Oleh Gus Nas Jogja
Bertemu gugusan cadas di sini
Kuziarahi memar sejarah dan nisan luka hati
Benarkah ketidakbenaran merajalela di lembah andesit ini?
Orang-orang mencangkul tanya
Dalam derai istighosah dan dada berdarah
Kujilat pahit empedu hingga pangkal lidahku
Batu-batu andesit itu tak lagi menyisakan rindu
Sebab harapan pada peradaban telah dinista oleh dusta
Waduk dikeruk oleh kemaruk yang lapuk
Bertemu penggembala di bukit kerontang ini
Aku mendengar jerit akar rumput
Aku menyaksikan jejak jelaga dimana-mana
Kejujuran telah ditumbalkan atas nama kelam kehidupan
Bertanya pada perempuan tua berhati purnama
Kudengar jawab dalam isak tangis yang porak-poranda
Sebab fatwa jumawa telah menggelora hingga di pelosok desa
Di Wadas yang dulu sebening telaga
Kini telah tergenang comberan dimana-mana
Entah dimakan celeng atau banteng
Daunan hijau itu kini telah sirna
Berkumpul di Masjid kecil di Desa Wadas ini
Kurasakan derai doa mendidihkan air mata
Rakyat jelata bersimpuh di kaki Ibu Pertiwi
Berikrar setia sedumuk bathuk senyari bumi
Di haribaan keindahan berbait-bait puisi
Aku bertapa di cakrawala
Memejamkan mata menikmati senja
Pada keras bongkahan batu-batu andesit
Kutajamkan taring tanya
Apakah bendungan raksasa ini sanggup membendung duka bangsa?
Ataukah ia hanya akan menyisakan genangan dusta
Yang akan menenggelamkan daulat cinta
Bagi kemanusiaan yang sudah seharusnya merdeka?
Awal Februari 2022