Home Blog

Apa Dosa Sekolah Favorit?

0

Oleh Suyanto
Guru Besar Emiritus dan Ketua Majelis Wali Amanat UNY, Dirjen Manajemen Dikdasmen 2005-2013

Suyanto.id–Sekolah favorit menjadi idaman semua orang tua di negeri ini. Kenapa? Karena sekolah itu memenuhi ekspektasi orang tua dan masyarakat pada umumnya dilihat dari proses pembelajaran dan output-nya.

Tidak itu saja tentunya. Masih banyak komponen sekolah yang bisa meyakinkan dan memuaskan para pemangku kepentingan sekolah itu, seperti iklim belajarnya, budaya sekolahnya, kurikulumnya, ekstrakurikulernya, serta kedisiplinan guru dan siswanya.

Dalam bahasa kebijakan sebenarnya kita tidak mengenal nomenklatur ”sekolah favorit”. Kenapa akhirnya muncul istilah sekolah favorit di masyarakat? Sederhana saja logikanya, karena suatu sekolah memiliki kualitas yang tinggi dan akhirnya sekolah itu menjadi magnet bagi orang tua dan calon siswa.

Sekolah itu mendapatkan rekognisi dalam aspek kualitas oleh masyarakat. Sekolah berkualitas ternyata ada di negeri ini. Jumlahnya tentu tak banyak. Mengapa sedikit? Karena sekolah favorit terbentuk tidak dengan tiba-tiba, tetapi melalui proses panjang dengan program-programnya yang selalu menuju ke standar kualitas.

Ilusi sistem zonasi

Akhir-akhir ini sekolah berkualitas yang favorit dimusuhi oleh kelompok masyarakat yang tak sepakat dengan eksistensi sekolah favorit. Alasannya, sekolah favorit itu membawa dosa karena tidak bisa diakses oleh semua anak-anak yang mau masuk ke dalamnya untuk menempuh pendidikannya.

Sekolah favorit dianggap elitis, tidak populis. Bahkan ketika ada kebijakan penerimaan peserta didik baru (PPDB) dengan sistem zonasi, sekolah favorit menjadi target untuk digoyang eksistensinya.

Cita-cita zonasi ingin melakukan pemerataan kualitas. Sungguh absurd! Bagaimana zonasi bisa digunakan untuk pemerataan kualitas? Kualitasnya pun belum ada secara memadai di suatu kabupaten, kota, ataupun provinsi. Kalau peta pendidikannya seperti itu, lalu apa yang diratakan? Tentu tidak ada. Jadi, kita sebenarnya terjebak pada ilusi dan halusinasi pada sistem zonasi itu.

Akhirnya yang terjadi adalah pemerataan masalah, terjadinya moral hazard, seperti perpindahan daftar kartu keluarga untuk mendekati sekolah favorit, memalsukan kartu keterangan miskin, mark up nilai rapor akibat tidak adanya ujian nasional yang bisa membuat nilai ujian bisa diperbandingkan (comparable), apple to apple, untuk masuk ke sekolah favorit dengan skema prestasi.

Pendek kata mirip kondisi ekonomi, jika terjadi kesenjangan permintaan dan penawaran suatu produk, maka terjadi pasar gelap atas produk itu.

Perlu ada sekolah favorit

Indonesia akan memiliki bonus demografi pada 2035. Cita-cita setelah mendapatkan bonus demografi, kita ingin terbentuknya generasi emas tahun 2045, bertepatan dengan 100 tahun Indonesia merdeka.

Pada tahun itu kita akan memiliki penduduk yang sebagian besar berusia produktif. Kondisi itu hanya terjadi satu kali dalam kehidupan. Kalau semua asumsi terpenuhi, Indonesia diprediksi memiliki skala perekonomian lima besar dunia.

Untuk itu, asumsi paling utama yang harus dipenuhi adalah jika kita berhasil mendidik anak-anak bangsa yang saat ini berada di jenjang pendidikan dasar dan menengah, menjadi sumber daya insani yang memiliki kompetensi, daya saing global yang hebat, karakter dan kepribadian kuat dan mandiri.

Ketika sifat-sifat generasi yang seperti itu harus dimiliki, skenario pembangunan pendidikan nasional tidak bisa mendasarkan pada paradigma yang hanya mengedepankan pemerataan yang bernuansa populis semata. Kalau paradigma ini dipakai, masih lama kita bisa menghasilkan pemerataan kualitas sesuai dengan tuntutan yang harus dibekalkan pada generasi emas 2045.

Pemerataan kualitas pendidikan ke seluruh penjuru Tanah Air bukan merupakan kebijakan buruk. Namun, untuk kondisi saat ini, kebijakan itu perlu ditandem dengan kebijakan yang berorientasi pada kualitas yang saya sebut dengan nonpopulis. Karena nonpopulis, maka yang bisa mengakses jenis pendidikan ini adalah anak-anak yang memang pandai, siap belajar dengan skema kualitas, bukan skema belajar dengan model semacam afirmasi.

Apakah kita akan sesat jika melakukan hal ini? Tentu tidak. Negara maju seperti Amerika Serikat pun memiliki sekolah favorit meski pemerataan kualitas bagi rakyatnya telah terpenuhi.

Untuk menyebut beberapa saja, inilah contoh sekolah-sekolah favorit di AS: Notre Dame High School; Thomas Jefferson High School for Science and Technology di Alexandria, Virginia; Academic Magnet High School di North Charleston, South Carolina; Rochester City School; Signature School di Evansville, Indiana.

Begitu juga di Inggris. Mereka mengembangkan sekolah-sekolah favorit dengan maksud untuk menciptakan lulusan sekolah yang merupakan cream of the cream dari peserta didik yang ada. Beberapa sekolah favorit di sana misalnya Mossbourne Community Academy di Lower Clapton, Woodford County High School di Woodford Green, dan Wilson School di Willington.

Sekolah favorit di tiap provinsi

Bagaimana dengan Indonesia? Kita perlu membuat sekolah-sekolah favorit di setiap provinsi. Jika setiap provinsi ada tiga sekolah favorit, untuk SD, SMP, SMA, SMK, hanya akan diperlukan 152 sekolah favorit untuk 38 provinsi.

Jumlah ini masih aman untuk tidak disebut elitisme karena angka itu tidak akan menghadirkan kesenjangan akses dari jumlah sekolah kita yang saat ini mencapai 399.376 sekolah dengan total murid 44,19 juta.

Dengan sekolah favorit itu, kita akan bisa meluluskan murid yang bisa dikembangkan lebih lanjut untuk menjadi penghela dan pendorong perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi menyongsong bonus demografi dan Indonesia Emas 2045. (*)

Tulisan ini pertama kali terbit di harian Kompas edisi 2 Agustus 2023.

Cinta

0

Oleh S. Nur Rohmah

Dengan Basmallah
Aku terima mitsaqon ghalidha denganmu
Aku ridha pada Sang Pemilik Cinta
Untuk mengarungi samudera asmara

Hatiku senantiasa diselimuti bayang-bayang cintamu
Kecup di keningku senyum penuh arti
Lantunan doa dalam sujud panjangmu
Menguatkan hatiku agar tak jatuh dalam murkaMu

Untaian bait cintamu selalu mengisi relung hatiku
Teduh wajahmu membayangi mataku
Genggaman erat tanganmu menguatkan langkahku
Duhai kekasih hati kapankah kita kan berjumpa

Bantul, 3 Desember 2022

Stop Normalisasi Peminggiran Perempuan melalui Bahasa

0

Oleh Awanis Akalili
Dosen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta

“Bu Rifky, apa kabar?” Mengapa sapaan tersebut jarang (atau bahkan tidak sama sekali) untuk dibalik menjadi, “Pak Awanis, apa kabar?”

Relasi suami-istri yang notabene domestik mulai menjadi konsumsi publik dan menjadi pembiasaan melalui kalimat sapaan sehari-hari yang terkadang tendensius. Bagi beberapa orang, memanggil nama pasangannya adalah hal biasa, tapi bagi beberapa perempuan lain melihat sapaan ini sebagai bentuk peminggiran bagi peran perempuan. Ekstremnya jika salah memaknai, publik akan mengira perempuan tidak menghargai pasangannya. Sementara pemahaman inilah yang perlu diluruskan.

Titik poin yang menjadi dasar dari munculnya ide menulis ini ialah ada atau tidak adanya pasangan dalam pilihan hidupnya, perempuan berhak terpanggil atas namanya sendiri. Rasanya menjadi tidak adil jika seorang perempuan akan “biasa” apabila disapa dengan menyanding nama suami, namun tidak sebaliknya dengan sapaan bagi suami. Beberapa kali panggilan “Bu Rifky” terdengar sangat masif, tetapi tidak ada satu pun yang berkata “Pak Awanis”. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Narasi subordinasi tersebut tidak dapat dilepaskan dari dogma sejarah yang membelenggu posisi perempuan sehingga dinilai sebagai “sekadar” mendompleng pada kesuksesan pasangannya. Sementara itu, sejatinya seorang perempuan memiliki hak sepenuhnya atas otoritas tubuh, ruang kemandirian, kreativitas dan mencapai mimpi yang diinginkan. Orde Baru membawa peran besar dalam pembahasaan ini. Dalam sisi moralitas, beberapa organisasi perempuan progresif pada waktu itu menolak keras pemikiran bahwa perempuan sebagai pelengkap suami dan lebih memandang perempuan sebagai subjek yang dapat bekerja keras dan tidak terkungkum dalam tekanan-tekanan sosial yang meminggirkan mereka (Wieringa, 2010: 340).

Masih dalam narasi sejarah yang sama, mengutip dalam artikel “Menilik Kembali Peran Organisasi Perempuan di Masa Orde Baru” karya Fitri Lestari, kehadiran perempuan yang dapat bekerja di ruang publik tetap tidak terpisahkan dari predikat “istri” atau “ibu”. Di masa itu gerakan perempuan hadir untuk menanamkan nilai-nilai patriarkal serta pemusatan perempuan di ranah domestik. Hingga saat ini tinggalan sejarah pada keseragaman visi beberapa organisasi perempuan tersebut masih ada. Kelompok-kelompok yang seharusnya menjadi semangat kemandirian dan kreativitas perempuan, justru sangat disayangkan ketika kehadirannya justru semakin mengukuhkan “domestifikasi perempuan”. Pembatasan perempuan hanya di ruang domestik seakan kehadirannya hanya untuk mengurus suami, anak, rumah tangga dianggap tidak memberikan ruang perempuan untuk menikmati hidup layaknya perempuan sebagai subjek (Lestari, 2016).

Meskipun rezim tersebut sudah berakhir, upaya meminggirkan perempuan tetap masif terjadi. Perjuangan kesetaraan masih menjadi agenda yang panjang nan terjal. Bahkan untuk menyampaikan pada publik bahwa bahasa menjadi cara termudah untuk menormalisasi kebiasaan pun masih mendapatkan teguran dan predikat “baperan” dan “jangan terlalu serius lah, kan bercanda”. Dua dogma tersebut yang seakan selalu melegitimasi sebuah kebiasaan menyakiti beberapa pihak lain.

Melalui tulisan ini, ada seorang perempuan yang sedang (dan masih terus) berusaha mencari celah suara bagi perempuan-perempuan lain yang juga mengalami nasib sama. Teruntuk bagi publik yang masih menjadi agen-agen ketimpangan gender: perlahan, mulailah memandang perempuan dalam lensa seorang subjek. Sadarlah bahwa dengan memanggil perempuan, istri, ibu dengan menyanding subjek lain adalah bentuk normalisasi peminggiran perempuan melalui bahasa.

BAHAN BACAAN

Lestari, Fitri. 2016. “Menilik Kembali Peran Organisasi Perempuan di Masa Orde Baru”. Dalam link https://www.jurnalperempuan.org/wacana-feminis/menilik-kembali-peran-organisasi-perempuan-di-masa-orde-baru

Wieringa, Saskia Eleonora. 2003. Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI. Galangpress: Yogyakarta

Janji Proklamasi

1

Oleh Gus Nas Jogja

Kemerdekaan yang telah tiba di pelupuk mata
Bukanlah karpet merah yang dihamparkan bangsa Eropa

Bangsa ini bukanlah kaleng karatan
Bukan pula kardus rongsok
Tapi jiwa yang ditempa oleh duka-lara

Janji Proklamasi telah melangitkan takbir ke cakrawala
Saat bambu runcing bersumpah pada penjajah
Bahwa Tanah Air Indonesia tak sudi dijadikan alas kaki

Dalam labirin kebodohan
Ketika kaum pribumi diinjak hingga di ubun-ubun harga diri
Manakala kedaulatan dilecehkan
Dan akal-sehat dikubur hidup-hidup
Maka Janji Proklamasi berdegub di malam sunyi

Kini carilah makna kemerdekaan hingga di pelosok hatimu
Di gubug-gubug reyot bantaran sungai
Di kedalaman hati para petani dan nelayan
Yang kian dimiskinkan oleh kebijakan

Hari ini tanggal 17 Agustus
Betapa jauh kita susuri jalanan kudus
Negeri gemah-ripah yang dijauhkan dari nista dan amarah
Bangsa bermarwah yang menunaikan segala amanah

Dengan mengucap segala senyap
Sudah saatnya bangsa ini kembali menyalakan api
Membakar dogma-dogma kolonialisme
Bangsa inlander yang pasrah
Dan tak berdaya di injak laras sepatu Kompeni

Janji Proklamasi harus dinyalakan
Kemerdekaan adalah amanah dan marwah peradaban
Dan Indonesia adalah rumah besar kita bersama

Merdeka!

16 Agustus 2022

Pelayatan Agung

0

Oleh Gus Nas Jogja

Pada lembayung Jum’at ini
Rindu yang renta kurias dalam doaku
Dengan mata berkaca-kaca
Kudekap duka di palung jantung

Buya, senjamu menjamah jiwa
Menjulurkan jemari sunyi
Di haribaan kalbu

Ketika anak-anak bangsa sedang meratap-ratap
Engkau berlalu dengan harum gaharu
Menjadikan puisi-puisi ini yatim-piatu

Dwi windu yang lalu
Kota ini luluh-lantak diguncang gempa
Hari ini tepat tanggal 27 Mei
Kepergianmu adalah gempa yang menerjang dada

Kusuap senyap di Jum’at suci
Kumamah resah dari takziah abadi

Buya, ijinkan aku berduka
Dengan tabur bunga harum doaku
Ijinkan aku bersaksi
Pada putih kapas amal ibadahmu
Dengan sayap-sayap cinta yang membelah cakrawala

27 Mei 2022

Ziarah

1

Oleh Siti Nur Rohmah

senyap
menyusuri dinginnya tanah
di antara batu penanda

termangu aku
di depan gundukan baru
goyah kaki tak kuasa berdiri
tubuhku limbung dibelai angin pagi

serasa diri di lubang sempit
kelu lidah tak kuasa berkata
mengenang belahan jiwa di alam barzakh
berharap ia tertulis dalam ‘illiyyin

Bantul, 7 Mei 2022

Maaf

0

Oleh Alistyono Pramuhadi
Guru MTsN 6 Sleman

Bulan Syawal menegur insan melambai hasta
Semua hasta terjulur seraya terucap bibir ini
Kata maaf terlontar dari lisan yang penuh lumuran dosa
Namun terkadang insan tak mudah terlupa
Luapan dosa yang pernah terjejak

Insan yang hina akan mudah tuk mengucap kata maaf
Insan hina selalu menutur kata maaf
Insan hina mentadabur dan menyebar kata maaf
Jiwa ini terusap dosa
Raga ini tercemar dosa

Kata maaf akan tercoreng
Kata maaf maaf tergores
Kata maaf terpatri
Agar jiwa dan raga ini Kembali puti
Agar jiwa dan raga ini Kembali fitrah
Agar jiwa dan raga ini Kembali suci

MTsN 6 Sleman, 17 Mei 2022

Masjid Prof. Dr. Sugiyono-Rusti Dibangun atas Dasar Takwa

0

Oleh Dr. M. Wildan, S.S., M.A.
Wakil Rektor III Universitas Pamulang

Suyanto.id–Dalam konteks Ramadan, masjid menjadi salah satu media pewujudan takwa bagi kaum mislimin. Berbagai aktivitas dilaksanakan dalam masjid, seperti antara lain: salat lima waktu, tarawih, i’tikaf, tadarus, berbuka puasa, dan kajian keislaman. Sederhananya, derajat ketakwaan seseorang dapat diukur melalui seberapa sering ke masjid untuk melaksanakan ibadah mahdhah maupun ghair mahdhah.

Kehadiran masjid di tengah masyarakat muslim tentu bertujuan mulia, yaitu peningkatan kualitas takwa. Masjid lazimnya didirikan oleh swadaya masyarakat yang bersifat kolektif. Saya sebut bersifat kolektif karena mendirikan masjid tentu membutuhkan finansial yang tidak sedikit, sehingga iuran warga menjadi suatu modal tegak dan kokohnya suatu masjid. Namun, Masjid Prof. Dr. Sugiyono-Rusti berbeda dengan kebanyakan masjid lainnya dalam konteks mendirikannya.

Masjid Prof. Dr. Sugiyono-Rusti yang terletak di Desa Cindaga, Kebasen, Purwokerto didirikan oleh seorang Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Masjid ini menjadi istimewa dan unik bagi warga Cindaga dan sekitarnya. Saya sebut istimewa karena masjid yang bediri kokoh di tengah kampung diberi nama dengan penamaan nama pendiri dan sang istri: Sugiyono dan Rusti. Saya sebut unik karena inilah suatu masjid yang dalam pengalaman dan pengamatan saya didirikan dari sisihan honorarium kegiatan webinar dan royalti dari beberapa buku best sellernya.

Jauh sebelum Masjid Prof. Dr. Sugiyono-Rusti berdiri kokoh seperti yang terlihat saat ini, Prof. Dr. Sugiyono pernah menyampaikan kepada saya baik secara langsung maupun dalam berbagai kegiatan webinar bahwa royalti buku disumbangkan sepenuhnya untuk pembangunan masjid yang saat ini sedang dibangun di kampung halaman. Niat mulia Prof. Dr. Sugiyono, M.Pd. menjadi keniscayaan karena dari sisi arsitektur suatu masjid, sungguh teduh dan nyaman untuk beribadah di dalamnya bagi warga Cindaga dan sekitarnya. Sekaligus ke depan masjid ini menjadi wisata religi bagi kalangan akademisi yang tentu banyak pelajaran dapat digali di dalamnya.

Berdirinya Masjid Prof. Dr. Sugiyono-Rusti sungguh menjadi pelajaran berharga bagi kalangan akademisi. Tentu ada pesan tersirat dan mesti digali dari berdirinya masjid ini. Paling tidak, pelajaran yang dapat ditarik oleh kita, yaitu bahwa niat yang dibangun semata-mata karena Allah insyaallah terwujud pada waktunya. Dua sumber penyokong berdirinya masjid: dari honorarium sebagai pembicara webinar dan royalti buku merupakan suatu pendapatan yang lazim diperoleh oleh kalangan akademisi. Hal sama juga pada royalti buku yang lazim diperoleh oleh kalangan akademisi. Sungguh, kedua sumber penyokong berdiri tegaknya Masjid Prof. Dr. Sugiyono-Rusti menjadi pelajaran berharga untuk terus berkarya dan berkarya.

Langkah mulia yang dipilih oleh Prof. Dr. Sugiyono, M.Pd., sebuah perpaduan antara duniawi dan ukhrawi. Amal usaha yang dikerjakan dengan penuh kerja keras didedikasikan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan umat yang bermanfaat. Dalam ajaran Islam, kerap diajarkan bahwa harta yang dikeluarkan di jalan Allah tentu tidak berkurang, tetapi semakin bertambah dan bertambah. Menjadi bertambah ketika dilihat melalui kaca mata iman dan takwa. Prof. Dr. Sugiyono, M.Pd. mendirikan masjid di kampung halaman Istri beliau melalui kaca mata iman dan takwa.

Rasulullah bersabda, siapa yang membangun masjid karena Allah walaupun hanya selubang tempat burung bertelur atau lebih kecil, maka Allah bangunkan baginya (rumah) seperti itu pula di surga (HR. Ibnu Majah No. 738). Saya mencermati bahwa inilah (barangkali) dasar Prof. Dr. Sugiyono, M.Pd. untuk mendedikasikan hasil kinerja akademik untuk tujuan ukhrawi karena inilah salah satu keberkahan itu diperoleh. Memang banyak pelajaran yang dapat ditarik dari berdiri tegaknya Masjid Prof. Dr. Sugiyono-Rusti, namun pelajaran yang tepat untuk kita selaku kalangan akademisi, yaitu sisikan pendapatan yang diperoleh dari kegiatan akademik untuk kepentingan ukhrawi.

Masjid Prof. Dr. Sugiyono-Rusti sudah berdiri kokoh di tengah masyarakat Cindaga. Memakmurkan dengan berbagai kegiatan duniawi dan ukhrawi menjadi tantangan sekaligus peluang pewujudan ketakwaan bagi warga sekitar. Karena memakmurkan masjid ini menjadi pesan tersirat dan tersurat dari sang pendiri, Prof. Dr. Sugiyono, M.Pd dan Ibu Rusti.

Ayo ke masjid! (*)

Male Grooming dan Stereotipe Gender Maskulinitas

0

Oleh Novika Puspitasari
Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Yogyakarta

PENDAHULUAN

Dewasa ini, seiring berkembangnya zaman, semakin banyak produsen yang menciptakan atau mengeluarkan produk perawatan untuk para lelaki. Perilaku male grooming merupakan salah satu bentuk dari peran gender maskulinitas yang ditandai dengan kemunculan produk kosmetik laki-laki berupa perawatan wajah, rambut, sampo, dan lain-lain. Produk tersebut digunakan oleh sebagian besar laki-laki berusia dewasa menengah yang mulai mengalami penurunan secara fisik.

Penggunaan produk kosmetik oleh laki-laki dengan konsep kecantikan yang selama ini erat kaitannya dengan perempuan, menunjukkan adanya ketidakwajaran atas identitas gender mereka. Pergeseran identitas gender maskulin modern membentuk pribadi yang lebih terawat, bersih, menawan, dan rapi dengan mengadaptasi karakteristik dari feminin (Pradani & Suhanti, 2020).

Penggunaan produk perawatan pada laki laki tersebut menimbulkan beberapa persepsi dalam masyarakat. Beberapa masyarakat mengganggap hal tersebut wajar dilakukan untuk kesehatan pribadi, namun beberapa masyarakat lainnya menganggap bahwa laki laki maskulin tidak melakukan perawatan karena hal tersebut identik dengan perempuan. Hal ini menimbulkan sebuah stereotipe bahwa hanya perempuan yang bisa melakukan perawatan karena mereka memiliki sifat feminim sedangkan laki laki tidak terlalu membutuhkan jenis perawatan karena sifat mereka yang maskulin.

Masyarakat memberikan perbedaan gender secara budaya kultural dengan mengharuskan laki-laki untuk menonjolkan sisi maskulin serta perempuan harus menonjolkan sisi feminin (Tanjung, 2012). Baik laki-laki maupun perempuan, diharapkan mampu memiliki identitas gender yang tetap. Munculnya peran gender baru dapat membuat citra tradisional laki-laki sebagai maskulin dengan ciri-ciri kasar, kotor, dan tidak terawat telah diubah dan menggambarkan laki-laki terlibat dalam sisi feminin yang lebih peduli terhadap penampilan mereka (Lau, dkk., 2018 dalam Pradani & Suhanti, 2020).

Kontroversi Gender mengungkapkan beberapa perbedaan substansial dalam kemampuan fisik (Rosyidah & Nurwati, 2019). Akan tetapi, saat ini laki-laki tidak mempedulikan adanya perubahan peran gender dengan melampaui batasan-batasan terhadap penggunaan produk kosmetik. Laki-laki melihat penggunaan produk kosmetik sebagai perilaku yang dapat diterima secara sosial dan tidak mengancam nilai-nilai maskulin. Laki-laki melihat aspek positif dari penggunaan produk kosmetik untuk membedakan individu dengan yang lain dalam membangun penampilan diri. Artikel ini bertujuan memberikan informasi dan pemahaman kepada masyarakat mengenai fenomena male grooming.

PEMBAHASAN DAN DISKUSI

Male Grooming sebagai Bentuk Self image

Male grooming atau biasa disebut dengan laki-laki berdandan merupakan perilaku merias dan merawat diri dengan menggunakan produk perawatan atau kosmetik yang dilakukan oleh laki-laki. Kategori produk kosmetik laki-laki bukan hanya digunakan pada bagian wajah saja, namun salah satu bentuk dari grooming yaitu penggunaan produk perawatan tubuh lainnya (Sørensen, 2009). Laki-laki dengan perilaku male grooming menggunakan produk kosmetik untuk mengubah maupun meningkatkan penampilannya.

Era modern saat ini berbagai iklan produk kecantikan tersebar secara luas di berbagai media. Produk tersebut juga ditujukan untuk para lelaki. Laki laki yang menggunakan produk perawatan, bukan karena mereka ingin menjadi seperti perempuan, tetapi mereka ingin merawat tubuhnya sendiri (body positify) di mana merawat tubuh adalah hak serta kewajiban dari masing masing individu. Penggunaan produk kosmetik bagi laki-laki dianggap bukan sebagai perilaku grooming melainkan bentuk kepedulian terhadap kesehatan dan perawatan tubuhnya (Pradani & Suhanti, 2020).

Faktor utama yang mendasari penggunaan produk kosmetik pada laki-laki berusia dewasa awal adalah merasa memiliki kekurangan dalam penampilan fisik, khususnya terkait kulit. Laki-laki menyadari adanya permasalahan kulit yang dapat menimbulkan perasaan tidak percaya diri. Kesadaran akan kekurangan fisik tersebut membuat laki-laki berusaha untuk menangani permasalahan dengan melakukan perilaku male grooming. Dengan demikian, tujuan perilaku male grooming adalah membuat laki-laki memiliki penampilan lebih menarik dan dapat membentuk identitas diri yang diinginkan (Pradani & Suhanti, 2020).

Kaitannya dengan Stereotipe Maskulinitas

Stereotipe merupakan generalisasi dari kelompok kepada orang-orang di dalam kelompok. Stereotipe adalah pemberian sifat tertentu terhadap sesorang berdasarkan kategori yang bersifat subjektif hanya karena dia berasal dari kelompok lain. Stereotipe didasarkan pada penafsiran yang kita hasilkan atas dasar cara pandang dan latar belakang budaya. Gender diartikan sebagai konstruksi sosiokultural yang membedakan karakteristik maskulin dan feminim.

Istilah gender dikemukakan oleh para ilmuwan sosial dengan maksud untuk menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki yang mempunyai sifat bawaan dan bentukan budaya. Gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman (Rosyidah & Nurwati, 2019).

Salah satu jenis stereotipe bersumber dari pandangan atas peran gender itu sendiri. Terdapat banyak sekali ketidakadilan terhadap jenis kelamin yang bersumber dari pendangan (stereotipe) yang diberikan pada mereka. Ada berbagai cara untuk memandang perkembangan gender. Beberapa menekankan faktor biologis dalam perilaku laki-laki dan perempuan yang lain menekankan faktor sosial atau kognitif.

Stereotipe sering kali negatif dan bisa dikemas dalam prasangka dan diskriminasi. Seksisme (sexism) adalah prasangka dan diskriminasi terhadap satu individu karena jenis kelamin seseorang (Rosyidah & Nurwati, 2019). Sangkaan bahwa wanita tidak bisa menjadi direktur yang kompeten, merupakan salah satu bentuk seksisme. Hal sama terjadi atas pernyataan bahwa laki-laki tidak bisa melakukan pekerjaan rumah dan mengurus anak.

Masyarakat masih menekankan pada identitas gender tradisional yang sudah ditentukan sebelumnya, namun identitas gender mengalami pergeseran dan membuat adanya perubahan terhadap norma sosial. Persepsi sosial mengenai perilaku male grooming dianggap sudah tidak mengikuti norma gender terdahulu. Laki-laki pada umumnya memiliki pandangan bahwa pria maskulin tidak peduli terhadap perawatan diri dan tidak tertarik dengan penggunaan produk kosmetik. Laki-laki tidak suka menghabiskan banyak waktu untuk berdandan dan menggunakan berbagai produk yang tidak bermanfaat.

Laki-laki yang melakukan perilaku grooming berusaha untuk menutupi permasalahan kulit dengan menggunakan produk-produk kosmetik. Mereka melakukan aktivitas merias dan merawat diri sebagai upaya untuk meningkatkan kepercayaan dirinya.

Sering kali, perilaku male grooming justru dipandang berbeda oleh teman laki-laki lain. Laki-laki pada umumnya memiliki persepsi sosial bahwa perilaku male grooming dianggap sangat berlebihan, sehingga akan menghabiskan waktu yang cukup lama dan membuang-buang waktunya (Thota, dkk., 2018 dalam Pradani & Suhanti, 2020). Namun, dari pelaku grooming itu sendiri mereka tetap menganggap bahwa mereka maskulin hanya saja mereka ingin merawat penampilan dirinya.

KESIMPULAN

Persepsi sosial terhadap perilaku male grooming adalah aktivitas berdandan yang dilakukan oleh laki-laki untuk memenuhi suatu kebutuhan. Beberapa lelaki yang maskulin cenderung kurang memikirkan dengan perawatan karena dianggap seperti perempuan. Namun, saat ini perilaku male grooming telah banyak terjadi pada laki laki di mana mereka menyadari bahwa mereka juga sama sama membutuhkan perawatan agar dapat tampil maksimal dan meningkatkan rasa percaya dirinya.

Saran yang dapat penulis sampaikan atas iklan media elektronik, yaitu memperhatikan konsep brand produk kosmetik laki-laki, sehingga dapat membangun pemahaman dan memberikan gambaran yang tepat terhadap perilaku male grooming yang sesuai bagi kebutuhan laki-laki. Harapannya, hal ini dapat mengubah persepsi masyarakat yang melakukan stereotipe terhadap peran gender. (*)

DAFTAR PUSTAKA

Pradani, A. T. & Suhanti, I.,Y. (2020). Persepsi Laki-Laki Terhadap Perilaku Male Grooming. Motiva: Jurnal Psikologi, Vol 3(1), 43-51.

Rosyidah, F. N. & Nurwati, N. (2019). Gender dan Stereotipe: Konstruksi Realitas dalam Media Sosial Instagram. Share: Social Work Jurnal, Vol 9(1), 10-19, ISSN: 2528-1577 (e) Doi: 10.24198/share.v9i1.19691

Sørensen, N. P. (2009). ‘For Men Only’: A Qualitative Explorative Study Of Danish And Italian Men’s Consumption Of Grooming Products’. Master’s Thesis. Aalborg University.

Tanjung, S. (2012). Pemaknaan Maskulinitas Pada Majalah Cosmopolitan Indonesia. Jurnal Komunikasi, 6(2), 91 –104.

Mengubah Stigma Perempuan sebagai Strata Kedua di Masyarakat

0

Oleh Sinta Yuliana Putri Ayu Solekah
Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Yogyakarta

Suyanto.id–Perjuangan tentang perempuan di Indonesia telah berlangsung sejak dulu. Salah satunya terlihat dari kiprah Kartini, tokoh yang dikenal sebagai pejuang emansipasi perempuan di Indonesia. Banyak tantangan dan rintangan yang dihadapi, di antaranya terkait budaya yang telah mengakar dan dinormalisasi di masyarakat. Untuk keluar dari zona tersebut, dibutuhkan pengerobanan yang luar biasa.

Kartini memiliki semangat begitu besar untuk memperjuangkan kesetaraan dan kesamaan kelas sosial perempuan di mana pada saat itu kondisi perempuan Indonesia masih sangat tertinggal. Melawan sesuatu yang telah tertanam sangat kuat bukanlah suatu hal yang mudah. Bahkan, hingga saat ini perempuan tidak sepenuhnya mendapatkan hak-haknya.

Sejak dulu, Indonesia telah memiliki latar belakang sejarah bahwa seorang perempuan selalu dipandang berada dalam strata kedua. Masyarakat memandang perempuan hanya memiliki peran di dapur, kasur, dan sumur, sebuah budaya yang mengakar hingga saat ini. Hal tersebut tentunya sangat membatasi gerak seorang perempuan dalam menjalankan segala aktivitasnya.

Pembatasan ruang gerak tersebut di antaranya dengan menjadikan perempuan sebatas pekerja domestik. Perempuan dianggap tidak memiliki kesetaraan dengan sosok laki-laki, sehingga tidak miliki banyak kesempatan sebagaimana laki-laki. Hidayati (2018) menyebutkan bahwa hegemoni patriarki dan kuatnya sistem sosial budaya yang mengakar sangat menghambat untuk menuntut keadilan.

Stigma masyarakat bermunculan dengan adanya budaya-budaya yang mengakar dalam memandang perempuan. Perempuan dianggap tidak dapat memiliki peran yang besar dalam masyarakat, tidak layak untuk berpendidikan tinggi, dan tidak dapat menjadi seorang pemimpin negeri. Pandangan seperti inilah yang menimbulkan permasalahan hingga luka dalam memenuhi hak-hak perempuan di Indonesia.

Banyak stigma masyarakat yang memandang perempuan sebelah mata. Stigma yang membudaya hingga akhirnya membatasi ruang gerak perempuan dan juga hak-hak yang seharusnya dapat terpenuhi. Hal ini tentu saja harus diubah.

Strata Kedua: Stigma Perempuan di Masyarakat

Menilik teori belenggu stigma masyarakat, terdapat perbedaan pendapat dan perdebatan mengenai pemikiran feminis, di antaranya didasarkan atas alasan misalnya akar kebudayaan patriarki dan dominasi laki-laki. Selain itu, dalam resolusi final atas perjuangan perempuan akan non-eksploitasi lingkungan, kebebasan kelas, latar belakang, ras, dan gender menunjukkan adanya gerakan yang berusaha melihat wacana patriarkhal yang tampil agresif terhadap perempuan atau sebaliknya justru tidak memasukkan persoalan-persoalan perempuan di dalamnya.

Teori yang lebih dalam lagi dilihat dari segi feminisme liberal ialah terdapat pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Alison Jaggar dalam bukunya, Feminist Politics and Human Nature, mengemukakan bahwa dalam pemikiran kaum liberal, sifat asariah manusia yang unik adalah kemampuan rasionalitasnya. Setiap manusia mempunyai kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan agar terbebas dari akar ketertindasan dan keterbelakangan.

Feminis liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasal dari teori pluralisme negara. Disadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum pria, yang terefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat maskulin, tetapi juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentingan dan pengaruh kaum pria.

Berdasarkan teori tersebut, dapat dilihat bersama bahwa ruang gerak perempuan dalam sektor publik sangat terbatas walaupun sudah gencar digaungkan bahwa perempuan mampu untuk berperan di sektor tersebut.

Salah satu contoh yang dapat terlihat secara jelas di kancah publik adalah regulasi di Indonesia, menetapkan bahwa ambang batas keterlibatan perempuan dalam partai politik hanya terbatas 30%. Angka tersebut hingga pada pemilu tahun 2019-2024 bahkan belum terpenuhi.

Hal ini dapat digabungkan dengan teori bahwa untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada di dalam negara hanya sebatas warga negara, bukan sebagai pembuat kebijakan sehingga ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Jika ditinjau dari sisi sejarah, hal ini bisa terjadi karena masih adanya kekhawatiran perempuan untuk menjadi seorang pemimpin yang biasanya hanya dilakukan oleh laki-laki. Oleh karena itu, ini menjadi bekas stigma masa lalu yang masih melekat pada perempuan Indonesia.

Keikutsertaan perempuan dalam dunia politik hanyalah salah satu perspektif saja yang memperlihatkan ruang gerak yang terbatas. Secara lebih luas, stigma yang lain masih sangatlah banyak. Stigma masa lampau masih membelenggu perempuan dalam mendapatkan hak-hak kesetaraanya seperti halnya masih banyak perempuan yang ragu untuk berpendidikan tinggi karena adanya anggapan bahwa perempuan berpendidikan tinggi akan menyaingi peran laki-laki serta menghilangkan marwahnya sebagai seorang istri. Padahal, keduanya dapat berjalan beriringan tanpa menanggalkan salah satu perannya.

Ada lagi stigma bahwa perempuan hanya memiliki kelayakan untuk bekerja pada sektor domestik, seperti mengurus rumah tangga, merawat anak, melakukan segala pekerjaan rumah, dan semua hal perkaitan dengan sektor belakang. Jika perempuan bekerja di luar dan bahkan ada yang memiliki jabatan lebih tinggi dibanding laki-laki akan mendapat banyak omongan di masyarakat sekitar. Selain itu, juga misalnya ketika perempuam memiliki pekerjaan yang dinilai pekerjaan laki-laki, akan dipandang sebelah mata dan rasa tidak pantas. Contohnya, ketika seorang perempuan bekerja menjadi sopir angkutan umum, driver ojek online, atau kerja bangunan. Perempuan yang seperti itu akan dianggap melenceng dari apa yang telah menjadi budaya mengakar di masyarakat. Padahal, hal yang seperti itulah yang perlu diluruskan. Semakin dinormalisasikan maka akan menimbulkan sebuah kesenjangan dan ketidaksetaraan yang berkepanjangan.

Banyak data yang memperlihatkan perempuan yang bekerja masih menempati posisi yang tidak strategis. Mereka masih tertinggal dari laki-laki dalam menduduki posisi sektor publik. Sementara itu, status pekerjaan sebagai pekerja keluarga atau tidak dibayar didominasi perempuan. Hal tersebut harus diubah akan stigmanya. Perlunya perubuhan akan pandangan masyarakat terhadap perempuan. Selain itu juga perlunya pembuktian seperti dengan statistik dari tahun ke tahun terus memaparkan kemajuan partisipasi perempuan di dunia kerja. Tidak hanya bekerja dalam sektor domestik, namun juga merambah ke karier yang selama ini seharusnya mampu mereka dapatkan.

Mengubah stigma masyarakat perlu dilakukan secara terus-menerus. Perempuan juga perlu memegang kendali anggaran rumah tangga dan punya hak mengontrol tubuhnya. Dengan begitu, perempuan punya kekuatan menentukan masa depannya dan dapat membuat dunia berubah lebih baik. Namun, sistem sosial selalu berperan dalam menentukan wajah dan peran perempuan sesungguhnya, mau menjadi apa perempuan dan generasinya. Oleh karena itu, semua elemen dalam masyarakat harus memiliki peran aktif dalam menghapus kultur yang mulai “usang” dan diskriminatif. Sebab, pada hakikatnya perempuan membutuhkan dukungan untuk bangkit dari belenggu diskriminasi yang membatasi ruang geraknya.

Akhir kata, latar belakang sejarah di Indoensia memang mengatakan bahwa seorang perempuan selalu dipandang berada dalam strata kedua. Masyarakat memandangnya hanya memiliki peran di dapur, kasur, dan sumur, sebuah budaya yang masih mengakar hingga saat ini yang menyebabkan ruang gerak seorang perempuan dibatasi. Perempuan hanya dianggap mampu menjalankan pekerjaan di sektor domestik atau di rumah saja. Waktunya untuk bersama-sama menyadari bahwa semua memiliki hak dan kesetaraan. Perlu sistem sosial yang berperan dalam menentukan wajah dan peran perempuan sesungguhnya, mau menjadi apa perempuan dan generasinya. Untuk itu, semua elemen dalam masyarakat harus memiliki peran aktif.  (*)

DAFTAR PUSTAKA

Hidayati, Nuril. 2018. Teori Feminisme: Perkembangan dan Relevansinya dengan Kajian Keislaman Kontemporer. Dalam Jurnal Harkat: Media dan Komunikasi Vol. 14, No. 1.

Candraningrum, Dewi. 2013.  Superwoman Syndrome dan Devaluasi Usia: Perempuan dalam Karier dan Rumah Tangga. Dalam Jurnal Perempuan Vol. 18, No. 1.

Rahayu, Angger Wiji. 2015. Perempuan dan Belenggu Peran Kultural. Dalam Website Jurnal Perempuan diakses melalui https://www.jurnalperempuan.org/wacana-feminis/perempuan-dan-belenggu-peran-kultural.