki sekolah favorit meski pemerataan kualitas bagi rakyatnya telah terpenuhi.
Untuk menyebut beberapa saja, inilah contoh sekolah-sekolah favorit di AS: Notre Dame High School; Thomas Jefferson High School for Science and Technology di Alexandria, Virginia; Academic Magnet High School di North Charleston, South Carolina; Rochester City School; Signature School di Evansville, Indiana.
Begitu juga di Inggris. Mereka mengembangkan sekolah-sekolah favorit dengan maksud untuk menciptakan lulusan sekolah yang merupakan cream of the cream dari peserta didik yang ada. Beberapa sekolah favorit di sana misalnya Mossbourne Community Academy di Lower Clapton, Woodford County High School di Woodford Green, dan Wilson School di Willington.
Sekolah favorit di tiap provinsi
Bagaimana dengan Indonesia? Kita perlu membuat sekolah-sekolah favorit di setiap provinsi. Jika setiap provinsi ada tiga sekolah favorit, untuk SD, SMP, SMA, SMK, hanya akan diperlukan 152 sekolah favorit untuk 38 provinsi.
Jumlah ini masih aman untuk tidak disebut elitisme karena angka itu tidak akan menghadirkan kesenjangan akses dari jumlah sekolah kita yang saat ini mencapai 399.376 sekolah dengan total murid 44,19 juta.
Dengan sekolah favorit itu, kita akan bisa meluluskan murid yang bisa dikembangkan lebih lanjut untuk menjadi penghela dan pendorong perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi menyongsong bonus demografi dan Indonesia Emas 2045. (*)
Tulisan ini pertama kali terbit di harian Kompas edisi 2 Agustus 2023.