Home Gagasan Ilmiah Populer Urgensi Memahami Generasi Z dan Alfa

Urgensi Memahami Generasi Z dan Alfa

0
Urgensi Memahami Generasi Z dan Alfa

Oleh Panggih Priyambodo
Kandidat Doktor Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta

Suyanto.id–Generasi Z dan Alfa merupakan generasi termuda saat ini. Hasil sensus BPS 2020 menunjukkan komposisi terbesar penduduk Indonesia adalah generasi Z (27,94%) dan generasi Y (generasi milenial, 25,87%). Sisanya, generasi X (21,88%), baby boomer (11,56%), alfa (10,88%), dan pre-boomer (1,87%). Kemelimpahan jumlah generasi produktif ini tentu menjadi bonus demografi bagi Indonesia.

Hasil Sensus Penduduk 2020/bps.go.id

Karakteristik umum dari generasi Z dan Alfa ini perlu dipahami. Tujuannya untuk memudahkan ahli maupun praktisi di bidang pendidikan merumuskan berbagai program pendampingan belajar yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Setiap generasi tentu memiliki nilai-nilai, cara pandang, kekhasan, prinsip-prinsip, maupun orientasi masa depan yang tidak selalu sama dengan generasi-generasi sebelumnya. Filsafat progresivisme berpandangan bahwa nilai-nilai akan terus berkembang seiring dengan pengalaman baru yang diperoleh manusia. Dengan demikian, bentuk-bentuk pendampingan belajar maupun pola pengasuhan untuk anak didik juga harus senantiasa diperbarui sesuai dengan dinamika perubahan lingkungannya.

Generasi Z saat ini berusia sekitar 8-23 tahun. Generasi Z bukanlah pendengar yang baik dan kurang memiliki keterampilan interpersonal. Mereka aktif membangun komunitas sosial di ruang siber tanpa harus saling bertemu langsung di dunia nyata (Dewanti & Indrajit, 2018). Generasi ini akrab dengan penggunaan website, media sosial, online game, maupun berbagai aplikasi komputer lainnya. Oleh karena itulah generasi ini disebut sebagai iGeneration atau generasi internet. Wijoyo, et al. (2020) menguraikan beberapa karakteristik umum dari generasi Z, seperti mahir dan gandrung dengan teknologi informasi dan berbagai aplikasi komputer, suka berkomunikasi dengan berbagai kalangan melalui aplikasi media sosial, cukup toleran terhadap perbedaan kultur, peduli terhadap lingkungan, multitasking, meskipun di sisi lain juga menunjukkan kecenderungan egosentris dan individualis, kurang terampil dalam komunikasi verbal, ingin serba instan, tidak sabaran, hingga kurang menghargai proses.

Anak-anak generasi Z pandai mengikuti dinamika perkembangan informasi, isu-isu teraktual, serta berbagai tren budaya dari dalam maupun luar negeri. Berbagai perkembangan teknologi, dunia hiburan (seperti musik, film, dan fashion), modifikasi bahasa pergaulan sehari-hari, bahkan sesekali yang menyangkut konten atau isu-isu sensitif di media sosial juga tak luput dari perhatian mereka. Generasi Z seringkali dihadapkan pada situasi dan kondisi yang mendorong mereka untuk berkembang terlalu cepat tanpa dibarengi dengan pemberdayaan karakter secara memadahi. Pada kesempatan tertentu mereka juga dapat menunjukkan perilaku yang agresif hingga memunculkan berbagai fenomena negatif seperti bullying, perdebatan kasar di dunia maya, ataupun saling balas komentar di media sosial tanpa didasari fakta maupun alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Sedangkan untuk generasi Alfa (post gen Z) saat ini belum memasuki angkatan kerja karena masih berusia rata-rata maksimal 7 tahun. Sejak kecil, kehidupan generasi ini telah bersinggungan erat dengan berbagai perangkat teknologi canggih yang mengandalkan tampilan layar (terutama layar sentuh). Generasi Alfa juga memiliki kemampuan multitasking yang tinggi serta kemampuan mengumpulkan informasi secara cepat. Keterampilan inilah yang kemudian cukup membedakan, baik generasi Alfa maupun Z, dengan generasi-generasi sebelumnya. Karakteristik utama lainnya adalah perilaku yang lincah (kecuali saat stasioner), kurang menyukai aturan ataupun pembatasan (larangan), mengesampingkan privasi, kecenderungan bereskperimen serta berinovasi dengan obyek-obyek di sekitar, kreatif dengan pola pikir yang mudah berubah dan sulit ditebak, berjiwa wirausaha, ketergantungan pada perangkat (ponsel) pintar dan media sosial, serta lebih mandiri dan terdidik (Diadaptasi dari Ramadlani & Wibisono, 2017).

Lantas, bagaimana seharusnya pendidik menyikapi realita ini?

Hal pertama yang harus dilakukan adalah menyadari bahwa dunia telah benar-benar berubah. Dahulu mungkin orang-orang hanya familiar dengan layanan wartel (warung telepon), namun sekarang sudah mulai terbiasa dengan aplikasi meeting online. Dahulu anak-anak dan remaja masih cenderung terikat dengan adat istiadat masyarakat, namun kini sudah mulai mudah berekspresi di ruang-ruang publik. Atau dahulu anak-anak yang masih gemar berkumpul dan bermain sepak bola di areal persawahan kini lebih banyak diam di depan perangkat elektronik.

Konsep kunci yang sangat dibutuhkan untuk praktik pendidikan saat ini adalah pemahaman yang komprehensif terkait fenomena-fenomena yang terjadi di sekitar kehidupan siswa itu sendiri. Pendidik harus memiliki kepekaan yang tinggi dalam memahami seluk beluk fenomena sosial siswa. Bukan saatnya lagi pendidik hanya konsen pada konten-konten materi akademik, masuk kelas untuk menyelesaikan target capaian materi dan keluar begitu selesai. Pendidik hendaknya memiliki empati yang tinggi agar dapat memahami kebutuhan, keinginan, preferensi, maupun motif dari para siswa. Dalam hal ini, interaksi serta kedekatan pendidik maupun calon pendidik dengan masyarakat dapat mendukung upaya penyingkapan sederet fenomena maupun kebutuhan riil para siswa untuk kemudian diadopsi ke dalam proses pembelajaran. Beragam informasi seperti tentang bagaimana pola interaksi siswa dengan teman sebayanya, posisi serta kualitas hubungan dengan keluarga dan masyarakat, bentuk-bentuk serta tren media sosial, kebiasaan sehari-hari siswa, karakter nasionalisme dan religiusitas, termasuk bakat dan minat siswa dapat menyediakan pertimbangan yang berharga untuk kepentingan pembelajaran.

Ketika beragam informasi semacam ini telah berhasil dikumpulkan, maka para pendidik dapat merancang berbagai program pembelajaran yang relevan dan tepat sasaran. Pendidik juga harus terus melakukan inovasi serta pengembangan guna meningkatkan mutu pembelajaran. Di samping penekanan pada aspek religiuositas serta kearifan lokal dan budaya, pembelajaran hendaknya juga berorientasi pada penumbuhkembangan keterampilan utama abad ke-21 seperti critical thinking, creative problem solving, communication, collaboration, cross cultural understanding, computing atau ICT, serta career and learning self-reliance. TPACK framework dapat membantu pendidik dalam merancang desain pembelajaran yang mampu mengintegrasikan aspek teknologi, pedagogi, dan konten.

Tujuan pendidikan adalah menumbuhkembangkan kualitas manusia secara utuh yang meliputi kualitas dasar (daya pikir, daya hati, daya fisik) dan kualitas instrumental (IPTEK, seni, olahraga) dengan dilandasi daya spiritual yang kokoh. Kedisiplinan perlu dilatih dan ditanamkan dalam diri siswa tanpa harus membatasi ruang ekspresi maupun kreativitas mereka. Terlepas dari perbedaan karakteristik antar generasi, kolaborasi harus terus diupayakan dengan memanfaatkan berbagai kesamaan yang ada. (*)

REFERENSI

Dewanti, P. & Indrajit, R.E. (2018). The effect of XYZ generation characteristics to e-commerce C-to-C: a review. IKRAITH-INFORMATIKA, 2(2), 56-60.

Putra, Y.S. (2016). Theoritical review: teori perbedaan generasi. Among Makarti, 9(18), 123-134.

Ramadlani, A. K. & Wibisono, M. (2017). Visual literacy and character education for alpha generation. Proceedings International Seminar on Language, Education and Culture, Universitas Negeri Malang.

Slamet, P.H. (2014). Politik pendidikan Indonesia dalam abad ke-21. Cakrawala Pendidikan, XXXIII(3), 324-337.

Wijoyo, H., et al. (2020). Generasi Z & revolusi industri 4.0. Banyumas: Pena Persada.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here